Empat

2.9K 226 43
                                    


Irene berjalan terburu-buru menuju kampusnya, lantaran tadi malam dia mendapat kabar jika Dosennya berhalangan hadir. Irene bahkan bersorak senang dalam bayangannya ia bisa melanjutkan menonton drama yang sudah ia tunda beberapa minggu lalu karena schedule nya yang lumayan padat. Tapi sepertinya hari ini bukan keberuntungan Irene karena tadi pagi dia mendapat panggilan dari grupnya kalau hari ini Dosen nya bisa hadir.

Beberapa umpatan keluar dari bibir tipis itu, ketika Irene tengah menikmati waktunya lalu mendapat pesan jika 30 menit lagi kelasnya akan di mulai. Dengan kecepatan pesawat zet, Irene segera bersiap-siap tentunya tanpa mandi agar bisa mengejar waktu.

Kedua tangan itu mengikat rambutnya asal, Irene bahkan tak mengindahkan tatapan heran dari beberapa warga di kampusnya.

"Sial! Gue telat," guman Irene begitu dirinya telah sampai di depan pintu. Telinganya sayup-sayup mendengar penjelasan sang Dosen.

Irene mengeluarkan cermin kecil nya yang selalu ia bawa, mematut tampilannya barang kali lipstick nya berantakan. Oke, Irene memang cantik dalam keadaan apapun.

Dengan pelan Irene membuka pintu itu lalu menampakan dirinya dengan senyuman canggung mentap Dosennya yang mengalihkan perhatiannya padanya bahkan semua penghuni kelas juga menatapnya dengan pandangan berbeda-beda, ada yang melihatnya dengan tatapan miris, ada juga yang biasa saja. Dan tanpa dosanya Irene berjalan ke bangku kosong yang terletak di belakang lalu mendudukinya.

"Irene Jovanka Lovata?!"

Merasa namanya di panggil, Irene mengangkat tangannya gugup. "Sa-saya Pak."

"Siapa yang menyuruh saudara duduk?"

Irene menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali lalu cengengesan memandang Dosennya yang menatap ia tajam.

"Maaf Pak saya terlambat," jawab Irene gugup.

"Saudara sudah tau bukan? Jika saya tidak mentolerir siapapun yang terlambat di mata kuliah saya." Lugas dan tenang, tak ada nada kemarahan dalam ucapannya seperti biasanya ia menerangkan materi.

Irene menunduk, nyalinya menciut seketika. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling kelas yang senyap layaknya menunggu putusan hakim.

"Baik, saya akan memberi saudara penawaran. Satu, saudara boleh mengikuti pelajaran saya dengan syarat saudara tidak boleh menanda tangani daftar absen. Dua, silahkan keluar dari kelas saya."

Irene membulatkan matanya, tak ada satu pun penawaran itu yang menguntungkan dirinya. Dan tentu saja Irene memilih opsi pertama tanpa pikir panjang.

"Saya memilih opsi yang pertama."

Tak apa, tak apa jika dirinya tak dianggap hadir atau setan tak kasat mata di kelas ini yang penting otaknya terisi materi. Irene tak mau dimarahi Ayahnya karena menyia-nyiakan uang semester atas hal-hal yang tak berguna.

Dosen itu hanya mengangguk lalu melanjutkan kelasnya.

Irene menghela nafas kasar, dia mengeluarkan buku tebalnya dan mulai fokus mengikuti arahan sang Dosen.

"Sssttt!"

Wendy mendesis layaknya ular guna meminta perhatian Irene. Dengan malas Irene mendelik lalu mengacungkan dagunya seperti bertanya 'ada apa'.

"Kenapa lo gak cabut aja? Harga diri woy!" Bisik Wendy dengan mata yang tak lepas memperhatikan ke depan.

"Gue bukan lo," jawab Irene pelan.

Jika yang terlambat adalah Wendy, dengan senang hati Wendy akan keluar dan memilih bersantai di cafe atau melepas penat dengan memanjakan matanya dengan barang-barang mewah di Mall. Tentu saja hal itu tidak mungkin menjadi salah satu list yang ada di daftar hidup Irene.

BORDERLINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang