Aku mendengar suara tawa anak kecil. Semakin berjalan ke dalam rumah, aku semakin mendengar suara tawa itu dengan jelas . Semakin berjalan lagi sepertinya aku merasa itu bukan hanya suara tawa satu orang anak.
Aku menganga. Tepat sekali. Suara tawa itu bukan hanya dari satu anak tapi dari puluhan anak. Dan yang membuatku menganga, untuk apa mereka ada di sini?
" Geista, ini dia yang mau kita temuin " Kak Tian mendekatiku sambil tersenyum.
" Hah? Anak-anak ? Serius kak? Tapi, buat apa? "
" Ikutin Kakak aja, yukk " Kak Tian menarik tanganku.
Kami menuju ke tengah-tengah halaman luas ini. Ternyata anak-anak yang ada di sini terlihat lucu sekali. Baru saja aku ingin mendekati salah satunya, tiba-tiba kulihat Kak Dimas memanggil adik-adik yang kelihatannya sudah memasuki Taman Kanak-kanak itu. Suaranya ceria dan tulus sekali. Selama ini yang kutahu Kak Dimas adalah teman dekat Kak Tian sejak SMA dan super duper jahil. Aku masih ingat peristiwa pertama kali aku jadi korban kejahilannya. Waktu itu buku catatan Biologiku disembunyikan entah dimana sehingga aku terpakasa mengulang dari awal catatanku. Tapi kali ini entah mengapa, Kak Dimas terlihat sangat penyayang.
Anak-anak itu menuruti instruksi Kak Dimas yang menyuruh mereka duduk di tikar yang sudah dibentangkan di tengah halaman. Aku ikut bergabung. Lalu Kak Dimas membacakan fabel dengan sedikit gerakan lucu. Aku mengikutinya. Memandangi. Kadang ikut terbahak bersama anak-anak menggemaskan ini ketika Kak Dimas menirukan gaya ayam berkokok, kucing mengeong sampai raja rimba sedang memerintahkan prajuritnya. Bukan cuma aku yang tertawa. Kak Tian juga. Tertawanya lepas sekali. Terkadang dia memegangi perutnya saat tertawa untuk menahan geli.
" Akhirnya Raja Rimba dan rakyatnya hidup bahagia.... " Kak Dimas mengakhiri fabelnya. Anak-anak bertepuk tangan. Aku juga.
" Nah adik-adik, sekarang ada yang mau nyanyi buat kita lohh. Mana ya orangnya? Kak Tian? " Dia berakting seolah-olah mc memanggil bintang tamu. Aku tersenyum sekali lagi. Kak Tian segera mengambil alih posisi Kak Dimas sambil mulai menyanyikan lagu anak-anak .
Dialah Kristian. Cowok tinggi berkaus hitam polos yang sedang bermain gitar dengan senyumnya yang menyenangkan itu. Dialah Kakakku.
Pikiranku membawaku terbang jauh ke masa lalu...
————-
Close your eyes, give me your hand darling
Do you feel my heart beating
Do you undestand
Do you feel the same
Am i only dreaming
Or is this burning an eternal flame
Aku membuka mataku begitu Kak Tian selesai bernyanyi diiringi gitar cokelat mudanya itu.
" Kenapa? Kok mejem dari tadi? " Kak Tian bertanya setelah memergoki aku baru saja membuka mata.
" Lagunya bagus, Kak. Suara kakak juga bagus " Aku memuji dengan polosnya.
" Makasih Geista " Kak Tian memelukku. Pelukan seorang kakak pada adiknya.
" Kak. Kakak mau nggak nyanyi terus buat Geista ? " Aku bertanya dengan tatapan mengiba berharap dia akan menganggukkan kepala.
" Kakak mau. Tapi ada syaratnya... "
" Apa? " Bola mataku membesar tanda penasaran.
"Geista harus temenin kakak duduk di sini setiap sore. Nanti Kak Tian nyanyiin deh lagu buat Geista . Okey? "
Aku mengangguk . Dia memelukku lagi.
Aku ingat sekali saat itu aku masih duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar sedangkan Kak Tian sudah duduk dibangku 3 Sekolah Menengah Pertama. Selisih usia kami 4 tahun.
Saat itu Kak Tian sering mengajakku duduk menikmati angin sore di tempat menjemur pakaian di belakang rumah. Tempatnya memang sengaja dibuat setinggi dua meter dari tanah dan tanpa atap. Tangga serta lantainya dibangun dari bata dan semen sehingga kami tetap aman bermain di sana. Entah kenapa dia menyukai tempat itu bahkan sampai hari ini.
Oh iya, hampir saja aku lupa menceritakannya pada kalian.
Kak Tian itu bukan kakak kandungku. Dia sebenarnya adalah kakak sepupuku.
Mama dan Ibu Kak Tian adalah saudara kandung. Saat dia duduk di bangku kelas 2 SMP, kecelakaan merenggut nyawa kedua orangtua Kak Tian. Sejak saat itu, Orangtuaku mengurus Kak Tian dan Kak Tian tinggal di rumahku.
Lucu sekali jika mengingat-ingat saat pertama kali Kak Tian tinggal di rumahku. Kupikir dia akan merebut kasih sayang orangtuaku. Ternyata sebaliknya, Kak Tian sangat penyayang.
Sudah biasa jika di rumah aku hanya bersama Kak Tian dan Bi Narsih. Maklum, orangtuaku sibuk mengurusi pekerjaan mereka di luar kota. Bagiku Kak Tian bukan lagi sepupu tapi saudara kandungku.
—————
" Nyanyi gih " Suara Kak Dimas membuyarkan lamunanku.
" Gak ah, males . Mending kakak ngedongeng lagi deh. Cocok banget. Gimana coba kak ayam berkokok? " Aku tersenyum jahil.
" Sialan! Malah ngejek. Sana nyanyi. Jangan cuma nonton doang "
" Siapa takut "
Aku mengambil gitar putih kesayanganku. Aku berjalan ke depan anak-anak dan mencoba mengambil alih perhatian dengan mulai bernyanyi. Sesekali aku menatap Kak Dimas dan Kak Tian bergantian. Entah mataku yang salah atau mereka yang memandangku berlebihan. Yang pasti berkali-kali aku mengenali tatapan aneh dari mereka berdua. Tatapan yang asing.
Dear Wattpaders,
What do you think about this part? Please leave voments. Next part will be coming soon thankyouuu :-)
KAMU SEDANG MEMBACA
Paramore
Teen FictionEntah siapa yang harus disalahkan. Dia yang salah karena mencintai yang tidak seharusnya dicintai, atau waktu yang salah karena pernah mempertemukan kami? Paramore. Secret Love.