23

4.5K 438 62
                                    

Widari menatap anak lelakinya prihatin, mata yang beberapa waktu terakhir ini sempat memancarkan binar tak biasa kini kembali redup. Paul seperti kehilangan sesuatu dalam hidupnya, bahkan untuk sarapan pun ia tampak enggan. Berkali-kali Widari mendengar helaan napas kasar Paul membuatnya semakin khawatir.

Akhir-akhir ini Paul memiliki kebiasaan baru setiap akhir pekan, setiap Sabtu pagi biasanya dia sudah pergi keluar, alasannya mau cari sarapan, Widari tentu tahu apa maksudnya, tapi Sabtu Minggu ini Paul sarapan di rumah dengan wajah lesu, dan tak sampai menghabiskan satu lembar roti dia sudah kembali lagi ke kamarnya.

Paul membaca ulang chat dari Nabila dari awal, saking rindunya Paul bahkan seperti menndegar suara Nabila setiap dia membaca pesan yang pernah dikirimkan gadis itu, juga bayangan wajah dan ekspresi menggemaskannya yang menari-nari dalam ingatan.

Paul kira dengan membaca chatnya atau melihat fotonya bisa mengobati rasa rindu pada gadis itu, rupanya Paul salah, yang dilakukan Paul serupa mengkonsumsi analgetik, sesaat rindunya reda tapi setelah efeknya hilang rindu yang dia rasakan semakin meradang. Harusnya Paul tahu tidak ada obat untuk rindu selain temu, sayangnya gadis itu tak menginginkan apa yang Paul mau.

"Paul, may I come?"

Paul meletakan ponselnya setelah mendengar ketukan dari pintu kamarnya.

"Masuk aja mam." Sahut Paul tanpa beranjak dari tempat tidurnya.

Widari duduk di tepi ranjang, tanpa mengatakan apapun ia mengelus pipi anaknya,  memberikan senyum paling hangat pada hati yang kembali dingin itu.

"Kamu keliatan berantakan banget." Tukas Widari sambil mengelus surai hitam Paul, tidak, maksud Widari bukan rambut atau wajah Paul saja yang terlihat berantakan, lebih dari itu Widari adalah ibunya, ia bisa merasakan perasaan Paul yang lebih berantakan dari tampilan anaknya saat ini.

"I am." Timpal Paul setuju dengan mamanya.

"Masih tentang Nabila?"

Paul menundukkan kepalanya, mamanya akan selalu bisa membaca apapun yang terjadi padanya, seperti yang pernah dikatakan wanita itu, Paul mudah sekali untuk dibaca oleh Widari, persis seperti buku yang terbuka lebar.

"She want to take a break." Lirih Paul sarat rasa sedih dalam suaranya.

"Kasih dia waktu, dia pasti perlu menjernihkan pikirannya agar bisa melihat segala sesuatunya lebih clear."

"Tapi dia bahkan belum dengerin penjelasan aku, Mam." Keluh Paul. Widari melihat wajah Paul kecil ketika anak itu mengeluh karena omelan papanya.

"Aku baru mau mulai, dan dia gak mau denger." Sambung Paul, mengingat beberapa hari yang lalu saat Paul baru mau memulai penjelasannyya tapi gadis itu kadung menangis dan tidak lagi ingin mendengar apapun yang Paul katakan.

"Mungkin dia merasa perlu menyiapkan hatinya, kamu juga perlu waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya, mama rasa sebenernya ini hanya masalah cara komunikasi kalian." Nasihat Widari.

"Salah aku juga mam, harusnya aku terbuka sejak awal." Sesal Paul.

Mungkin benar kata Rony seharusnya sejak awal Paul menjelaskan semuanya pada Nabila, bukan hanya sekedar mengenalkan Raya sebagai sebab patah hatinya. Paul salah mengira tidak ada yang perlu Nabila tahu tentang masa lalunya, nyatanya masa lalu yang belum selesai akan selalu menghantui hubungan baru yang sedang di bangun.

"Paul, yang harus kamu pastikan sebelum memulai hubungan baru itu bukan hanya selesai dengan masa lalu, but you have to heal your self first." Widari masih setia mengelus kepala anak laki-laki yang yang sudah bukan anak-anak lagi.

Got Me From Hello (Paul x Nabila) -Republish-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang