bab 4

92 57 61
                                    

Kediaman keluarga Sanjaya sedikit berbeda dari sebelumnya, saat makan pagi tidak ada yang membuka suara semuanya seperti asing, jika dulu mereka saling menyapa meskipun terkesan dingin. Namun, kali ini tidak ada yang membuka suara sedikit pun bahkan untuk menyapa saja enggan mereka lakukan.

Dirga tetap fokus pada makanan tanpa memedulikan orang tuanya, setelah selesai makan dia pergi tanpa pamit, membuat Wina sedih akan perubahan sikap anak dan suaminya. Tanpa sengaja dirinya menetes air mata melihat itu semua hatinya tidak sanggup melihat itu. Seorang ibu akan terluka melihat anaknya berubah.

Wina langsung pergi dari meja makan meninggalkan suaminya yang masih sarapan, Robert yang melihat itu menghembuskan nafas kasar, dia begitu mengenal sikap anaknya yang begitu keras kepala tidak ada pilihan lain dia harus membicarakan hal itu pada sahabat meskipun dirinya tahu itu bisa menghancurkan persahabatannya. Robert mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang di balik teleponnya.

“Halo,” sapa Robert saat orang itu mengangkat teleponnya.

“......”

“Kita bisa kita bertemu? Ada hal penting yang harus aku bicarakan,” kata Robert.

“.....”

“Terima kasih, baiklah. Nanti aku kirim alamat via pesan,” kata Robert setelah itu dia mematikan sambungan teleponnya.

'Mudah-mudahan semuanya berjalan lancar,' batin Robert.

***

Rizal yang baru menerima telepon dari sahabatnya menjadi heran tidak biasanya Robert meminta bertemu dengannya secara dadakan. Dia langsung bersiap-siap pergi karena sekarang dirinya berada di Bandung memantau restorannya yang baru buka beberapa hari, lagi pula dia merindukan cucu perempuannya yang begitu disayanginya.

“Jhon! Siapkan mobil aku akan pulang ke Jakarta sekarang juga.” Rizal langsung memanggil asistennya.

Jhon langsung pergi tanpa diminta lagi, beberapa menit kemudian mobil pun siap. Rizal langsung pergi dengan pikiran yang bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Apakah sahabatnya terkena masalah besar? Semua pikiran negatif memenuhi pikirannya.

Beberapa jam kemudian, akhirnya dirinya sampai di tempat tujuan ternyata di sana sudah Robert yang menunggu kedatangan sahabatnya dengan perasaan gelisah, tanpa membuang waktu Rizal langsung ke sana menghampirinya.

“Maaf, menunggu lama,” kata Rizal langsung duduk tanpa menunggu jawaban dari sahabatnya.

“Aku juga baru sampai dan maaf mengganggu waktumu, yang begitu berharga apalagi aku tahu kamu sedang tidak ada di Jakarta," balas Robert dengan semuanya. Sebenarnya merasa tidak enak karena ulahnya Rizal harus pulang cepat. Namun, masalah ini harus diselesaikan dengan cepat.

“Tidak masalah, sekarang katakan apa yang sebenarnya yang ingin kamu katakan." Rizal dengan santai mempersilahkan sahabatnya bicara.

Robert mengambil nafas panjang dan mulai menceritakan mulai dari keinginan putranya menikahi Dinda sampai perseteruannya dengan sang putra mendengar hal itu Rizal kaget dan syok mendengar hal itu. Dia tidak pernah berpikir kalau cucunya dapat membuat pria dingin itu jatuh cinta pada pandangan pertama.

“Jadi aku harus bagaimana?” tanya Robert mati-matian menahan kegugupannya melihat ekspresi Rizal yang tidak bersahabat.

“Apa yang kamu katakakan dia mencintai cucuku yang pantas dia anggap seperti anaknya! Tentu saja aku tidak setuju apalagi Dinda adalah cucuku satu-satunya perempuan dan aku begitu menyayanginya melebihi apa pun. Maaf Robert, aku tidak bisa menuruti keinginanmu kali ini.” Rizal pergi dari sana untuk merendamkan amarahnya.

Jika bukan sahabatnya mungkin sekarang Robert tinggal nama, karena dia begitu sensitif jika menyangkut cucu kesayangannya itu. Rizal begitu heran di mana jalan pikiran Dirga yang mencintai Dinda yang umurnya terpaut jauh dengan. Bisa-bisa Mikail mengamuk jika dia mengetahui hal itu.

Robert yang melihat Rizal pergi begitu saja sudah menduga hal itu. Dulu sahabatnya itu akan menuruti semua keinginannya sekarang dia bahkan menolak mentah-mentah keinginannya itu.

***

Dinda sedang berkunjung ke kantor papanya membawa makan siang ditemani sang mama. Mereka menjadi pusat perhatian karena selama ini Dinda tidak pernah ke kantor biasanya dia paling malas ke sana. Namun, hari ini berbeda sebab wajahnya berbinar binar dan senyuman tidak pernah lepas dari wajahnya membuat para karyawan menjadi salah tingkah. Apalagi permata keluarga Kusuma Wijaya ternyata begitu cantik dan menawan.

Masya Allah, nikmat mana yang kau dustakan!”

“Ya Allah, cantiknya!”

“Bidadari surga!”

Masih banyak petikan kekaguman yang dilontarkannya. Namun, yang menjadi sosok yang diperhatikan hanya mengabaikan semuanya. Dia tidak sabar bertemu dengan sang papa dengan gerakan cepat dia langsung pergi ke lift yang akan mengantarkan mereka ke ruangan Mikail.

Beberapa menit kemudian akhirnya mereka sampai di ruangan yang bertuliskan “CEO WIJAYA KUSUMA CROP”.

“Papa!” Suara Dinda yang begitu keras mampu membuat yang ada di ruang itu kaget.

Mikail yang siap-siap memarahi orang yang mengganggu rapatnya langsung mati kutu saat melihat ternyata putri kesayangannya mana mungkin dia tega memarahinya. Mikail hanya bisa mengelus dadanya pasrah melihat kelakuan sang putri yang begitu bar-bar. Ayu yang bersama Dinda menjadi malu saat klien sang suaminya berusaha menahan mati-matian tawanya.

'Kenapa anakku seperti dia ya Allah, padahal kan aku dan suami orang baik,' batin Ayu.

“Maaf aku mengganggu, ya?” tanya Dinda sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Padahal mama sudah bilang kalau ketuk dulu pintunya, bukan malah langsung masuk tanpa sopan santun,” omel Ayu.

Dinda yang malu dan takut klien papanya marah langsung berlari ke pelukan Mikail membuat klien Mikail gemas sendiri melihatnya dan berusaha untuk tidak mencubit pipi tembamnya bisa-bisa citra mereka selama ini hancur begitu saja.

Tiba-tiba saja Dinda menangis untuk menutupi kegugupannya membuat semua yang ada di sana menjadi panik termasuk Mikail, melihat sang anak menangis dia berusaha menenangkannya.

“Tidak apa-apa lagi pula kami tidak keberatan,” Kata Bram–Klien Mikail.

“Benar, Om?” tanya Dinda.

“Iya,” balas Bram.

Senyuman Dinda kembali mengembangkan bahkan dirinya tidak menyadari kalau dirinya sudah menjadi pusat perhatian sekarang. Mikail rasanya ingin mencubit pipi tembam anaknya akan tetapi, diurungkan bisa-bisa citranya sebagai pria dingin hancur di hadapan kliennya.

“Maaf, Om-om. Dinda mengganggu, ya?” tanyanya dengan tanpa polos.

“Tidak. Kami tidak merasa terganggu, iyakan?” tanya Bram pada klien yang lainnya.

Mereka semua mengangguk tanpa setuju, Ayu langsung menarik putrinya pergi ke ruangan yang sudah disiapkan Mikail saat dirinya berkunjung di kantor. Sebelum mereka pergi Ayu sudah meminta maaf atas berbuatan putrinya tadi. Dinda pergi dengan mengentak-entakkan kakinya karena kesal sebab dirinya masih mau di sana.

“Ma, aku masih mau di sana om-om di sana ganteng,” rengek Dinda.

“Mereka itu sudah punya istri, mau dilabrak sama istri mereka kalau mama sih tidak mau.” Ayu sengaja menakuti putrinya itu dan benar wajah Dinda terlihat tegang.

 “Jangan, Ma. Nanti rambutku rontok mereka tarik kaya film yang sering Mama tonton.” Dinda langsung takut.

Ayu tersenyum puas untung saja anaknya sedikit polos jadi mudah ditipu. Inilah mengapa Dinda selalu dijaga ketat karena mereka takut ada yang memanfaatkan kepolosannya itu.

Milik CEO Tua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang