Lens #9 - Not My Business

770 116 4
                                    

Song for this chapter:
No Doubt - Don't Speak

🌸🌸🌸

Aku memandangi pantulan diriku sendiri di depan cermin. Cermin di toilet Belle Ame cukup besar dengan pencahayaan yang sangat bagus, nggak gelap dan juga nggak terlalu terang. Membuat tampilan kulit wajahku terlihat pas dengan riasannya. Seharusnya nggak ada masalah dengan penampilanku, tapi tetap saja aku merasa selalu ada yang kurang.

Sebentar lagi, aku harus menghadiri sesi brainstorming bersama keluarga Hendriatmadja, khususnya pasangan calon suami istri Livi Amirta dan Aksa Hendriatmadja untuk membicarakan berbagai macam kebutuhan dalam persiapan pernikahan mereka. Tadinya aku mengira, pembahasan tentang konsep pemotretan hanya melibatkan aku dan Livi saja karena hanya wanita itulah yang antusias dengan apa yang ingin ia capai dan tunjukkan dalam konsep foto-foto pra pernikahan hingga acara utama pernikahan mereka. Aku kira Aksa nggak terlalu tertarik dengan urusan konsep foto dan menyerahkan keputusan sepenuhnya pada calon istrinya. Buatku, hal demikian lebih mudah karena aku nggak perlu bertemu lebih sering dengan Aksa, yang artinya aku nggak perlu merasa bersalah setiap melihat wajah laki-laki itu. Sayangnya, aku salah duga. Mereka berdua justru minta pembicaraan kami dilakukan bersama-sama dan dilakukan di kantor Belle Ame. Sesuatu yang nggak biasa untuk ukuran klien VIP yang lebih suka tim kami mendatangi mereka jika menyangkut pembahasan lebih detail untuk masing-masing kebutuhan pernikahan.

Maksudku, dengan kesibukan tim kami di Belle Ame yang beraneka ragam. Timku yang berisi asisten fotografer dan pegawai intern yang membantuku di lapangan tentu saja memiliki cara kerja yang berbeda dengan tim bagian wedding dress, undangan ataupun katering. Ini membuat klien harus meluangkan waktu terpisah untuk masing-masing kebutuhan mereka. Dibandingkan divisi lain yang lebih menuntut klien datang ke kantor Belle Ame untuk pengepasan gaun atau food tasting. Bagianku lebih fleksibel jika menyangkut diskusi bersama klien. Aku bisa melakukannya di kantor klien, di kafe ataupun tempat lain yang mereka inginkan asalkan aku bisa menerjemahkan apa yang mereka inginkan dalam prosesi pemotretan nanti.

Lalu mendadak, kebiasaan itu berubah setelah aku mendapat kabar hari ini Livi dan Aksa akan mampir ke Belle Ame khusus hanya membicarakan konsep pemotretan mereka. Aku nggak sepenuhnya siap dan buru-buru berdandan. Seriously... aku sangat jarang berdandan hanya untuk datang ke kantor Belle Ame, even untuk datang ke party pun aku cuma pakai pakaian kasual anti ribet. Karena di tempat ini aku jarang bertemu klien yang berhubungan dengan pekerjaanku. Dalam bekerja pun, aku nggak akan meributkan penampilanku saat bekerja di lapangan. Hanya untuk saat ini saja, aku merasa perlu berdandan. Anehnya, meski sudah melakukannya pun aku tetap nggak puas.

Apa tepatnya yang membuatku sangat gelisah?

Rahasia yang harus kututupi tentang affair semalamku dengan si calon pengantin pria? Ataukah pertemuanku dengan Krisna yang membuat kepercayaan diriku kembali tenggelam? Yang mana?

Dering ponselku meraung-raung. Seolah isyarat bagiku mau berapa kali aku nggak puas dengan diriku sendiri di depan cermin, aku tetap harus datang ke ruangan meeting. Suara Ika dari meja resepsionis terdengar serius saat menghubungiku.

"Tra, lo udah ditungguin di ruang meeting," ucap Ika saat mengabariku. Entah karena terlalu gugup atau sedikit nggak nyaman, aku baru menyadari aku sudah menghabiskan waktu terlalu lama di toilet.

"Iya gue ke sana, Ka. Ehm... Bu Sandra ada di ruang meeting juga nggak?"

"Nggak. Cuma klien aja yang nungguin lo."

Makin mampus aja dong gue, pekikku dalam hati. Kembali aku merapikan rambutku dengan jemari tanganku. Menyisirnya sedikit ke belakang. Meluruskan kemaja warna marun sembari menegakkan tubuhku. Pelan-pelan aku merapal mantra untukku sendiri: "Jangan bicara yang nggak perlu, Tra. Urusan pribadi calon pengantin bukan urusan lo. Inget itu! Lo nggak bertanggung jawab sama moral calon suami istri yang pernikahannya sedang lo tanganin. Lakukan ini demi bisnis. B-I-S-N-I-S."

Setelah mengucapkan mantra itu, aku merasa sedikit lebih ringan. Dengan cepat aku berjalan menuju ruang pertemuan. Aku mencoba nggak memperlihatkan ekspresi lain selain ekspresi keramahan dan profesionalitas. Di situlah aku melihat wajah kedua pasangan calon pasutri, Livi dan Aksa. Keduanya tampak sumringah. Sedikit mengintimidasiku, tapi juga sekaligus menimbulkan penyesalan. Di saat aku berpikir keras dengan apa pun yang berkelebat di otakku tentang nasib pernikahan mereka, di sini mereka tampak santai dan.... oh astaga, lihat senyuman itu. Bagaimana bisa mereka tampak bahagia? Astaga Livi, apakah kamu sadar pria yang akan kamu nikahi adalah pria penggoda yang dengan mudah merayu wanita untuk tidur bersamanya?

Livi melambai padaku dengan antusias. Sepertinya di antara siapa pun di ruangan ini, dia satu-satunya yang nggak sabar membahas tentang ide dan konsep yang akan kami bicarakan. Aku menyambut lambaian itu dengan senyum ramah secukupnya. Oh, shit. Kondisi ini sangat terbalik dengan pekerjaanku yang biasa. Biasanya, aku lah yang melakukan pendekatan ekstra dengan klien bahkan mencoba bersahabat dengan mereka. Aku melakukannya karena aku nggak ingin mereka kurang nyaman saat pemotretan. Aku butuh mereka menganggapku 'teman, keluarga atau sahabat' supaya mereka nggak malu untuk memperlihatkan sisi unik yang mereka miliki. Aku ingin mereka rileks saat menerima masukanku dan berpose dengan nyaman. Tapi lihat sekarang? Siapa yang tersenyum sangat kaku dan kelihatan nggak nyaman? Well, guess what? That's Me!

"Tra, are you okay? Kok lo kelihatan nggak bersemangat?" tanya Livi penuh simpati.

Is it too obvious?

Damn. Aku buru-buru melemaskan bahuku dan menyunggingkan senyum senyaman mungkin. "I'm okay, Liv. Mungkin efek begadang semalam."

"Much clubbing and hanging out, eh?" celetuk Aksa. Refleks aku melirik ke arahnya, menghadiahi laki-laki itu dengan tatapan tajam. Namun, sesaat kemudian aku menyadari aku seharusnya nggak perlu tersulut.

Moral klien bukan urusan lo, Tra. Bukan urusan lo!

Aku mengangkat bahu. "Hmm what can I say? Selain memotret, job sampingan saya adalah influencer kecil-kecilan. Siang hari, saya dibayar untuk memotret pasangan pengantin, malam hari khususnya weekend saya banyak mendapatkan penghasilan dari party organizer yang menginginkan wajah saya menghiasi laman media sosial mereka." Aku berusaha menjawab setenang mungkin.

"Apa pekerjaan itu termasuk tidur dengan orang asing? You know, it's a party. Semua mungkin terjadi."

"Aksa! Maksud lo apaan sih? Kok lo nggak sopan gitu nanyanya?" protes Livi.

Aku memejamkan mata, mencoba sedemikian keras mempertahankan kewarasanku untuk nggak membalas sindirannya. Apa laki-laki ini sudah gila? Apa sih yang dia harapkan dengan memprovokasiku? Apa dia nggak takut aku mungkin akan membongkar kebusukannya? Ataukah dia sedang menantangku, mengira-ngira apakah aku akan tersulut dan langsung membocorkannya?

"Sekalipun saya mungkin tidur dengan orang asing. Saya pastikan dia bukan suami ataupun calon suami perempuan lain. Apa jawaban ini membuat Anda puas?"

Laki-laki itu terdiam. Tampak ia ingin membuka mulut demi membalas ucapanku. Namun, aku dengan cepat mengalihkannya dan tatapanku sepenuhnya terarah pada Livi. "Oh iya, Liv. Lo udah mutusin belom, bakal pengen konsep pre-wedding yang kalian inginkan kayak gimana? Atau... lo mungkin tertarik dengan beberapa konsep dari macam-macam portofolio gue yang kemarin gue tunjukin?"

"Tunggu, tunggu.... percakapan macam apa ini? Kenapa Aksa tahu soal kesibukan Petra yang sering clubbing? Dan kenapa lo juga nyebut-nyebut soal Petra tidur sama orang asing, Sa? Apa kalian saling kenal sebelumnya?"

Aku berhenti sejenak. Kenapa rasanya suara Aksa berubah sangat drastis seperti orang lain?

Aku menoleh dan menyadari bahwa aku sudah melewatkan sosok satu orang lagi yang sedang berdiri di tepi jendela. Aku melewatkan kehadirannya dan mengira yang ada di ruangan ini hanya kami bertiga. Aku dan pasangan calon pengantin. Dan orang yang baru bicara tadi, kini berdiri tegap dan tatapan penuh curiga yang diarahkan lurus ke arahku dan Aksa.

Si pemilik mata elang itu, kenapa aku sama sekali nggak terkejut melihatnya?

Krisna.

***

Through My LensTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang