Hanya berselang dua hari sejak mendapat alamat Pak Dana, Kak Tian langsung mengajakku menuju alamat itu. Tempatnya sangat jauh dari kota kami. Kak Tian memperkirakan perjalanan ini akan berlangsung satu jam. Aku memilih tidur selama di perjalanan dengan earphone yang melekat di telingaku.
Tiba-tiba seseorang menggungcang bahuku. "Geistaa..buruan bangunnn.." .
Perlahan aku bangun lalu mengucek-ucek mata. "Emangnya udah nyampe ya, kak? "
"Belum, dikit lagi. Tapi kakak laper, nih. Kita mampir ke tempat makan dulu ya " pintanya.
Aku mengedarkan pandangan ke luar jendela. Tempat ini sangat asing bagiku.
"Ayo, Ta" Kak Tian segera keluar dari mobil lalu aku mengikutinya.
————————
Setelah selesai memesan makanan, kami mencari tempat duduk yang kosong. Tempat ini bukan kafe, bukan juga restoran. Hanya tempat makan biasa. Maklum, sekarang kami sedang berada jauh dari kota. Tempat makan ini tidak terlalu ramai.
Kak Tian berjalan di depanku, menuntunku mencari tempat duduk. Tapi tiba-tiba ada sesuatu yang mengejutkan di depan mataku. Aku menarik tangan Kak Tian untuk menghentikan langkahnya.
Di sebelah kiriku ada seorang Pria yang sibuk membaca koran, namun dia sangat amat mirip Kak Tian. Kebetulan dia duduk menghadap utara, sehingga wajahnya terlihat jelas. Aku terdiam sejenak. Bahkan Pria ini lebih cocok dikatakan Ayah Kak Tian daripada Omku yang selama ini kukenal sebagai orangtua Kak Tian.
"Kenapa, Ta? " Kak Tian membalikkan badan.
"Kak, bapak itu ... " Lalu Kak Tian memandang ke orang yang sama. Genggaman tanganku terlepas.
Pria yang awalnya fokus membaca koran itu kini menoleh ke kami, menyadari kami sedang memandanginya. Dia tak kalah terkejutnya. Dia bangkit berdiri setelah melihat Kak Tian lama.
"Arga..." nama itu keluar dari mulut Pria itu yang kuyakini adalah Pak Dana.
———————————
"Tidak mungkin....kamu itu Arga. Anak saya..." Dia mulai terisak sekarang. Kami sudah berada di Rumah Pak Dana yang sepi dan sederhana.
"Bukan, Pak. Saya ini Tian. Ini adik saya, Geista " Kak Tian membela diri.
"Lalu untuk apa kamu datang kesini kalau bukan Arga? " pertanyaan itu menusuk telingaku tapi pasti menusuk hingga ke tulang Kak Tian.
"Saya hanya ingin bertemu bapak dan Arga. Karena saya sudah beberapa kali salah dikenali. Saya dikenali sebagai Arga..."
Suasana hening. Hanya isak Pak Dana yang terdengar. Kami membiarkan beliau menenangkan diri sampai ia sanggup berbicara lagi.
"Saya tidak tau dia dimana sekarang. Saya sudah menyerahkannya pada Fandi"
Tuhan, apa kami tidak salah dengar? Fandi itu nama omku. Nama papa Kak Tian!!!
"Usaha saya bangkrut hampir dua puluh tahun yang lalu. Saya pindah ke banyak tempat sampai akhirnya saya menetap di sini. Saya dan almarhumah istri saya menyerahkan Arga pada Fandi, sahabat saya. Karena mereka belum juga kunjung punya anak, sementara kami tak punya biaya lagi untuk hidup setelah usia saya bangkrut "
"Saat itu Arga belum genap satu tahun. Sejak itu saya tidak tau dimana anak saya berada, bahkan sampai saya meninggal dunia"
Kak Tian bangkit berdiri lalu memeluk Pria yang terlihat mulai keriput dan garis wajah yang mulai kasar itu. "Pak, sayalah Arga itu. Sayalah anakmu yang dibesarkan Fandi . Maaf pak, saya tidak pernah tau semua itu." Tangisan pecah memenuhi ruangan. Sekarang aku melihat Kak Tianku yang sangat tegar menangis. Aku berlari keluar. Menangis sendiri di luar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paramore
Teen FictionEntah siapa yang harus disalahkan. Dia yang salah karena mencintai yang tidak seharusnya dicintai, atau waktu yang salah karena pernah mempertemukan kami? Paramore. Secret Love.