Song for this chapter:
Mariah Carey - Always Be My Baby🌸🌸🌸
Dalam sekejap aku sudah menghancurkan keceriaan Livi yang tampaknya mengira siang ini akan menjadi ajang reuni yang seru sekaligus penuh nostalgia mengharu biru. Tentu saja aku nggak menyalahkannya karena saat itu, Livi masih seorang gadis kecil yang polos dengan pipi gembul tumpah-tumpah. Jika aku gagal mengenalinya hari ini tentu nggak lain karena andil drastisnya sebuah masa puber dalam mengubah penampilan seseorang. Namun, aku yakin dalam kasus Livi, nggak hanya pertumbuhan yang membuatnya berubah sedrastis ini. Untuk ukuran calon istri pewaris konglomerat ternama, seenggaknya pastilah juga melibatkan klinik kecantikan mahal, pilihan fashion dan kosmetik high end yang mencekik kantong orang-orang sepertiku. Jika aku tahu Livi adalah orang yang sama dengan Ivy, panggilannya saat kecil yang dulu kukenal baik karena dia adik Krisna—salah satu cowok yang pernah kutaksir saat SMA—aku tentu akan menolak keras datang ke tempat ini.
"Ini kok jadi... canggung banget," komentar Livi saat menyadari sudah lebih dari lima menit kami terdiam tanpa ada percakapan basa-basi paling basi sekalipun, seperti bertanya kabar atau status pernikahan. Sejak saling berjabat tangan, nggak satu pun dari kami berinisiatif untuk membuka percakapan. Krisna terlihat sama canggungnya denganku. Nggak peduli seberapa tampannya dia sekarang dan terlihat sangat berbeda dibandingkan dulu, tetap saja laki-laki ini adalah orang terakhir yang ingin aku temui sekarang ini.
"Gimana kalau kita pesan dulu?" ujar Krisna tetap dengan senyum canggungnya. Aku mendapati tatapannya berusaha keras menghindari tatapanku. Baru saja Krisna mengangkat tangan sedikit, beberapa pelayan datang menghampirinya. Terkesan dia sudah sangat terbiasa dengan tempat ini.
"Oh ya, Petra... Bang Krisna ini owner restoran ini lho. Jadi makan siang kita hari ini udah jelas gratis. Iya kan, Bang?" tukas Livi dengan ekspresi manja yang khas. Melihatnya bermanja dan senyumnya yang ceria mengingatkan aku akan senyum gadis polos bertubuh tambun dan berpipi tembam yang dulu kerap menyambutku saat aku sering bertandang ke rumah Krisna. Ah, masa-masa saat aku masih merasa mencintai seseorang belum terlalu rumit.
"Gue benernya penasaran sama menu buffet-nya karena gue suka coba-coba, jadi kayaknya gue mau milih-milih dulu deh. Lo gimana, Tra? Mau menu buffet atau ala carte?" tanya Livi, lebih antusias soal makanan.
"Lo yakin nyobain buffet? Tapi nggak gue saranin ya buat calon pengantin yang dikit-dikit ngomongin diet. Karena satu menu aja pasti nggak cukup buat cewek yang rakus kayak lo," goda Krisna yang sontak disambut dengan gumaman kesal dari sang adik. Ujungnya, si adik pun mencubit keras lengan sang kakak. Jika ini adalah sepuluh tahun lalu, aku mungkin akan menimpali kelakuan mereka dengan tertawa. Sayangnya, pertemuan yang mengejutkan ini sama sekali nggak bisa membuatku tertawa.
"Gimana, Tra? Kok lo diem? Nggak suka sama menunya?"
Lebih tepatnya, yang nggak aku suka adalah suasana canggungnya, tapi aku nggak mungkin mengatakan itu keras-keras. "Ehm, gue.... belum mutusin mau makan apa. Apa boleh pesannya nanti saja?"
"Oke. Take your time, Darling. Gue mau keliling nyari menu yang bikin gue hepi. Sushi, dimsum, tuna pizza, dessert. Ugh, damn. Tolong ingetin gue buat nggak langsung nyari timbangan setelah makan ya, Bang!" Livi buru-buru meninggalkan meja menuju buffet yang memperlihatkan open kitchen dari beberapa variasi menu. Menu western, japanese, korean hingga chinese ditambah banyak lagi menu side dish dan dessert. Sebelum kemari, aku sangat lapar hingga rasanya aku bisa menghabiskan beberapa jenis makanan di sini sekaligus, tapi itu sebelum aku mendapati keberadaan Krisna di sini.
"Makan yang banyak dan gue kasih bill-nya ke calon laki lo!" balas Krisna.
"Dasar peliiit!" seru Livi.
"It's business. Gue nggak bakal kasih makan gratis orang yang setelah nikah bakal jauh lebih kaya ketimbang gue."
Dari jauh, Livi yang berwajah polos dan naif mengacungkan jari tengahnya tanpa perasaan bersalah. Melihat itu sontak aku tertawa. Setelah bertahun-tahun, aku nggak menyangka masih bisa menyaksikan keributan ala Tom and Jerry yang diperlihatkan dua kakak adik ini. Seketika aku teringat, aku nggak seharusnya tertawa, terutama di hadapan Krisna.
"Akhirnya kamu ketawa juga. Dari tadi ekspresimu seperti boneka yang dipajang di dekat kasir tahu nggak?" canda Krisna dengan senyumnya. Aku melirik ke kasir, samar-samar melihat boneka yang dimaksud adalah boneka kucing melambai yang berukuran cukup besar. Ekspresi kucing itu teramat datar. Nggak jelas apakah kucing itu tersenyum, nyengir atau justru sedih.
"Ngeledek ya?" tanyaku. Lagi-lagi senyum laki-laki di dekatku itu pecah menjadi tawa. Rasanya aku bisa mendengar suara retak yang berasal dari dadaku.
Nggak. Senyum itu nggak nyata. Aku yakin Krisna juga sama syoknya denganku. Nggak mungkin dia senang dengan kedatanganku yang tiba-tiba.
"Apa kabar, Tra? Mungkin telat ya kalau aku baru ngomong ini sekarang, tapi percayalah, selain syok karena kita nggak sengaja ketemu, aku cukup senang melihat wajahmu lagi setelah sekian lama."
Aku mendesah. Andai aku bisa mengucapkan hal yang sama.
"A-aku nggak nyangka Livi Amirta, calon istri pewaris konglomerat ternama adalah Ivy si pipi bulat yang dulu gemesin banget. Kok bisa dia jadi beda banget ya?" aku mengalihkan topik percakapan menjadi percakapan tentang Livi. Tampaknya ini adalah topik paling aman yang bisa kami bahas saat ini.
"Yah itu juga bikin aku sedih. Gimana enggak, pipi yang dulu enak banget buat dicubit kini lenyap digantikan wajah tirus dan dagu lancip. Standar kecantikan zaman sekarang benar-benar mengerikan. Mengurangi kenikmatan seorang abang yang pengen nguwel-uwel adik satu-satunya."
Kata-katanya membuatku refleks meraba wajah, pipi dan bentuk rahangku. Krisna yang menatapku sontak tertawa lagi.
"Kamu juga masih sama seperti dulu, setiap aku membahas tentang fisik perempuan, kamu selalu mendadak salah tingkah dengan penampilanmu sendiri. Would you stop? Itu membuatku selalu merasa bersalah. Nggak ada yang salah sama kamu, Tra. Stop being insecure."
Lama aku terdiam. Menyadari sudah lama sekali aku nggak mendengar omelan semacam itu. Kalimat yang dulu sering aku dengar bertahun-tahun lalu dan selalu gagal membuat hatiku tenang. Ironisnya, aku mendengarnya lagi di saat aku sudah berpikir aku nggak lagi insecure sama penampilanku dan sudah jauh lebih percaya diri ketimbang bertahun-tahun lalu. Krisna justru menganggapku sama sekali nggak berubah.
Somehow, aku takut. Takut jika terlalu lama berdua sama dengan pria ini, aku akan lupa bahwa aku kini sudah bukan Petra yang dulu. Petra yang selalu mendongak ke atas dan hanya melihat Krisna di mana pun dia berada.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Through My Lens
ChickLitPetra Larasati, si kutu loncat dalam pekerjaan dan dalam hal segala hal, termasuk percintaan. Doyan jatuh cinta, tapi tidak pernah menjalin hubungan serius. Di antara banyak job yang ia lakukan, Petra memutuskan untuk yang menjadi fotografer di seb...