Lens #5 - What Kind of Life Is This?

467 91 7
                                    

Song for this chapter:
Heart - All I Wanna Do Is Make Love To You

🌸🌸🌸

"Lo percaya nggak? Selama gue masuk SMA ada berapa cowok yang gue taksir?"

"Berapa?"

"Dua puluh satu!"

"Dua puluh satu? Gokil! Terus mereka semua berhasil lo pacarin?"

Aku memutar bola mataku sebelum menjawab dengan gelengan kepala, "Nggak."

Alis laki-laki itu mengernyit. Aku bahkan belum tahu namanya, tapi sudah sepanjang ini menceritakan kisah cintaku di masa putih abu-abu. Karena minuman, hal-hal yang seharusnya nggak semudah itu aku ceritakan jadi termuntahkan begitu saja. Di depan orang asing pula. Tapi, sejujurnya aku bersyukur aku nggak kenal dia dan nggak tahu namanya. Itu membuatku lebih mudah dalam menceritakan hal-hal yang menurutku memalukan.

"Kalau nggak buat lo pacarin, apa perlunya lo naksir cowok sebanyak itu?" tanyanya keheranan.

"Hey, sometimes you don't need spesific reason to fall in love. Gue akui gue random abis dulu kalau naksir orang. Nggak ada tipe-tipe spesifik yang jadi kriteria cowok yang bisa gue taksir. Satu hari gue bisa naksir anak PMR yang culun abis tapi baik hati karena nolongin kucing jalanan yang hampir ketabrak motor, besoknya gue bisa bucin banget sama anak band yang tampilannya sangar dan rambut jabrik."

"Oke, tapi pasti ada kesamaannya di antara cowok-cowok yang lo taksir itu. Apa dong kira-kira?"

Aku meneguk sedikit minumanku, memutar-mutar tepian gelasnya, lalu kembali melanjutkan kisahku.

"Kesamaannya, mereka bikin gue ingin masuk ke dunia mereka. Secupu itu gue sampai kalau naksir cowok, gue nggak butuh orang itu tahu perasaan gue, gue cuma berharap mereka tahu kalau gue ada."

"Bohong kan? Lo cuma becanda kan?" tawa laki-laki itu meledak. Sedetik kemudian dia merasa bersalah karena menertawakan kenaifanku. "Ah, maaf. Meski ini cuma masa lalu, tapi tetap saja rasanya aneh jika ada orang yang mengaku suka, tapi nggak ingin perasaannya diketahui."

Aku tersenyum tipis. "Benar kan? Lo juga berpikir ini nggak masuk akal? Tapi lo nggak akan berpikir begitu kalau di antara semua orang, lo terkenal dengan sebutan paling sering naksir cowok atau sering gonta-ganti cowok yang ditaksir."

"Wahhh.... kalau itu sih—"

"Memalukan. Itu kan yang mau lo bilang?" todongku.

"Daripada dibilang memalukan, lebih tepatnya mengherankan. Yaa, hormon anak muda memang suka meledak. Naksir banyak orang itu hal yang wajar, kenapa itu jadi masalah?" ucapnya.

"Yang jadi masalah, kalau wajah lo nggak memenuhi harapan standar cantik di masa-masa itu."

Laki-laki itu menyipitkan mata, menatapku dengan seksama yang kali ini membuatku geli meskipun nggak nyaman.

"Lo pasti becanda. Lo cantik kok. Meski nggak menonjol kayak model, tapi di tempat ini lo sangat menonjol dengan pesona lo sendiri."

"Kan gue ngomongin masa lalu. Masa-masa puber dulu membuat kehidupan remaja gue lumayan sulit. Gejolak hormon yang nggak liat tempat, cuaca panas ditambah kebiasaan gue yang nggak pernah betah di rumah. Praktis teman-teman gue banyak melabeli gue sebagai anak perempuan hitam yang jerawatan. Bagi anak cowok, kalau tahu ada cewek seperti gue yang naksir mereka. Itu bencana."

Aku meneguk minumanku yang kesekian kali sebelum melanjutkan.

"Bagi anak remaja, jika mereka tahu lo sedang naksir siapa, bakal tersebar kayak tahi burung yang kena angin. Yang lo nggak kenal sama sekali, besok-besoknya udah sok-sokan jodoh-jodohin lo sama cowok yang lo taksir. Terus jadi lelucon sampai lo harus sakit hati tiap kali lewat deretan kelas-kelas itu. Parahnya mereka semua tahu siapa aja yang lo taksir. Menurut lo, lo bisa nggak anggap hal itu wajar saat lo seusia gue?"

"It's humilliating."

"Exactly! Bagi cowok-cowok yang menganggap dirinya adalah korban karena gue taksir, itu sudah cukup memalukan. Gimana gue coba?"

"Lalu, setelahnya apa yang terjadi?"

"Nothing. Literally nothing happened antara gue sama cowok-cowok yang pernah gue taksir. Gue nggak bisa mengendalikan kapan dan dengan siapa gue suka seseorang, tapi untuk nunjukin gue suka sama seseorang secara terang-terangan buat gue udah memalukan. Saat SMA cara gue suka sama seseorang dengan sendirinya berubah," ujarku. Kepalaku makin berat karena efek minuman, tapi justru itu membuat kalimat yang keluar dari mulutku makin deras mengalir.

"Gue nggak terang-terangan nunjukin gue suka, tapi gue selalu, selalu dan selaluuu mencari cara supaya masuk ke kehidupan mereka. Satu cowok suka main band, jadilah gue masuk ikut ekstrakurikuler band. Satu lagi suka taekwondo, gue pun daftar jadi anggota baru taekwondo. Begitu seterusnya. Dalam tiga tahun masa SMA, gue baru sadar gue makin ahli belajar hal-hal baru berkat cowok-cowok yang gue taksir. "

"Seriously? Sampai segitunya lo berusaha supaya dekat sama cowok yang lo taksir?"

Aku mengangguk. "It's not that bad. Barangkali gue cewek pertama yang lo temui yang bisa ganti ban mobil sendiri, merakit lemari sendiri. Atau kalau sedesperate itu lo butuh pelukis mural buat interior rumah lo, gue juga bisa lakuin itu."

"WOW. Just wow.... dan itu semua lo lakuin cuma modal suka doang sama seseorang?"

"Kalau lo tumbuh jadi cewek yang inferior dengan penampilan sendiri, lo nggak akan bilang yang gue lakuin karena 'suka doang'. Dihina-hina atau diledekin karena naksir seseorang itu bikin gue trauma, tapi begonya gue juga nggak bisa mengendalikan diri gue bakal naksir siapa hari ini. Apa yang gue lakuin bener-bener hanya ingin mereka sadar gue ada dalam hidup mereka. Gue cuma ingin diingat. Karena gue cuma punya ketekunan dan keahlian cepat belajar, seenggaknya gue ingin diingat sebagai orang yang menyenangkan. Bukannya menyebalkan karena mudah jatuh cinta sama cowok."

"You're awesome. Gue nggak tahu mesti ngomong apa. Cheers for your weird past," ucap laki-laki itu sambil mengangkat gelasnya dan aku menyambutnya dengan sukacita ditambah rahasia-rahasia tergelapku yang entah bagaimana kutumpahkan semua malam itu. Bodohnya aku mengira nggak akan bertemu lagi atau beririsan dengan hidup laki-laki itu.

Nyatanya cowok semalam yang mendengarkan cerita-cerita anehku di masa lalu, kini tersenyum di hadapanku dengan sorot mata penuh percaya diri. Hidup macam apa ini?

***

Through My LensTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang