Lens #11 - Bad Guy Go To Hell

729 101 11
                                    

Song for this chapter:
Billie Eilish - Bad Guy

🌸🌸🌸

Di luar dugaanku, pertemuan singkatku dengan klien berujung sangat dramatis. Calon pengantin wanita menangis dan langsung pulang tanpa menoleh dan mengindahkan permintaan maaf calon pengantin pria. Sepanjang pertemuan tadi hampir seperempat waktu hanya digunakan untuk berdebat masalah pro kontra konsep Disney Princess antara kedua sejoli itu. Sisanya.... well, lebih banyak membahas masalah pribadiku di awal pertemuan. Jika tahu akan seperti ini, dari awal aku sebaiknya nggak usah mempedulikan soal dandananku. Sungguh percuma.

Hanya saja, aku masih heran kenapa calon pengantin pria masih di ruangan ini sementara Krisna sibuk mengejar dan menenangkan adiknya.

"Apa perlunya kamu tetap tinggal di sini? Calon istrimu butuh dihibur dan diyakinkan kalau semuanya bakal baik-baik aja. Kalau kamu gagal menjaga mulutmu, apa perlu kamu gagal jadi lelaki baik di depan calon istrimu sendiri?" sindirku. Sesungguhnya aku masih sangat ingin menghajar mulutnya sampai berdarah karena hampir membocorkan affair kami. Saat mengatakan ini pun aku terlebih dulu memastikan Krisna dan adiknya sudah benar-benar menjauh dari ruangan ini.

"Livi sudah tahu kebiasaanku. Soal aku tidur dengan banyak perempuan, barangkali dia yang paling kenyang mendengar cerita-cerita itu ketimbang orang lain. Andai dia tahu kamu pernah tidur denganku, aku yakin dia nggak akan marah," tukas Aksa dengan nada tanpa penyesalan. Membuatku amat muak.

"Kamu pikir perempuan itu sesimpel itu? Memaafkan lalu lupa? Nggak semudah itu, Don Juan. Dia mungkin memaafkanmu dan tetap bersedia menikahimu, tapi dia nggak akan lupa bagaimana kamu menyakitinya. At least, kalau dia belum ingin menyakitimu, dia akan mencari pelampiasan dengan menyakiti orang lain. Aku misalnya karena aku cuma fotografer murahan yang kehadirannya nggak penting di dunianya yang selalu indah."

"Please.... dia nggak akan menyakitimu."

"How can you be so sure?"

Aksa tersenyum dan mendekatiku dengan gerakan perlahan menyapukan sisi rambutku dan membawanya ke belakang telingaku. "Karena Livi cerita bagaimana kamu yang dulu menggemaskan itu mengejar-ngejar kakaknya hingga rela menjadi budaknya sekalipun Krisna dulu sudah punya pacar yang cantik. Livi kasihan padamu. Katanya jika ada perempuan yang harus dimaafkan segala kesalahan naifnya di dunia ini adalah kamu. Dia merasa bersalah karena kakaknya, kamu dulu dibuat menderita."

Saat aku tak berkutik. Ada yang sangat menyakitkan mendengar percikan masa lalu dari mulut orang yang sama sekali nggak aku sangka akan mengatakannya. Perutku terasa mual, seolah aku bisa saja muntah di tempat ini. Aku tahu perasaan ini. Perasaan panik, ketakutan dan merasa hancur yang dulu menghantuiku.

"Petra yang malang. Aku nggak menyangka, laki-laki yang membuatmu luar biasa terluka dan mengubah pandanganmu tentang cinta—which is yang pernah kamu ceritain waktu kita bicara intim malam itu—ternyata adalah Krisna, kakak tunanganku. Kalimat 'dunia itu sempit sekali' sungguh nggak bisa diremehkan ternyata ya?"

Aksa meraih punggung tanganku dan mendekatkannya ke dadanya yang bidang hingga pelan-pelan laki-laki itu membawa jemariku ke dekat bibirnya dan mengecupnya. Tatapannya tajam dan liar, seolah ia bisa kapan saja menerkamku dan memangsaku habis-habisan. Dan aku yakin dia nggak akan menyesalinya. Ya Tuhan, kutuklah aku karena telah membeberkan rahasia dan kelemahan terbesarku pada orang asing saat aku mabuk. Kini lihat apa yang terjadi? Dia memanfaatkan kelemahanku untuk melampiaskan hasrat busuknya.

Satu gerakan cepat dariku mengakhiri aksi rayunya. Sebuah tamparan keras tepat di pipinya. Aku mungkin akan menyesalinya dan harus mengarang alasan yang masuk akal jika klien di hadapanku ini mengadukanku pada Bu Sandra. Hanya saja, sekarang ini harga diriku membutuhkannya. Aku butuh merasa kuat untuk nggak lagi diremehkan laki-laki.

***

Saat kembali ke ruanganku aku merasa tatapan Mila menyiratkan rasa penasaran yang tidak sulit untuk dibaca. Apalagi dengan tatapan matanya yang meneliti seluruh sudut wajahku tanpa merasa sungkan sedikit pun. Aku tidak ingin menebak-nebak. Tepatnya menebak-nebak bahwa dia mungkin tahu apa yang terjadi di ruang pertemuan dengan klien pagi ini. Sesungguhnya, aku yakin jika staf Belle Ame lain melihat betapa dramatisnya Livi keluar dari ruangan dan disusul Krisna yang khawatir lalu mengejarnya, mereka akan menduga terjadi perdebatan yang sengit saat berdiskusi. Aku hanya berharap mereka tidak mendengar suara kerasnya tamparanku di pipi Aksa, pria yang sedang salah tempat untuk menggodaku dan melihat tampangku saat keluar dengan ekspresi menahan kesal.

Yah, aku agak ceroboh karena bersikap hampir sama dramatisnya dengan Livi saat keluar dari ruangan. Yang terburuk, aku membiarkan Mila menangkap basah diriku bertampang seolah ingin memakan manusia hidup-hidup dan menginjak bangkai mereka. Sekarang, aku sungguh terganggu dengan pandangan dan lirikan penasaran yang setiap menit ditujukan padaku, bahkan saat aku sedang berpura-pura sibuk mengumpulkan materi riset untuk konsep pemotretan proyek pernikahan yang dalam waktu dekat harus aku kerjakan. Dari sudut mataku, aku bisa melihat bagaimana Mila mengawasiku. Astaga....

"Kalau ada yang perlu lo bilang, gimana kalo bilang sekarang aja?" sungutku seketika saat aku menangkap basah Mila yang berkelit dari sorot mataku.

Mila terdiam, terlihat agak syok dengan caraku yang berterus-terang memergokinya mengumbar rasa penasaran di hadapanku. Awalnya dia seperti ingin mengutarakan sesuatu, sampai akhirnya aku nggak juga mendengar suaranya. Mila pun menggeleng sembari tersenyum.

"Nope. Gue cuma penasaran, tapi nggak lagi," jawabnya yang justru membuatku makin kesal, seolah dia sengaja cari gara-gara denganku.

Aku berdecak kesal, tapi menolak untuk menyerah. "Lo nggak bisa seharian melototin gue dan jelas-jelas lo mau ngomong sesuatu terus lo bilang nggak ada apa-apa," sindirku.

Mila kembali menatapku, lama dia berpikir sebelum akhirnya memutuskan untuk mendekat ke mejaku. Ekspresinya seolah-olah ia sedang memastikan nggak ada orang lain di dekat kami yang akan menguping pembicaraan.

"Tra, dari tadi gue ragu mau ngomongin ini, takut lo tersinggung. Karena lo maksa, gue nggak ada pilihan lagi."

Kalimat yang dilontarkan Mila membuatku makin cemas. Dan kutebak, Mila menikmati apa pun yang sedang ia ketahui tentangku. Wanita itu mengeluarkan ponsel dan membuka platform video Youtube dan menunjukkan satu video yang membuatku tercengang. Melihat nama akun pemilik channel, aku bisa menebak pemilik video itu adalah Aksa. Video itu menunjukkan suasana di sebuah kelab malam. Aku bisa melihat jelas wajah Troy, temanku yang malam itu menghangatkan suasana dengan kepiawaiannya menjadi DJ. Mulanya video itu hanya menunjukkan wajah Aksa yang tampak memamerkan dirinya dan beberapa temannya yang tampak bersenang-senang. Lalu kamera menyorot ke sosok perempuan yang aku tahu jelas wajahnya. Wajahku sendiri. Aksa merangkulku dengan akrab di video itu. Berseru riang dan keras-keras menyebutkan namaku. Aku yang sedang 'high' makin menggerakkan tubuhku dengan antusias. Memamerkan trik gerakan tarianku yang selalu kubanggakan dan selalu disukai pengunjung kelab malam yang kudatangi. Seruan crowd makin menggila menyerukan namaku dan di akhir, Aksa mengecup pipiku.

Oh. No.

"Tra, lo nggak berutang penjelasan ke gue, tapi gue rasa klien kita nggak bakal suka andai mereka tahu soal video ini." Suara Mila yang lembut bernada pasif agresif nyaris terdengar seperti petir di siang bolong. Jika boleh, aku ingin menawarkan diri disambar petir sekalipun untuk menghindari suasana canggung seperti ini.

***

Note:

Haiiii... Lama nggak say hi ke pembacaku. How r u doin'? Aku tipe penulis yang hit and run, habis update langsung ngilang hahaha...

Nah kalian tipe pembaca yang gimana gaes? Habis baca, langsung komen atau langsung *clink* ilang?

Tapi aku pelan-pelan berusaha buat deket sama pembacaku. Pelaaan banget, gapapa ya? Yang sabar kalian lah sama aku ni 😆

Through My LensTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang