Lens #7 - The One From The Past

459 89 10
                                    

Song for this chapter:
Katty Perry - The One That Got Away

🌸🌸🌸

Tubuhku terasa membeku. Sudah berapa lama Livi berdiri di sini? Sedang apa dia?

"A-ada yang bisa dibantu?" tanyaku berusaha tenang meski rasanya bisa saja aku meledak saking kacaunya pikiranku sejak pagi tadi. Yang ada di kepalaku hanyalah bagaimana caranya supaya affair semalamku dengan Aksa Hendriatmadja nggak terendus oleh calon istrinya. Sepertinya Tuhan tengah menikmati bermain-main dengan jantungku hari ini sampai aku harus dihadapkan langsung dengan wanita cantik yang paling aku takutkan mengetahui kisah ini.

"Petra kan?" tanyanya.

Aku yakin dia tahu namaku karena aku sempat memperkenalkan diri saat presentasi, tapi apa maksudnya menanyakan lagi di hadapanku?

"Iya benar. Apa... ada yang aneh?"

"Nggak. Gue cuma mau mastiin. Lo benar-benar Petra Larasati yang dulu pernah sekolah di SMA Dharmawangsa X bukan?"

Mataku melotot saking nggak menyangka akan menerima pertanyaan semacam itu. Namun, di saat yang sama aku juga ingin sekali mengelus dada karena lega setelah tahu apa yang membuat Livi penasaran sama sekali nggak berhubungan dengan percakapanku dengan Bu Sandra.

"Maaf, Mbak Livi... kenal saya?"

Wanita di hadapanku ini tersenyum, nyaris tertawa seolah-olah ia menyimpan excitement yang nggak bisa kupahami.

"Livi aja deh. Apaan pake sebutan "mbak" segala. Tuaan lo juga. Tapi, lo... benar-benar nggak ngenalin gue ya?" tanyanya lagi. Kata-katanya kini bernada teka-teki, seolah dia menikmati permainan tebak-tebakan ini.

Aku berpikir panjang sebelum akhirnya mendesah dan menggeleng. "Maaf sekali, tapi belakangan gue nggak bisa percaya sama ingatan sendiri. Ditambah gue sulit mengenali wajah orang. Bisa nggak, lo lebih spesifik? Apa kita pernah saling kenal di masa lalu?"

Alih-alih menjawab pertanyaanku, yang dilakukan wanita ini adalah menggamit lenganku dengan senyum penuh teka-tekinya. Seolah-olah kami adalah sahabat lama. Sungguh ini membuatku nggak nyaman. Terlebih dengan rahasia yang sedang aku sembunyikan mati-matian.

"Kita memang nggak kenal secara langsung, tapi jelas kita dulu saling kenal. By the way, lo udah makan siang? Mau makan siang bareng?" ajaknya, yang lebih tepat terdengar seperti sebuah pernyataan ketimbang pertanyaan. Dia bahkan nggak menungguku untuk mengiyakan ajakannya dan langsung saja menyeretku berjalan menjauhi ruangan Bu Sandra.

"I-itu.... gue-"

"Kamu pasti penasaran kan sama gue dan gimana kita kenal dulu? Ayolah. Demi nostalgia masa muda kita, temani gue makan siang. Lo pasti terkejut setelah tahu cerita gue."

Sekarang pun aku sudah sangat terkejut. Rasanya apa pun kejutan setelah hari ini nggak akan membuatku lebih surprise lagi. Jadi aku nggak akan berharap apa pun. Aku hanya berharap wanita yang tengah menyeretku menjauh dari kantor Belle Ame ini berubah pikiran di jalan dan nggak bernafsu mengajakku makan siang lagi. Membayangkannya saja membuatku merasa sangat aneh situasi canggung di antara kami. Andai dia tahu semalam aku meniduri calon suaminya, dia bisa saja langsung menggorok leherku dengan benda tajam yang bisa ditemukan di tasnya, pengikir kuku misalnya. God. Perlukah aku memikirkan escape plan secepat mungkin?

Tapi, aku merasa sedikit aneh karena setelah kami tiba di mobil Livi, aku nggak melihat ada tanda-tanda kehadiran Aksa Hendriatmadja. Setengah dari benakku merasa lega, tapi setengahnya lagi aku nggak mampu menyembunyikan rasa penasaranku.

"Ehm, calon suami lo ke mana?"

"Mas Aksa? Dia bilang ada urusan pekerjaan yang urgent diselesaikan. Jadi siang ini kita cuma makan siang berdua. Nggak apa-apa kan? Tenang aja gue nggak bakal bahas urusan konsep pemotretan kami. Seenggaknya belom deh."

Thanks god. Pekikku dalam hati. Aku nggak ingin wajah legaku terlalu kentara. Saat masuk ke dalam mobil, aku berharap aku masih cukup waras untuk nggak menyebut nama Aksa lagi sekalipun aku mungkin penasaran apakah selama ini Livi tahu apa saja yang dilakukan kekasihnya itu atau sejauh mana mereka jujur dalam berkomunikasi.

"Ehm, Mbak...?" aku mencoba mengawali basa-basi sebelum bertanya lebih lanjut.

"Panggil Livi aja dong. Dibilangin ih," seru Livi, lebih mirip mengancam meski nadanya bercanda.

"Liv, kenapa lo nggak jujur aja apa sih yang coba lo tunjukkin? Ingatan gue mungkin buruk, tapi gue bakal cepat mengingat kalau lo kasih petunjuk gimana dulu kita kenal?"

Livi terlihat ekstra ceria, khususnya untuk hari ini. Wajahnya cerah dan berkilauan. Kenapa ada laki-laki bangsat yang mencoba mengkhianati wanita semenyenangkan ini?

"Gue mengundang orang yang sudah jelas lo kenal. Kalau lo ketemu dia lo juga pasti bakal ingat gue. I'm sure."

Kembali aku menghela napas. Kenapa aku mendadak jadi orang lemah jika menyangkut berdebat dengan sesama wanita. Aku nggak akan bisa menang. Sementara itu, mobil yang dikendarai Livi berhenti di sebuah pelataran restoran besar dengan bangunan bergaya Eropa lengkap dengan ornamen bata yang didominasi warna terakota sekaligus aksen tanaman rambat yang membuat suasana terkesan sejuk. Restoran ini sedikit membuatku terintimidasi karena kesan mewah yang ditimbulkannya. Yah, calon istri satu-satunya pewaris Jamal Hendriatmadja sepertinya nggak akan pernah makan di tempat terpencil yang biasa-biasa saja. Ah, moodku sedang ingin menyantap nasi padang di dekat kantor Belle Ame, hanya saja aku nggak bisa mengatakan terus terang soal ini dengan alasan sopan santun pada klien.

Aku melihat Livi menelepon seseorang sembari berjalan masuk melewati lobi restoran dan membiarkan satu pelayan menuntun kami menuju meja yang sepertinya sudah direservasi sebelumnya. Sepertinya wanita itu dan sosok yang di telepon sudah membuat janji untuk bertemu di tempat ini. Sesungguhnya aku nggak penasaran dengan siapa yang akan dia temui. Jika ada yang ingin aku lupakan, barangkali adalah pengalaman-pengalaman konyolku saat masih SMA. Jika acara makan siang ini berakhir dengan reuni kecil-kecilan dengan teman-teman lama, aku akan menahan diri untuk nggak banyak bicara. Aku benci menebak-nebak apa yang mereka pikirkan tentangku di masa lalu. Oh tidak. Haruskah aku bertemu dengan sesama alumni SMA Dharmawangsa X?

"Ah, itu dia tokoh utama kita hari ini," seru Livi saat pintu restoran terbuka dan seseorang muncul di sana.

"Bang! Di sini!" bak anak kecil yang antusias mendapatkan mainannya, Livi yang dari tadi terlihat elegan kini bersikap manja di hadapan laki-laki yang sepertinya adalah kakaknya.

Sedikit pun aku nggak curiga. Aku bahkan nggak berniat mencari tahu siapa sosok itu sampai aku mendapati caranya berdiri, caranya melambaikan tangan dan caranya berjalan mengingatkanku pada seseorang yang sangat aku kenal di masa lalu. Semakin lama wajahnya makin mendekat dan aku merasakan kupu-kupu dalam perutku sangat bergejolak. Sorot mata itu nggak mungkin bisa aku lupakan. Sekalipun postur laki-laki kurus yang dulu pernah kukenal sekarang sudah sangat berubah menjadi pria gagah yang nyaris nggak kukenali lagi dari jauh. Namun, saat mata itu menatapku, aku tahu aku nggak baik-baik saja.

Aku pikir aku nggak akan lebih terkejut ketimbang pagi ini. Kenyataannya, siang ini adalah puncak dari segala keterkejutanku.

"Datang juga akhirnya. Bang Krisna! Masih ingat nggak sama Petra? Petra yang dulu sering datang ke rumah kita. Tahu nggak, Bang. Petra ini yang bakal ngurusin wedding photography pernikahan gue sama Mas Aksa."

Rasanya dadaku terasa sesak dan sulit bernapas. Jika bisa, aku nggak ingin berdiri berhadapan dengan laki-laki ini. Nggak setelah apa yang terjadi di masa lalu.

***

Through My LensTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang