30 Flashback

248 38 18
                                    

Tubuh tegap Sean jatuh tersungkur setelah menerima bogeman keras dari seorang pria paruh baya. Tatapan nyalang di layangkan pria tersebut kepada anak semata wayangnya. Bagaimana tidak? Emosi itu menguap begitu saja tak dapat di bendung setelah mendapat kabar anaknya menabrak seorang gadis.

"Sekarang apa lagi? Apa kau tidak puas menyiksa ku selama ini hah? Apa kau ingin melihat ayahmu sendiri mati karena mempunyai anak beban sepertimu?!" Teriak ayah Sean dengan tangan yang menunjuk ke arah Sean yang masih terduduk di lantai.

Seorang wanita yang terlihat seumuran dengan ayahnya menghentikan Gabriel ayah Sean yang siap memberi pukulan pada anaknya.

"Sudah hentikan, kendalikan emosimu! Memukul Sean tak akan membuat masalah ini selesai." Ucap wanita tersebut seraya menahan tangan Gabriel.

Sean yang melihat itu tersenyum sinis, dia menyeka darah akibat sobekan di ujung bibirnya. Lalu meludah ke kiri dan bangkit berdiri dengan tatapan tajam pada kedua orang dihadapannya.

"Membawa selingkuhanmu heh?" Geram Sean dengan nada benci dan tatapan tak suka pada mereka.

"Kau?!"

Gabriel sudah siap melayangkan kembali pukulan akan tetapi di tahan oleh wanita di sampingnya.

"Kenapa berhenti? Kau ingin memukulku kan? Ayo lakukan? Habisi anak mu, lagi pula untuk apa aku hidup di tengah keluarga menjijikan seperti ini?!" 

"Arrgghh sialan!!!" Sean mengacak rambutnya frustasi dan melayangkan tinju ke udara. Dia segera pergi meninggalkan mereka dan berniat mencari ketenangan.

Saat ini Sean masih berada di rumah sakit.  Sean harus menelan kenyataan pahit saat mendapat kabar dari gadis itu yang di vonis lumpuh, lalu kedatangan ayahnya yang langsung meluapkan amarahnya kepada Sean.

Kondisi tersebut membuat keadaan Sean semakin kacau. Bahkan Sean berkali-kali menyalahkan dirinya atas semua ini, andai bisa mengulang waktu. Sean tak akan mengendarai motor saat air hujan begitu deras.

Lagi pula, siapa juga yang bisa bertahan di rumah? Ketika rumah tempat ternyaman buat orang lain tapi bagi Sean bagai neraka. Kedua orang tua yang membesarkannya saling mengeluarkan cacian, bahkan Sean mendengar sesuatu yang pecah lalu teriakan ayahnya yang meminta perceraian.

Apa semua itu masih kurang untuk membuktikan bagaimana hancurnya hidup Sean? Bahkan seminggu yang lalu dia harus mendapati perselingkuhan ibunya di kantor perusahaan, rasanya Sean begitu muak dan merasa gagal di lahirkan ke dunia ini. Dia merasa tak pantas hidup.

Kebenciannya kepada kedua orang tuanya begitu meletup-letup. Bahkan sebelum perceraian kedua orang tua nya, lagi dan lagi Sean mendapati kabar baru yaitu ayahnya bersama wanita asing. Dan Sean menyebutnya selingkuhan.

Semua semakin terlihat jelas jikalau hidup Sean tak berarti apapun, ingin rasanya dia mengakhiri penderitaan yang menyakiti ini.

Sean memejamkan matanya erat, merenung di atap rumah sakit adalah ide yang bagus. Angin malam setelah hujan membawa ketenangan ke dalam relung jiwanya. Meratapi kehidupannya yang berantakan membuat Sean semakin membenci dirinya. Dia tidak suka terlihat lemah seperti ini.

Decihan kesal terdengar di bibirnya yang terluka, Sean menggenggam erat pembatas atap rumah sakit. Di bawah sana terlihat kota yang indah di hiasi lampu, setiap sudut kota itu nampak hidup dan hangat. Banyak kendaraan yang berlalu lalang atau berbagai orang yang saling berinteraksi dan memadu kasih.

Bolehkah Sean merasa ini tidak adil? Mengapa hanya hidupnya yang terlihat menyedihkan? Mengapa Tuhan memberi ujian sebesar ini pada Sean? Bolehkah, bolehkah Sean mengakhiri semua penderitaan ini?

BORDERLINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang