Song for this chapter:
Valley - Oh shit... Are we in love?🌸🌸🌸
"Gu-gue?" aku mendadak kayak orang bego.
"Iya. Elo. Apa yang bikin lo mau-maunya masuk ke klub drama? Lo emang jago akting?" selidiknya. Nada bicaranya nggak menyenangkan, tapi jelas nggak bisa aku abaikan karena praktis apa pun yang melibatkan cowok ini kini jadi tontonan. "Terus, lo dikasih peran apa sama Bobby selama lo gabung di klub itu?"
"Lo percuma nanyain orang baru," seru Bobby memprotes.
"Justru karena dia baru, makanya gue tanya. Apa yang lo tawarkan ke anak baru itu udah sesuai nggak sama yang dia alamin." Si cowok garang itu menoleh kembali ke arahku, "ayo jawab. Lo dijanjiin apa sama Bobby?"
Aku makin pening. Apalagi sosoknya kini makin dekat. Wajahnya memang nggak seganteng Bobby, tapi dia punya tubuh tegap dan jangkung, ditambah matanya berwarna jernih dan tampak naif. Rambutnya sedikit berantakan karena tiupan angin. Hidungnya mancung dan ada plester melintang tepat di hidungnya. Aku menduga plester itu untuk menutupi jerawat, persis yang pernah aku lakukan. Aku penasaran cowok ini ada di kelas senior yang mana? Kenapa aku nggak pernah melihat wajahnya sebelum-sebelum ini?
"Hei! Jawab dong!" serunya menuntut. Aku makin panik.
"Gue nggak dijanjiin apa pun. Gue cuma diminta gabung karena... mereka butuh seseorang yang bisa ngurus tata panggung," jawabku.
"Hah?" cowok ini kelihatan nggak puas dengan jawabanku. "Lo nggak pernah ikutan kelas akting?" tanyanya lagi.
Aku menatap cemas ke arah Bobby. Aku melihat mulut Bobby berkomat-kamit tanpa suara. Apa maksudnya? Karena bingung aku pun hanya menggeleng. "Eng-enggak."
"Udah gue duga. Kalau lo jago akting sekalipun gue tetep nggak heran kalau sama Bobby lo nggak dikasih peran. Ya, dikasih sih, tapi lo itu cocoknya dapat peran ibu tiri atau peran pembantu pangeran, bukan peran utama. Kalo kayak gitu lo masih mau gabung di klub drama?"
Aku bengong. Jika orang lain yang dengar, sekilas mungkin cowok ini sedang menghinaku, tapi aku merasa nggak direndahkan sama sekali. Sejauh yang aku tahu klub drama nggak mementaskan drama tentang pangeran dan putri-putrian, entah cowok ini dapat ide dari mana tentang peran-peran yang disebutkannya. Dan sejujurnya, aku syok dengan kenyataan aku sama sekali nggak tersinggung. Cowok itu menyebutkan peran ibu tiri dan pembantu pangeran cocok untukku. Buatku itu sama sekali bukan hinaan. Kenyataannya, nggak ada satu pun orang di klub drama yang mengatakan aku pantas menjadi salah satu pemeran. Dari mukaku mereka sudah meng-klaim aku nggak layak berakting dan cuma cocok disuruh-suruh jadi penata panggung. Intinya, di klub drama aku cuma magang tanpa dijanjikan peran apa pun.
Aku tahu ini kedengaran bego karena aku bisa-bisanya tersentuh dengan kalimat serampangan dari cowok itu, tapi aku beneran terharu. Cowok ini mengatakan hal yang lebih manusiawi dari siapa pun yang aku kenal di sekolah ini. Begitu saja, tiba-tiba air mataku mengalir deras. Si cowok jangkung di hadapanku ini pun terkejut dengan suara tangisanku yang tiba-tiba.
"Lah, kok jadi nangis? Hei, aduh.... gu-gue nggak bermaksud bikin lo nangis tahu." Cowok itu bingung dan kalang kabut. Semakin aku menangis, makin banyak murid lain yang penasaran. Kemarahan cowok itu lenyap sepenuhnya, berganti rasa bersalah. Melihatnya aku makin nggak tega, tapi air mataku jadi susah berhenti. Lalu... aku melontarkan kalimat yang nggak aku sangka muncul di situasi seperti ini.
"Gue... gue mau masuk klub jurnalistik!" ucapku, di sela-sela tangisan yang masih sulit aku hentikan.
"Hah? Lo bilang apa?"
"GUE MAU MASUK KLUB JURNALISTIK!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Through My Lens
ChickLitPetra Larasati, si kutu loncat dalam pekerjaan dan dalam hal segala hal, termasuk percintaan. Doyan jatuh cinta, tapi tidak pernah menjalin hubungan serius. Di antara banyak job yang ia lakukan, Petra memutuskan untuk yang menjadi fotografer di seb...