Bab 1

258 69 69
                                    

Seorang gadis cantik sedang terlelap dalam mimpi indah sambil tersenyum. Senyuman itu begitu indah dan menawan sehingga mampu membuat seseorang yang melihatnya menjadi gemas dan mengaguminya. Namun, senyuman itu tidak berlangsung lama setelah mendengar suara ketukan pintu yang mampu menghancurkan mimpi indahnya.

Tok! Tok! Tok!

“Masuk,” pinta gadis itu belum sepenuhnya sadar.

“Maaf, Non Dinda. Nyonya meminta Anda turun ke bawah untuk sarapan.” Pelayan itu menunduk tanda hormat kepada anak majikannya.

“Baiklah.” Gadis yang dipanggil Dinda oleh pelayan itu membuka selimutnya dan bergegas masuk ke kamar mandi sebelum menemui bidadari surganya itu.

Beberapa menit kemudian, Dinda telah menyelesaikan ritual mandinya. Dia langsung menuruni tangga saat sampai di lantai bawah sudah ada semua anggota keluarganya menunggu kedatangannya dengan senyuman yang tidak pernah luntur di wajahnya.

“Pagi semuanya,” sapa Dinda.

“Pagi,” balas mereka sempak.

“Mama sudah bilang berapa kali kalau selesai Shalat subuh jangan tidur kembali. Apakah Kamu lupa kalau hari ini ada jadwal kuliah?” tanya Ayu dengan muka garangnya mampu membuat Dinda menelan ludahnya sendiri sambil menggerutui kebodohannya.

 “Maaf, Ma. Dinda janji tidak akan mengulanginya lagi.” Dinda menatap arah ayahnya berharap mendapatkan pembelaan kali ini.

“Sebaiknya kita makan sekarang." Ajak Mikail.

Dinda tersenyum mendengar ucapan ayahnya. Namun, berbeda dengan Ayu, dia menatap horor suaminya yang secara tidak langsung membela anak bungsunya.

Dinda Kusuma Wijaya adalah nama yang diberikan padanya sebab mengikuti marga sang ayah, Mikail Kusuma Wijaya. Dia memiliki dua saudara yaitu Dimas Kusuma Wijaya memiliki sikap dingin menurun dari sang ayah. Namun, memiliki sikap penyayang dan posesif terhadap Dinda dan Ayu. Sedangkan Dika Kusuma Wijaya memiliki sikap dingin sama seperti Dimas dan Mikail, tetapi berbeda jika bersama dengan keluarganya dia akan bersikap bobrok dan sedikit cerewet. Sang bunda Ayu Septiani memiliki sikap cerewet, polos, dan bar-bar hal itulah yang menurun pada putrinya Dinda.

Di meja makan hanya suara detikan sendok tidak ada satu pun yang berani membuka suara, karena hal itu sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Mikail dan Ayu mengajarkan anak-anaknya tentang tatak rama, sehingga mereka memiliki kepribadian yang baik.

“Aku sudah selesai aku ke kantor dulu.” Dimas langsung mencium tangan kedua orang tuanya tidak lupa mencium pipi sang bunda membuat ayahnya memasang wajah kesal melihat kelakuan anak sulungnya.

Begitu pula dengan Dika melakukan hal yang sama membuat wajah Mikail semakin kesal dengan kelakuan kedua anaknya. Dinda yang melihat hal itu, berusaha menahan tawanya melihat wajah ayahnya.

  ***

Seorang pria sedang menuruni tangga dengan gagahnya meskipun umurnya sudah tidak muda lagi. Namun, aura ketampanannya masih melekat pada dirinya. Panggil saja dia Dirga Putra Sanjaya. Banyak perempuan yang mengejar-ngejarnya. Namun, belum ada satu pun perempuan yang mengikat hatinya membuat orang tuanya menjadi gelisah dengan nasib putra semata wayangnya itu.

“Pagi,” sapa Dirga dingin kepada orang tuanya.

“Pagi,” balas Robert tidak kalah dingin.

Wina hanya bisa pasrah melihat kelakuan anak dan suaminya itu, sikap dingin seperti mendarah daging pada mereka sehingga saat bersama keluarga pun mereka seperti itu.

“Nak, kapan kamu memberikan kami menantu?” tanya Wina pada anaknya.

“Nanti," Dirga memakan makanannya dengan tenang seperti tidak terjadi apa pun.

“Umurmu tidak mudah lagi, Nak. Kami juga ingin mempunyai cucu seperti orang di luar sana,” Wina memasang wajah sedihnya mampu membuat Dirga menghembus nafas panjang melihat hal itu.

“Ma, aku mencari perempuan yang dapat menggetarkan hatiku bukan perempuan yang hanya mengincar hartaku saja,” jelas Dirga.

“Umurmu tidak muda lagi, Nak. Apakah Mama harus mati dulu supaya Kamu mau menikah.” Wina menatap suaminya meminta pembelaan.

“Papa tidak mau tahu, tahun ini Kamu harus menikah!” tegas Robert mampu membuat senyuman Wina mengembang berbeda dengan Dirga menatapnya dengan tatapan sulit diartikan.

Dirga langsung menghentikan acara makannya dan pamit untuk ke kantor. Di dalam perjalanan dia selalu memikirkan perkataan orang tuanya yang terus-menerus mendesaknya segera menikah. Namun, dirinya juga takut salah memilih pasangan dan berakhir kecewa meskipun, Dirga tahu kalau umurnya sekarang tidak muda lagi. Bahkan mungkin sudah terlalu tua untuk menikah, tetapi keinginan orang tuanya tidak padat dibantah.

Kepalanya rasanya ingin pecah memikirkan hal itu, apalagi pekerjaannya juga lagi banyak-banyaknya yang dapat menguras tenaga.

Beberapa menit kemudian, beliau sampai di perusahaan Sanjaya Grup. Kedatangannya disambut oleh Kevin Adriansyah sekretarisnya sekaligus sahabatnya. Kevin merasakan aura menyeramkan atasannya sekaligus sahabatnya itu paham betul kalau Dirga sedang tidak baik-baik saja.

“Ada apa?” tanya Kevin saat mereka sedang berada di ruangan Dirga.

“Biasa.” Dirga langsung membuka beberapa dokumen yang harus dia periksa.

Kevin yang mendengar hal itu hanya bisa pasrah karena Dirga itu benar-benar keras kepala. Dia saja sudah menikah dan memiliki dua orang anak yang satu perempuan umur 11 tahun dan laki-laki umur 5 tahun. Namun, sahabatnya itu belum pernah dekat dengan perempuan mana pun.

“Sebaiknya cepatlah menikah sebelum papamu yang bertindak.” Saran Kevin.

“Menikah itu bukan tidak semudah diucapkan apalagi mencari perempuan yang benar-benar tulus. Memang banyak perempuan di dunia ini, tapi tidak semuanya baik dan hal itulah yang aku takutkan salah dalam memilih.” Dirga benar-benar kalut kali ini.

Kevin hanya bisa menghela nafasnya mendengar hal itu, cinta memang unik dan bersifat rahasia. Dia juga kasihan melihat sahabatnya yang masih betah melajang meskipun umurnya sudah cukup matang untuk berumah tangga. Hanya doa yang bisa dipancarkan pada Allah supaya Dirga dapat menemukan belahan hatinya yang selama ini dia cari.

“Baiklah, lupakan saja masalah itu sebabnya kita fokus pada pekerja biarkan itu menjadi hal pribadi,” kata Kevin.

“Iya betul, Kevin. Kita harus profesional jangan bawah masalah pribadi ke sini,” dingin Dirga.

Kevin langsung pamit keluar membiarkan bosnya menyelesaikan pekerjaannya. Meskipun mereka sahabat tetap saja Kevin menghormati Dirga sebagai atasannya dan patuh pada perintahnya.

 Dirga fokus pada berkas ditangannya, jari-jari tangannya dengan lincah memeriksa pekerjaannya yang berada di laptop. “Ternyata kamu berani bermain-main padaku.” Dirga tersenyum sinis saat melihat ada pengkhianat padanya.

Dirga terkenal dingin dan kejam dan tidak akan memberikan ampun pada seseorang yang telah berkhianat padanya. Menurutnya pengkhianat harus dibayar dengan penderitaan, jangan ragukan dirinya karena dia tidak pandang bulu semuanya pasti akan kena dan setiap kesalahan mereka lakukan  tidak ada kata maaf.

Dia langsung mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.

“Tangkap orang itu jangan biarkan dia kabur,” ucap Dirga ditelepon.

“ ...... “

“Baiklah.”  Dirga langsung memutuskan sambungan telepon.

Milik CEO Tua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang