27 - Epigraph [Explicit]

137 0 0
                                    

Aku tidak terburu-buru, aku menunggu waktu yang tepat. Aku duduk di samping Sasti yang sedang sangat malu dan canggung.

"Ya ampun ... aku malu banget, Gi. Sumpah .... Sorry ya, Gi?"

Aku merangkulnya. "Kenapa mesti say sorry? Santai aja, Ti,"

"Tapi aku malu, tau ...,"

"Iyalah malu. Salah ngasih celana dalem, ya jelas malu. Hehehehe. Aduh!"

Sasti mencubit pahaku dengan kencang. "Ih!"

Aku tak dapat menghilangkan pikiran tentang Sasti yang saat ini tidak memakai celana dalam. Kemaluannya tanpa pelapis di bawah sana ..., fuck!

"Kamu ... emang beneran ada rasa sama aku?" tanya Sasti tiba-tiba. Lirikan matanya malu-malu.

Nah! Ini kesempatanku! Ini yang kutunggu!

Aku tidak menjawabnya, hanya menatap wajah Sasti dengan fokus. Silent is better. Aku menunggu ia menoleh, agar segera bisa kucaplok bibirnya. Aku menunggu seperti sniper yang sabar.

Begitu Sasti menoleh, langsung kusambar bibirnya. Ia terkejut, tapi tidak menolak. Ia juga membiarkan lidahku menjulur masuk ke mulutnya. Sensasi percumbuan ini luar biasa, terasa lebih hebat dari ketika dengan Gadis kemarin malam. Mungkin kejadian celana dalam tadi yang menjadi faktor tambahannya.

Tanganku dengan cepat meremas selangkangannya tepat di area kemaluannya, yang ... memang benar sudah tak berbalut kain celana dalam lagi.

Sasti bereaksi mendorong tanganku. "Heh ...! Ngapain ...???"

"Gak tau, ketarik sendiri. Kayak ada magnetnya ...!" sahutku. "Kamu ... bener-bener cantik sekali, Sasti." Aku merayunya dengan pujian gombal receh khas pria.

Kini malah Sasti yang menciumku lebih dulu, kemudian kumanfaatkan nafsunya yang lepas itu untuk kembali meraih kemaluannya dengan tanganku. Bulunya banyak seperti milik Kianti.

"Mmh ... mmh ...." Sasti mendesah di sela-sela ciuman kami. Ia menikmatinya.

Kubantu Sasti melepas kameja kotak-kotaknya. Ketika kaosnya juga ingin kulepas, ia menghentikanku. Ia menatap ke arah pintu.

"Kenapa?"

"Takut ada yang masuk," jawabnya.

Aku buru-buru bangkit kemudian mengunci pintunya. Aku tak ingin kehilangan momen langka ini. Setelah itu kulepaskan kaos putih Sasti.

"Semuanya?" tanya Sasti ketika aku juga ingin melepaskan bra-nya.

Aku mengutip kata-katanya waktu baru keluar bioskop tadi. "Aku mau lihat bagian yang tidak terlihat .... Aku mau lihat kamu seutuhnya .... Aku ... mau liat kamu telanjang ...."

Absurd gak, sih? Tapi ... namanya juga lagi sange. Ya, kan?

Kulepaskan bra-nya, dan menyembullah sepasang payudara yang cukup besar -tidak sebesar Tari. Dan ... putingnya mendelep -melipat kedalam. Betapa beruntungnya aku, ini jenis puting favoritku!

Meskipun ia sudah tidak memakai celana dalam yang membuat roknya hanya sekedar formalitas saja kini, aku tetap melucutinya. Aku sangat ingin melihatnya telanjang bulat tanpa sehelai benangpun.

Dan Sasti memang benar-benar memiliki fisik wanita idamanku! Semuanya sempurna!

Ia sama sekali tak berusaha menolak ketika kedua kakinya kulebarkan, aku ingin melumat kemaluannya. Pipinya merona, aku tahu ia malu, tapi nampaknya ia sudah mempersiapkan diri. Sasti tidak berusaha menutupi kemaluannya dengan tangannya. Ia menyajikan lubang tembam imut menggemaskan itu dengan sukarela. Ternyata bulu jembut Sasti sangat rapi, seolah baru habis disisir. Bulu lebat panjang itu tersusun rapi ke tengah, menutupi bibir vaginanya. Benar-benar lucu sekali.

Deduksi Astral - [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang