Hai Semua!!!!
Thanks untuk Vote dan Komennya!!!!
Happy Reading!!!
***
"Terimakasih, Dam. Kalau bukan karena kamu aku pasti akan kehilangan hak asuh Silfa." Adelia mengulurkan tangannya pada Damar.
Damar menyambutnya uluran tangan itu, "Itu memang sudah tugas aku sebagai pengacara. Kalau begitu lebih baik kita berpisah disini." Dia harus segera pulang, Delia sudah menunggunya di apartemen.
"Tunggu dulu." Adelia menghentikan Damar yang hendak pergi. "Aku harus menjemput Silfa, tapi keluarga Andri tidak mungkin memberikan Silfa pergi denganku. Bisakah kamu membantuku?" Damar hendak menolak namun Adelia kembali berbicara, "Bukankah ini masih bagian dari tugasmu?"
Damar berpikir sebentar sebelum akhirnya mengiyakan, dalam perceraian kadangkala ada saat ketika pihak memenangkan hak asuh justru sulit bertemu dengan anakny, apalagi Andri memiliki cukup kuasa untuk melakukan itu.
Damar menyetir mobil dengan fokus, melirik jam tangannya. Pukul 12.15, masih ada cukup waktu sehingga dia tidak perlu terlambat pulang.
"Hubunganmu dengan Delia baik-baik saja?" Adelia memulai pembicaraan di mobil yang hening.
"Jangan membahas hubungan pribadiku." Damar tidak bermaksud kasar, namun topik tentang dirinya dan Delia tidak untuk diceritakan pada orang lain.
Adelia yang menerima respon dingin dari Damar hanya tersenyum sedih, memilih menghentikan pembicaraan. Akhirnya mereka mengemudi ke rumah Andri tanpa saling berbicara.
"Barang-barang Silfa yang lain akan kubiarkan saja, Ma." Adelia menatap mantan Ibu mertuanya yang menatap marah padanya.
"Berhenti memanggil saya seperti itu. Perempuan tidak tahu diri. Datang membawa selingkuhan untuk menjemput anaknya." Cemoohnya menatap Damar dan Adelia.
Damar mengernyit tidak suka, tetapi tidak membalas. Tidak ada gunanya.
Adelia juga tidak membalas lagi, tahu bagaimana sifat mantan Ibu mertuanya, "Silfa." Adelia memeluk putri kecilnya. "Ikut Mama ya." Adelia memeluk Silfa yang tampak pucat. Sepertinya dia sedang sakit.
Di dalam mobil Adelia duduk bersama Silfa yang tertidur, dia mengusap-usap rambut Silfa. "Apa menurut kamu aku egois dengan memisahkan Silfa dengan Ayahnya?"
"Aku tidak tahu. Hanya kamu yang bisa menilainya." Balas Damar.
"Kamu sangat dingin. Jadi ini yang dirasakan oleh orang-orang yang bicara denganmu." Adelia menampilkan wajah miris. "Jika aku bersikap tidak tahu malu dan meminta kamu yang bertanggung jawab atas kehamilanku saat itu, mungkin saja saat ini kita sedang berbahagia. Kamu, Aku, Silfa, mungkin juga dengan anak kita."
Damar tidak menjawab, dia tidak suka berandai-andai. Dulu mungkin dia akan berharap akan hal itu, tapi sekarang bayangan masa depannya hanya terbayang dengan sosok lain yang menghidupkan kembali tawa di hidupnya. Damar tidak berniat menukar sosok itu untuk bahagia yang hanya sekedar memori.
Butuh hampir 30 menit hingga Damar akhirnya tiba di depan gedung apartemen Adelia, Damar mengeluarkan barang-barang Silfa dari dalam bagasi mobilnya. "Kenapa?" Tanyanya ketika melihat Adelia tampak kesulitan dengan Silfa dalam gendongannya.
"Bisa kamu gendong Silfa ke atas? Dia sepertinya sedang sakit. Sedangkan aku harus membawa barang-barang itu." Adelia bertanya ragu.
Damar melirik berkali-kali Silfa yang menggeliat terus dalam pelukan Adelia. Damar bukan orang yang tidak punya hati, tidak mungkin Adelia bisa membawa barang-barang ini dengan Silfa yang sedang rewel dalam gendongannya. Dia meraih Silfa mengantarkan mereka ke dalam apartemen. Dalam pelukannya Silfa terus menggeliat tidak nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Damar & Delia
ChickLitDelia tahu bahwa mereka menikah hanya karena permintaan Ibu Damar. Namun Delia terlampau mencintai Damar sehingga tidak menolak ketika Ibu Damar memintanya untuk menikah dengan Damar. Delia tahu bahwa damar tidak mencintainya. Damar tahu bahwa menik...