42

410 42 29
                                    

Suara tembakan menggema di seluruh ruangan kosong ini, dua gadis yang saling berhadapan itu tak sedikitpun bergerak begitu juga dengan seorang pria yang berdiri tak jauh dari mereka.

Irene memejamkan matanya, bersiap menerima peluru menembus kepalanya. Benak gadis itu hanya membayangkan sesuatu yang bahagia, setelah ini mungkin semua lukanya terangkat dan terbebaskan dari beban-beban yang selalu bersemayan pada pundaknya.

Seperkian detik, hingga menit. Rasa sakit itu tak kunjung datang. Suasana begitu hening setelah bunyi tembakan yang memekakan telinga.

Perlahan namun pasti, kelopak matanya mulai terbuka.

Deg!

Sesuatu di hadapannya terasa begitu mimpi, Claira terkulai lemas dengan darah berceceran di kepala nya. Mata gadis itu melotot hebat seolah tengah meregang nyawa.

Irene meneguk ludahnya kasar, tak percaya dengan apa yang ia lihat dengan mata kepalanya. Dengan gerakan patah, Irene melirik pada Gavin yang masih menodongkan sebuah pistol ke arah Claira.

Ternyata bunyi tembakan itu telah di dahului oleh pistol Gavin sebelum Claira menembak Irene, berada di tengah-tengah dua gadis yang saling memaki membuat Gavin merasa jengah. Terlebih dengan Claira yang berbuat semena-mena membuat Gavin semakin muak.

Lagi pula Gavin tak masalah jika harus mengorbankan nyawa sekutunya, dia tak peduli dengan Claira. Sejak awal, Gavin hanya menginginkan Irene. Claira hanya perantara yang ia manfaatkan dan sesungguhnya Gavin sendiri sangat tak sudi di peralat oleh seorang gadis, dengan kematian gadis itu setidaknya Gavin merasa aman karena Claira terlalu banyak mengetahui hal yabg tak seharusnya di ketahui.

Namun, mata hati Gavin melihat sesuatu yang tak pernah ia lihat. Bagaimana rapuhnya seorang Irene, bagaimana terlukanya gadis itu selama ini. Sisi Irene yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Gavin sadar, perasaan Irene tak akan mungkin berlabuh padanya setelah melihat bagaimana besarnya cinta gadis itu kepada Sean. Sayang sekali, ntah seperti apa kabar Sean saat ini.

"L-lo?" Bahkan untuk memulai sebuah suarapun tak mampu Irene utarakan. Melihat aksi tembakan di depan matanya adalah pertama kali untuk Irene. Membuat gadis itu tak terbiasa dan ketakutan.

"Gue gak suka cewek berisik." Gumam Gavin dengan sorot mata yang dingin.

Tak berselang lama dari itu, Irene mulai kehilangan kesadarannya tepat setelah mendengar suara sirine dari jauh yang menuju ke tempatnya berada.

____

"Sialan! Kok bisa telat sih?!" Galen mengumpat kesal. Situasi saat ini benar-benar rumit. Dirinya menyesal karena terlambat datang dan tak mampu menghentikan semua kejadian ini. Seam telah memberi tahu semuanya, dan malam ini akan menjadi puncaknya. Namun sayang sekali, mobil yang mereka kendarai mogok sehingga molor beberapa jam dan tidak sesuai dengan janji mereka yang harus datang tepat waktu.

"Lo udah hubungin keluarga Irene?" Tanya Bayu dengan raut wajah yang kusut.

Galen menggeleng lemah.

Mereka saat ini berada di rumah sakit setelah membawa Irene yang tak sadarkan diri. Tepat ketika mereka masuk ke gedung kosong itu, Gavin langsung di amankan oleh beberapa anggota kepolisian dan mayat Claira segera di bawa untuk di periksa lebih lanjut. Sedangkan Irene dengan sigap di larikan ke rumah sakit.

"Gimana dengan Sean?" Bayu kembali bertanya.

Galen memilih diam karena sesungguhnya ia sendiri pun tak mengetahui kabar sahabatnya itu.

"Gue gak percaya si Claira penyebab kekacauan semua ini. Dia cuman cewek tapi kelakuannya melebihi iblis. Seharusnya gue ada disana lebih awal, biar tangan gue yang habisin tuh cewek!" Geram Galen dengan tangan yang terkepal erat.

BORDERLINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang