Dua Puluh

485 57 16
                                    

Masih ingat dengan Rachel? Si gadis manja yang berasal dari keluarga Sean. Sebut saja sepupu. Mungkin bukan itu yang paling melekat di ingatan, melainkan sebuah kekacauan yang sudah Rachel ciptakan saat acara keluarga besar di Bandung.

Rachel tidak jauh berbeda dengan gadis-gadis yang lain. Hanya saja sikapnya yang terlalu terobsesi kepada Sean yang membuat ia kehilangan akalnya.

Malam itu tepat pukul sepuluh dimana Sean akan bersiap-siap untuk tidur. Rasanya begitu penat stelah seharian penuh ia habiskan bersama Irene, bermula dari kejadian pagi tadi dimana Irene menjahilinya, dilanjut dengan sebuah ciuman panas. Lalu Irene mengajak nya keluar untuk jalan-jalan. Terlebih gadis itu mendadak menjadi hiperaktif dan membuat Sean kewalahan menjaga bocilnya.

Baru saja Sean bergabung dengan Irene yang sudah tidur terlebih dahulu akibat kelelahan. Sean memejamkan matanya, tak berselang lama ia kembali bangun karena terusik dengan deringan ponselnya yang terus berbunyi.

Sean tak mau mengangkatnya, karena si penelpon adalah nomor yang tidak dikenal. Maka dari itu Sean berasumsi jika itu adalah panggilan spam.

Hampir ke sepuluh kalinya nomor itu menghubungi Sean. Seolah tidak mengenal putus asa dan terus menghubunginya.

Merasa janggal akhirnya Sean memutuskan untuk mengangkatnya. Barang kali urgent dari seseorang.

"Sean! Lama banget sih. Kamu ngapain aja?" Lengkingan dari seberang sana begitu nyaring sehingga Sean menjauhkan ponselnya dari daun telinga.

Ya, benar sekali. Si penelpon yang menerror Sean adalah Rachel. Sepupu Sean yang tergila-gila dan berambisi menjadikan Sean menjadi miliknya.

Sean berdecak malas kala mengenal siapa pemilik suara tersebut. Saat hendak mematikan telponnya. Sean menghentikan pergerakannya saat mendengar rentenan kata yang membuat hatinya mencelos.

Tak membuang waktu, Sean segera memutuskan secara sepihak. Dia menyambar jaket nya cepat lalu mengambil kunci mobilnya, langkah nya begitu terburu-buru bahkan Sean melupakan ponselnya yang sempat ia lempar asal.

Dengan hati dan pikiran yang tidak stabil, Sean melajukan mobilnya dengan kecepatan diatas maksimum. Sebuah perasaan cemas dan sesak berkumpul menjadi satu, bahkan pikirannya tidak bisa membantu sama sekali dan semakin mengacau keadaan dengan overthinking yang tidak pasti.

Berbeda dengan kondisi kamar yang telah Sean tinggalkan begitu saja. Terdapat gumpalan selimut yang membungkus tubuh seorang gadis. Siapa lagi jika bukan Irene.

Masih dengan mata terpejam dan posisinya yang nyaman. Irene semakin mengeratkan selimutnya saat dirasa udara dingin semakin menusuk kulitnya.

Irene mulau terusik kala tak merasakan sebuah tangan yang memeluknya erat. Dia mengernyit pelan dengan mata terpejam. Berusaha menahan rasa kantuknya, Irene duduk perlahan dengan bibir yang menguap kecil.

Kedua netranya menyapu seisi kamar yang gelap dan tidak ada siapapun, hanya ada penerangan lampu tidur di sisi ranjangnya saja.

Kemana Sean? Tak biasa sekali Sean tidak ada di kamarnya. Terutama sifat Sean yang tak bisa jauh darinya membuat kening Irene mengernyit memikirkan kemana perginya lelaki itu.

Sebuah ponsel yang berdering, membuat fokus Irene teralih. Tangannya segera mengambil ponsel itu yang ternyata milik Sean.

Terdapat sebuah panggilan dari nomor tak dikenal, tanpa berfikir panjang Irene segera mengangkat telpon tersebut.

Nada panggilan tersambung.

"Sean kok kamu lama banget sih?!"

Irene tersentak kecil saat mendengar suara seorang gadis, dia mengecek ulang takut jika itu ponsel miliknya. Akan tetapi itu hanya pikiran bodoh, terlebih perempuan itu memanggil nama Sean.

BORDERLINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang