Song for this chapter:
Taylor Swift - Enchanted🌸🌸🌸
Cerita tentang aku saat pertama kenal Krisna biasanya nggak pernah aku ceritakan dalam keadaan sadar. Aku tahu cerita-cerita tentang cinta monyetku dulu sama sekali bukan hal yang aku banggakan dan malah cenderung memalukan atau menyedihkan. Karenanya aku kesal sekali saat menyadari di hadapan Aksa dengan bergelas-gelas minuman beralkohol, aku bisa menceritakan dengan lancar hal-hal yang dulu aku anggap noda dalam hidupku. Kepolosanku saat berusaha menarik perhatian cowok-cowok yang aku taksir. Kepolosan? Heh... lebih tepatnya justru kebodohan.
Oke, balik lagi ke hal bodoh yang pernah aku lakukan semasa SMA. Ini terjadi saat aku baru masuk ekskul drama. Saat itu aku sibuk memeriksa penampilanku. Memastikan nggak ada sebiji pun ketombe yang terlihat di seragam hitamku yang adalah seragam klub drama. Sebelum masuk ke aula tempat klub drama berlatih, saat itu aku mematutkan diri di depan jendela kelas yang meskipun bukan cermin, tapi cukup memantulkan bayangannya terutama jika kaca ruangan itu gelap dan cahaya di belakangnya bersinar terang. Aku dulu terhitung parno dengan apa pun yang dikatakan orang tentang penampilanku, terutama jika saat-saat itu adalah saat jerawat menjadi musuh terbesar dalam hidupku.
Jerawatku bukan jenis jerawat yang muncul malu-malu dan lenyap seketika dengan hanya sapuan bedak tabur. Dia—jerawat maksudku—benar-benar kayak remaja labil yang nggak bisa diatur. Ukurannya besar dan membuat wajahku seperti makhluk jadi-jadian yang habis meminum ramuan hormon untuk buaya. Aku nggak berlebihan karena memang itulah yang dituduhkan teman-teman lain untukku. Jerawatku besar, memerah dan kadang mengeluarkan cairan yang menjijikkan. Aku beberapa kali bolos sekolah dengan alasan sakit meski sebenarnya jerawatku sedang berulah. Saat muncul ke sekolah keesokan harinya, habis sudah aku diledek teman-teman sekelas dan terpaksa memakai plester untuk menutupi jerawat meski itu malah membuat jerawatku tambah meradang.
Saat itu seperti mimpi buruk yang nggak pernah berakhir. Aku takut dibenci, aku takut diasingkan meski kenyataannya aku sudah merasa terasing. Penampilanku bertolak belakang dengan gejolak hormon masa mudaku. Seperti yang pernah aku ceritakan di depan Aksa, aku ini gampang jatuh cinta. Kalau di masa-masa SMP aku gampang jatuh cinta dan gampang menunjukkan di depan orang yang aku suka kalau aku naksir dia, nggak begitu dengan masa SMA. Di SMP wajahku meski biasa-biasa aku merasa nggak terlalu memalukan karena saat SMP aku terhitung telat tumbuh. Tubuhku mungil dan pendek. Nggak ada benjolan bulat di dadaku dan aku baru menstruasi saat kelas IX SMP. Begitu tahun ajaran SMA dimulai, aku stres berat karena hormon tumbuhku seolah meledak nggak kira-kira. Kalau meledaknya membuat dadaku jadi besar mungkin aku bakal happy go lucky aja, tapi ini membuat jerawatku membludak dan kulitku menggelap.
Masa SMA-ku suram karena ledekan, tapi juga mendebarkan karena aku banyak bertemu cowok-cowok menawan yang membuatku lupa bahwa masa mudaku cukup sengsara. Sayangnya, aku menyadari kondisi fisik wajahku yang nggak standar. Ini membuatku harus puas dengan naksir diam-diam.
Di tahun pertama SMA, aku sudah mengikuti banyak ekskul hanya karena aku naksir pengurus ekskulnya. Ekskul PMR meski hanya di awal-awal saja karena aku naksir Aldo, ketua ekskul. Tapi aku hanya bertahan dua bulan saja setelah tahu Aldo lebih mengincar temanku yang cantik dan bohay.
Bulan ketiga, aku pindah haluan masuk ke ekskul radio. Menjadi penyiar radio lumayan seru, terutama jika anak baru berkesempatan siaran bareng cowok paling gaul seantero sekolah, Micky. Sayangnya, aku juga hanya bertahan dua bulan. Setelah membekaliku dengan skill public speaking dan seabrek latihan pernapasan dan pengoptimalan suara, aku pun debut dengan siaran pertamaku bersama Micky, si ganteng nan gaul.
Nggak ada yang salah dengan siaran pertamaku, banyak yang memuji suaraku. Sayangnya, siaran bersama Micky membuatku traumatis. Micky benar-benar hobi melontarkan candaan yang menghina fisik. Dia keceplosan menyebutku "pengepul jerawat" setelah dengan enteng melabeli salah satu teman angkatanku sebagai karung beras saking gembul perutnya. Micky sih hanya minta maaf sekenanya, tapi sama sekali nggak ada peringatan akibat kata-kata kasarnya seolah semua umat di sekolah akan memaafkan perbuatannya asal dia tetap ganteng dan gaul.
Aku kesal dan cabut dari klub radio. Tahun pertama aku nggak bisa menetap di satu ekskul. Capek berpindah-pindah aku pun akhirnya memutuskan masuk di banyak ekskul sekaligus. Ekskul English Speaking, ekskul debat dan taekwondo juga nggak luput dari sasaranku. Mengikuti ekskul-ekskul itu sekalipun hanya dalam waktu singkat benar-benar membuatku belajar banyak. Aku nggak main-main saat mempelajari hal baru. Meski motivasinya memang untuk menarik perhatian senior yang aku taksir, nggak dipungkiri aku sebenarnya juga sangat menikmati semua kegiatan baruku. Semua teman-temanku tahu betapa cepat aku mempelajari hal baru dan sangat tanggap. Hanya saja kalau wajahku cantik, aku mungkin akan dipuji. Sayangnya dengan kekurangan fisikku, aku cuma dianggap caper. Dianggap sok asyik lah, kepedean lah dan seabrek sebutan lain yang bikin tensi darahku naik.
Sampai tahun kedua di SMA, aku belum menetap di satu ekskul. Terakhir aku mencoba bertahan di klub drama karena naksir Bobby, aktor sekaligus ketua klub. Yah, pastilah kalian penasaran apa yang dilakukan orang dengan muka penuh jerawat parah sepertiku di klub yang mengagungkan penampilan fisik untuk jadi pemeran utama. Jawabannya karena aku punya keahlian melukis dengan cat. Mereka berpikir skill-ku berguna untuk mendekorasi panggung drama. Jadilah aku direkrut klub yang bahkan nggak menawarkan peran apa pun dalam proyek drama mereka. Karena aku masuk supaya bisa lebih dekat dengan Bobby, aku berpikir itu nggak masalah. Sampai peristiwa di depan sekretariat klub drama terjadi.
Waktu itu aku berniat masuk ke ruangan klub. Dari arah berlawanan, seorang cowok bertubuh tegap keluar dari ruangan klub dengan buru-buru. Dia menabrakkan tubuhnya denganku tanpa sengaja. Aku agak terhuyung sebentar karena perbedaan proporsi tubuh membuatku yang lebih kecil jadi limbung menahan keseimbangan. Sayangnya, meski bertumbukan, cowok itu seolah nggak menganggapku ada karena dia sedang berteriak.
"Gue nggak nyangka kalian sepicik itu. Kesepakatan kita dulu, masing-masing klub hanya boleh promo dan menjaring anggota baru selama seminggu saja. Kenyataannya kalian curang dan bergerilya mengambil anggota yang sudah memilih klub lain," seru cowok di depanku dengan suaranya yang menggelegar. Ekspresinya menunjukkan kemarahan yang sepertinya sudah di ujung kepala hingga emosinya meledak. Aku nggak tahu apa yang terjadi, tapi jelas cowok ini nggak senang dengan siapa pun yang berada di ruangan ini.
"Mana buktinya tuduhan lo soal klub kami bergerilya? Kalau nggak ada anggota baru klub kalian yang daftar, jangan nyalahin kami dong," tukas Bobby, you know... cowok yang sedang kutaksir. Agak aneh melihat Bobby, cowok berparas menawan dengan senyum manis yang membuatnya mudah akrab dengan siapa saja, malah terlihat merendahkan orang lain.
"Hei, Bob. Kalau bukan karena laporan pengurus klub lain yang anggotanya pada direbut sama klub kalian, gue males bikin ribut di sini, tahu. Semua ngeluh ke gue dan nggak ada yang berani marahin lo mentang-mentang bapak lo kepala sekolah di sini. Nggak usah sok-sokan minta bukti deh, lo mau ngibulin siapa emangnya?" tantang cowok itu lagi.
"Lo tuh yang percaya aja omongan orang yang nggak suka sama gue. Lo nggak berhak ngelabrak gue kalau dari awal nggak ada yang minat gabung sama klub jurnalistik yang lo pimpin. Ngaku aja, lo gagal ngurusin klub dan lebih milih nyari kambing hitam buat disalahin. Gue." Bobby berseru dengan gaya arogan yang hampir nggak pernah aku lihat.
"Hah, lo belagak sok suci yang mengira semua anggota baru yang gabung ke klub lo itu bener-bener suka akting. Menurut lo, mereka gabung karena apa? Karena lo tukang rayu yang manfaatin tampang lo untuk menggaet anggota baru. Termasuk lo juga kan?" cowok itu mendadak menoleh dan bertanya ke arahku. What? WHAT?
Mendengar itu aku sontak mematung. Dan yang membuatku malu, aku berdiri dengan semua orang melempar tatapan ke arahku seolah menunggu jawabanku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Through My Lens
ChickLitPetra Larasati, si kutu loncat dalam pekerjaan dan dalam hal segala hal, termasuk percintaan. Doyan jatuh cinta, tapi tidak pernah menjalin hubungan serius. Di antara banyak job yang ia lakukan, Petra memutuskan untuk yang menjadi fotografer di seb...