kekecewaan

22 6 4
                                    

Haii, part pertama dimulai. Enjoy the reading
..

Setelah mendengar kabar duka, dan menghabiskan setengah hari di tempat terakhir sang ibu aku langsung menuju apartemen milik kekasihku. Rasanya ingin mengadu akan kehilangan sosok ibuku semalam.

Ada penyesalan yang hadir ketika baru mengetahui keadaan almarhum sang ibu yang memiliki penyakit mamatikan dan ketika tahu tidak bisa diobati. Apalagi dirinya selama ini tidak begitu memperhatikan beliau. Padahal beliau begitu menyayangi dan memperhatikan aku beberapa bulan terakhir.

Begitu sampai tujuan, aku dengan mudah memasuki kediaman sang kekasih yang sudah biasa aku masuki, memang sering menghabiskan waktu setelah seharian sekolah maupun di waktu luang jika tidak mood bepergian. Berdua saling canda.

Namun, seakan kepahitan tidak puas menghampiri. Aku mendengar dan melihat dengan kepalaku sendiri hal yang 'tak terduga.

Aku berharap apa yang saat ini ku lihat hanya sekedar ilusi, dimana kedua sosok nan aku sangat kenal berada di kamar dengan keadaan telanjang.

Suara erangan yang ku tebak dari sosok laki-laki menyadarkan bahwa ini nyata, bukan ilusi semata. Tidak ingin melihat yang lebih menjijikkan aku segera keluar seraya membanting pintu dengan keras.

"Jay?" seruan itu membuat aku mengalihkan atensi pada gadis, ralat pada wanita yang hanya mengenakan selimut tebal putih untuk menutupi tubuhnya.

Tanpa mau merepotkan diri untuk mengenakan pakaian dia dengan berani menunjukkan diri dengan keadaan yang hanya tertutupi selimut.

Mungkin karena mendengar suara pintu sehingga menyelesaikan kegiatan yang tidak ku sangka-sangka. Tapi aku semakin terlihat mmenyedihkan melihat dia hanya menunjukkan raut wajah terpegok tidak ada raut bersalah telah berselingkuh.

"Aku bisa jelasin." Mantan kekasihku itu mendekat mencoba meraih tanganku. Namun, aku menoloknya. Rasa jijik setelah melihat dengan kepalaku sendiri prilaku mereka dibelakang.

"Jelasin kalau lo punya hubungan sama sahabat gue sendiri?" teriakku kesal dengan menahan amarah yang siap meledak.

Kedatangan sang sahabat yang dengan santai duduk di sofa berhadapan dengannya itu berhasil membuatku mendelik. Kenapa aku harus mengenal kedua manusia ini yang tidak memiliki urat malu? batinku bertanya dengan miris.

Apalagi mendengar fakta mengejutkan yang lainnya.

"Dia pacaran sama lo karena dia cinta gue. Dia mau deket sama gue dengan lo menjadi pelantaraan kami." Perkataan itu sukses membuaku tidak merasakan udara beberapa saat.

Dia, sahabat sedari kecilku sendiri yang mengatakan fakta mengejutkan. Tanpa rasa malu dan seakan melupakan keberadaanku saat ini mereka dengan leluasa bermesraan di depan mataku sendiri.

Entah sejak kapan mantan kekasihku itu duduk di sampingnya. Aku tanpa kata lagi memilih pergi. Berita yang aku yakini itu tidak membutuhkan penjelasan lainnya yang bisa saja akan semakin menyakiti hati ini. Begitupun tidak peduli akan berapa lama hubungan kedua orang yang dulu dikenal dekat itu bermain api dibelakangku.

Seandainya aku tidak ada niatan untuk mengunjungi apartemen dia, apa mungkin fakta menyakitkan ini akan terungkap? Disaat aku sedih setelah kematian sang ibu dan ayahku yang mengacuhkan, aku berniat melupakan karena masih ada seseorang yang bisa membuatku lupa akan masalah ini. Tetapi fakta lebih menyakitkan memang.

Aku masih tidak percaya, kekasihku berselingkuh dengan sahabat sedari kecil. Namun yang membuatku shock dan muak adalah alasan yang mungkin lebih tepatnya fakta.

Bahwa hubungan yang sudah terjalin selama tiga tahun ini karena, kekasihku ini menyukai sang sahabat. Lucunya, dia beralasan agar bisa lebih dekat dengan sahabatku dan menjalin hubungan denganku. Rasanya aku ingin tertawa mendengar lelucon ini.

Bahkan, tidak ada air mata yang keluar saking kecewanya. Padahal aku menaruh banyak harapan padanya. Aku yang ditinggal pergi oleh sang ibu, ayahku yang acuh setelah kematian sang ibu. Namun fakta ini ... sampai aku tidak bisa berkata-kata lagi.

Kakiku melangkah diri ke tempat terakhir almarhum sang ibu, hanya bisa menatap nisan tanpa kata. Seakan suaraku hilang terlelan bumi, diam seribu kata. Belum genap satu hari ditinggalkan aku merasa tidak memiliki keluarga satupun. Sosok ayah pun ikut hilang.

Entah berapa lama aku berdiam di sini, langit sore berganti menjadi langit hitam pekat tanpa adanya yang menemani, bulan maupun bintang.

Kembali aku menjalankan motor, kendaraan satu-satunya. Tidak tahu berapa lama aku mengelilingi kota ini, tapi rasa lelah tidak datang. Diri ini bingung akan pulang kemana. Seakan tidak memiliki rumah dan harapan hidup.

Melihat jalanan kota yang sepi, dan melihat tempat duduk di sisi jalan. Aku memilih untuk rehat di sana. Menduduki kursi besi panjang dengan helaan napas berat.

Dikala aku kalut dengan keadaan yang tidak memiliki harapan, Tuhan begitu cepat mempertemukan malaikat tanpa sayap.

Ketika hampir saja kedua mata akan menutup, mendengar seseorang yang bersuara aku membuka mata dan mengalihkan atensi kepada sosok yang berjalan melewatinya begitu saja.

Sosok gadis itu bergumam tapi aku dengan baik bisa mencerna perkataan yang menusuk hati tetapi berhasil membangkitkan kobaran api untuk diriku sendiri.

"Apaan putus asa? Kalau mati juga gak bakal tenang. Mending juga idup lakuin hal berguna bekal nanti."

Dan kalimat itu menjadi penyemangat juga motto dirinya. Ia akan bangkit dan menunjukkan pada mantan kekasih juga sahabatnya bahwa dia tidak apa-apa. Lagipula, aku juga teringat akan sang ibu yang selalu menasehatinya untuk berbuat baik dan berjalan di jalan yang benar-di jalan Allah.

Sempat kulirik jam yang melingkar di tangan untuk melihat waktu yang hampir tengah malam ini tapi ada saja manusia yang berjalan santai apalagi dia seorang gadis.

Namun, aku tidak begitu memusingkan, aku tersenyum mengingat gadis yang berhasil membuatnya penasaran akan sosok itu.

"Siapapun kamu, aku berharap kita bisa berjumpa untuk mengucapkan terima kasih," ujarku dengan senyumanan lebar dan mencoba merekam mimik wajah yang terlihat menggerutu itu sekilas.

Lama tersenyum sosok itu hilang dan jalan malam semakin sepi. Aku memutuskan untuk segera pulang agar bisa beristirahat. Meninggalkan taman kota setelah menatap tempat sosok gadis yang melewati sisi jalan raya.

"Setelah hari yang melelahkan, aku akan memperbaiki hari esok." Kalimat penyemangat itu aku terapkan dalam hati.

Journey Love Jay Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang