Lens #3 - Doom's Day For A Bad Girl

552 101 7
                                    

Song for this chapter:
Lauv feat. BTS - Who

🌸🌸🌸

Sialnya, perdebatanku dengan Mila pagi tadi memicu hal yang nggak ingin aku ingat-ingat. Ingatan semalam saat aku mabuk karena segelas martini dan menenggak beberapa teguk whiskey. Entah dari mana pemicu dari aksi nekatku semalam? Seingatku aku tidak dalam kondisi seputus asa itu sampai harus datang ke party dan mabuk semalaman.

Hanya saja, aku ingat di sela-sela percakapanku dengan orang asing yang bersama denganku di ranjang hotel pagi tadi, kami membahas tentang anak. Atau seenggaknya pandanganku tentang memiliki anak, sama persis dengan yang aku katakan di hadapan Mila. Saat perasaan dejavu itu menyerang, saat itu kilasan-kilasan ingatan semalam muncul. Makin lama makin jelas, tapi tetap saja aku merasa perlu untuk mengklarifikasinya dengan saksi mata yang aku anggap cukup bisa dipercaya dan satu-satunya yang aku ingat ada di lokasi kejadian.

Tentunya saja dia adalah sosok yang patut disalahkan atas kehadiranku di party semalam, Troy. DJ bau tengik yang merasa perlu memaksa seseorang untuk menggerakan crowd saat dia beraksi. Menelepon si kunyuk satu itu jelas menjadi satu-satunya jawaban yang aku butuhkan.

"Hello, ma queen.... did you have fun last night?" sapanya dengan gaya sok asyik yang membuatku malas.

"Have fun kaki lo bau! Lo yang nyuruh gue datang ke party, harusnya lo juga yang tanggung jawab buat jagain gue supaya gue nggak ngelewatin batas dong."

Terdengar gelak tawa khas yang sama menyebalkannya dengan ceramah Mila yang menjadi sarapanku pagi ini.

"Ampun ah, Nyai... kayak lo itu anak esempe yang baru ngerasain mabok aja. Memangnya semalam ada yang terjadi? Apa ada orang yang bonyok lo gebukin karena mabok?"

Aku nggak perlu menjawab pertanyaan konyol itu kalau ujung-ujungnya Troy belum juga puas menertawakanku.

"Atau... bangun-bangun udah ada pangeran ganteng nan seksi dengan tubuh telanjang bak patung yunani tidur di sebelah lo? Jadi yang mana nih?"

Aku masih keukeuh tak mau jawab.

"Perlu ya, lo ngeledek gue sampe segitunya?"

"Kan gue mau mastiin dulu. Mengingat reaksi lo yang nggak terlalu panik kayak abis ditahan di kepolisian, gue simpulin yang terjadi adalah yang kedua, iya kan?"

"Oh great, kesimpulan yang cerdas. Jadi lo ngeremehin masalah gue dari level panik yang gue tunjukin?"

"Of course lah. Memang seburuk apa sih one night stand sama cowok ganteng kalo itu juga udah bukan pertama kalinya lo begitu?"

"Itu! That's the point. Ini bukan pertama kalinya dan udah kejadian berkali-kali. Kepikiran nggak lo kalau gue udah muak dan bosan? Terus tiba-tiba aja lo maksa gue datang ke party lo. Gue udah keukeuh nggak mau datang karena takut kebiasaan gue terus-terusan diulang, tapi lo malah bilang dan janji bakal jagain gue, mastiin gue nggak minum lebih dari dua gelas cocktail dan nggak nyentuh whiskey."

"Err... masa sih? Gue janji kayak gitu ya?"

"Kalo lo ngeles, lo bakal gue blokir selamanya dari kontak gue."

"Ampun, Nyai... aduh gimana ya... iya sih gue janji begitu, but... kenyataannya gue lihat lo tuh ngobrol lamaaaa sama dia. Let say, bukan gue aja yang nggak nepatin janji gue, lo juga sama aja. Lo janji pas gue beraksi nge-DJ lo bakal naikin mood crowd dengan joget asyik di depan stage gue kayak yang biasa lo lakuin di party-party lain. C'mon, yang datang ke party tahu kalau lo bakal ngeramein suasana juga karena itu spesialisasi lo dan alasan kenapa lo diundang ke banyak party sama organizer di banyak kafe dan diskotik. Baru sepuluh menit lo nge-dance di part gue nge-DJ, lo udah kecantol aja sama cowok yang ngajak lo ngobrol. And yaaaa... nggak nyalahin lo juga karena gue liat tuh cowok tinggi, cakep and from head to toe, he's seems so expensive. And the most important things, lo keliatan enjoy sama dia. Terus gue mesti larang-larang lo deket-deket dia? Larang-larang dia kasih minum ke lo kalau elonya nggak keliatan risi sama sekali?"

Oh. Shit.

"Lo... lagi mengarang indah atau gimana?"

Yah, aku tahu reaksiku menyebalkan, tapi penjelasan Troy juga terlalu sulit untuk aku percaya. Terutama jika ingatanku hanya sepotong-potong soal semalam.

"Terserah deh lo mau percaya apa nggak. Bukan karena gue nggak jagain lo, tapi karena lo udah jauh di luar radar gue pas lo asyik ngobrol sama cowok itu. Dari pada gue lebay larang-larang lo, ya gue biarin aja. Kalian toh keliatan dekat dan nyaman. Jadi gimana semalam? Tuh cowok nggak nyakitin lo kan?"

"Gue—"

Aku belum sempat menjawab, karena tepat di saat bersamaan, Bu Sandra memberikan isyarat buatku untuk keluar dan menemuinya di ruangan meeting bersama klien. Buru-buru aku mengakhiri panggilan ponselnya dengan Troy.

"Troy, gue mesti balik kerja. Gue tutup dulu ya."

Aku setengah bersyukur karena nggak perlu menjelaskan tentang cowok yang seranjang denganku pagi ini. Dipikir lagi, mungkin aku sebaiknya nggak usah mengungkit-ungkit peristiwa semalam. Persetan juga kejadian semalam sengaja atau nggak disengaja, jika memang aku nggak bisa mengingat dengan jelas, biar saja begitu. Yes, of course aku sudah berjanji sama diri sendiri untuk nggak melakukan hal gila kayak gitu lagi, tapi jika karena satu atau dua hal, peristiwa itu nggak bisa dihindari, aku cuma harus berpura-pura itu nggak terjadi. Nasib baik aku nggak tahu sosok cowok semalam itu. Nama lengkapnya, apa pekerjaannya—sekalipun fakta bahwa menurut Troy cowok itu tergolong laki-laki mahal itu sedikit menggoda—dan statusnya dalam pernikahan pun sama sekali nggak aku ketahui.

So yeah... let it go.

"Tra! Bu Sandra mau ketemu lo cepetan," suara Mila terdengar ketus saat memanggilku. Aku menghela napas sejenak, lalu bangkit mengekori langkah Mila di belakang.

Sejak perdebatan kami di konter resepsionis, Mila kelihatannya masih kesal karena ucapanku. Aku putuskan nggak ambil pusing toh dia juga sama sekali nggak merasa bersalah karena terus-menerus mengkritik hidupku. Namun, kesunyian saat kami berdua jalan beriringan menuju ruangan meeting klien membuatku merasa sesak. Aku benci punya perang dingin dengan sesama rekan kerja. Aku mungkin perlu menambahkan reminder yang kutulis di planner book untuk mengajak Mila bicara baik-baik—kalau dia bisa diajak bicara baik-baik.

Aku masuk ke ruangan meeting yang sudah dihadiri klien penting Belle Ame. Biasanya sih sepasang calon pengantin dan beberapa orang yang ikut mengurusi pernikahan mereka.

"Yang baru saja masuk adalah Petra Larasati, dia yang akan mengurus segala persiapan untuk fotografi pernikahan kalian. Jika ada tema yang kalian inginkan dan ingin diwujudkan, sekarang saat yang baik untuk membahas persiapannya. Tra, kenalin... beliau-beliau ini adalah klien kita. Sepasang pengantin yang akan menikah itu adalah Livi Amirta dan Aksa Hendriatmadja," ucap Bu Sandra, mencoba menjelaskan.

Hendriatmadja? Sepertinya nggak asing.

"Dugaanmu betul, Tra. Aksa Hendriatmadja ini putra tunggal Jamal Hendriatmadja, pemilik grup AMARA Food, salah satu produsen makanan terbesar di Indonesia." Seolah sedang membaca pikiranku, Sandra menjelaskan asal-usul di calon pengantin pria.

Aku mengangguk-angguk. Jadi ini maksud Ika mengatakan Bu Sandra kedatangan klien yang tergolong sangat penting. Aku pun membungkukkan badanku sedikit untuk memperkenalkan diri.

"Selamat pagi, saya Petra Larasati yang meng-handle khusus dokumentasi pernikahan kalian. Saya kan usahakan setiap detik momen kebersamaan kalian akan terdokumentasi dengan baik, untuk itu saya sudah siapkan beberapa portofolio yang akan—"

Tanpa sengaja sorot mataku bersirobok dengan sosok Aksa Hendriatmadja. Aneh rasanya karena dia menatapku dengan sangat intens seperti sangat mengenalku. Ditambah lagi, aku merasa raut wajahnya familiar. Di mana tepatnya aku pernah bertemu dengannya?

Lalu kilasan-kilasan pagi tadi saat aku bangun dari ranjang hotel itu pun menyeruak. Rambut berantakan, tubuh telanjang dan sosok pria yang tertawa-tawa lepas semalam sebelumnya. Potongan-potongan gambar yang tadinya samar kini jelas. Seperti potongan puzzle, raut wajah Aksa seakan melengkapi potongan yang hilang tentang ingatan semalam. Schedule planner-ku melorot jatuh ke lantai dan aku dilanda sindrom gagap tiba-tiba.

This is bad. Like... really really bad. Aku tidur dengan calon suami orang lain yang akan melangsungkan pernikahannya dengan menggunakan jasa wedding organizer kantorku.

Bolehkah aku berharap gempa bumi atau bencana alam melanda wilayah ini supaya aku nggak perlu mengingat lagi kebejatanku semalam? Dan yang terpenting, supaya aku nggak perlu berada di ruangan ini.

***

Through My LensTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang