Vril
Lo dimana?
Ke rumahlah!Mendapatkan pesan begitu aku segera menaiki motor menuju kediaman dia tanpa membalasnya. Rasanya rindu tidak bertemu,
Kedatanganku di sambut dengan dia yang sedang mengendong anak kecil yang kuperkirakan 3 tahun, aku berceletuk. "Udah cocok kita jadi suami istri." Dia terlihat salah tingkah dan aku tersenyum tipis.
Aku mengambil alih si kecil dan bertanya anak siapa, "Ponakan gue, lucukan kayak gue?" Mendengar perkataan percaya dirinya aku menggeleng pelan.
“Ouh nya? Lo habis dari mana, kok lama?”
“D-dari rumah lah, dari mana lagi emang?”
Aku menjawab gugup, entah kenapa tidak berkata jujur jika aku pergi ke Yogyakarta. Memang aku hanya izin ke sekolah bahkan sampai Putri bertanya kepadaku lewat pesan. Yang isinya kuingat jelas jika dia mempertanyakan keberadaanku tapi gengsi bertanya langsung saat tidak ada aku. Aku tersenyum mengingat Putri beritahuku, beberapa foto yang Putri ambil diam-diam dia yang terlihat bosan dan seakan tidak ada semangat hidup.
Aku jadi percaya jika dia mulai ada rasa kepadaku tapi aku tidak mau mengungkit soal itu, lagian dekat dengan dia untuk saat ini sudah cukup.
“L-lo, boong ya?” seruan dia menyadarkan aku dari pikiranku sendiri. “Dari mana hayo? Ouh jangan-jangan habis ngapel ya?” tanya dia beruntun yang kudengar dari nadanya terdengar jeoles.
“Gèlo, maneh ninggalkeun awewe anu di taksir ameh ka die?” pekik dia “maneh jahat pisan jadi lalaki teh.” aku bengong tidak mengerti. “Denge keun urang ngomong teu?” tanya Avril saat Jay 'tak merespon ucapannya.
“H-hah?” ucapku bingung sembari menggaruk lehernya yang tidak gatal sama sekali.
“Lo ngerti gak gue tadi bilang apa?”
“Enggak."
“Udah lah, lupain!” ujarku mengakhiri pembahasan yang gak penting itu. Aku langsung saja nyelonong masuk ke dalam rumah dan mendudukan dirinya di sofa seperti tuan rumah. Dia pun ikut duduk dengan ponakan yang masih digendongnya.
“Lo mau panggil pake teriak kek, ngangguin dia kek. Tuh anak gak bakal ngerespon karena dia lebih mentingin tuh Handphone. Gak peduli kalau ada yang gangguin dirinya. Karena fokus tuh bocah ke Handphone.” Dia menjawab. “Lo mening ajak dia ngobrol kek atau kasih Handphone lo buat tuh bocah nonton video. Gue mau lanjutin baca, lo kan sahabat gue yang paling baek, guanteng, pinter pokoknya the best deh,” pujinya, agar aku patuh.
“Kan gue suruh lo ke sini biar lo main sama tuh bocah, sekalian ajak maen anak lo si Alexa kesian gak ada temennya!”
“Lo udah kasih dia makankan?”
“Udah, kemarin."
“Kemarin? Sekarang jam berapa AVRILLY CANDICE ASTER?”
Aku mengajak ponakan dia untuk bermain dan memberi makan kucing yang namanya Alexa. Ponakan itu dengan anteng menatap kucing makan.
“Nama kamu siapa? Nama kakak Jay,”
“Adala Beatlice." Merasa aneh dengan namanya aku berucap kembali, “Bilang R!”
“El.” Spontan aku tertawa karena ternyata bocah yang ada di hadapan dirinya itu cadel gak bisa mengucapkan huruf R. Dirinya jadi mengingat kepada gadis yang disukainya.
Siapa lagi jika bukan Avril Candice Aster? Gadis yang berhasil merebut dan membuat hatinya kembali terbuka. Padahal dirinya sudah menutup hati lantaran tidak lama putus dengan sang kekasih tetapi Avril dengan segala tingkah yang berbeda gadis lain membuatnya tidak mau ada yang mendekatinya.
Aku berbicang dengan ponakan dia, aku dengan jahil meledek dia yang sedang bergoyang aku masih ting-ting. Sugguh mirip dia.
“Yaudah, kakak minta maaf.”
“Teu dihampura,” balas Adala yang engan menatapku.
"Tidak dimaafkan, Indonesianya." Adala memberitahukan apa yang tadi di katakan.
"Emang tadi kamu pake bahasa apa?" Jay bertanya dengan polosnya.
"Bahasa Sunda," Aku mengangguk-anggukan paham. Ia kembali membujuk agar tidak marah lagi.
“Maafin ya, Adara kan anak pintar, manis, baik.
“Itu aja?” dan di angguki si kecil. “Tapi sebelum kakak donwload aplikasinya, menurut Adara. Kakak cocok gak sama Avril?”
“Ouh iya, menurut kamu gimana?” aku masih menunggu wajabannya. Katakanlah aku sedang meminta restu si kecil nanti untuk urusan restu orang tua dia akan menyusul.
Aku yang mendengar senang. Yes. Ada yang dukung, ucapku di dalam hati. Lalu memberikan Handphonenya yang menampilkan layar aplikasi game Doctor Kids.
Setelah memberikan Handphone dan bertanya yang di jawab anggukan. Aku berjalan mendekati dia yang sedang tiduran di sofa dengan tangan yang menggulir membaca aplikasi baca online, sudah menjadi kebiasaanya. Aku tidak heran lagi.
Tinggal beberapa langkah lagi sampai di tempat dia tapi tiba-tiba teriak dengan keras yang membuat aku mempercepat langkah lebarnya. Panik.
Setelah sampai, langsung bertanya seraya duduk di lantai mensejajarkan dia yang masih terbaring di sofa. “Kenapa?” dia terlihat bingung mendengar pertanyaanku “Lo kenapa teriak?” aku mengulang memperjelas pertanyaan.
“Ouh, itu. Gue cuma baper aja sama Rama, dia bilang gini,” balas Avril dengan menjeda kalimatnya. “Gue gak suka orang lain madang lo, dengan tatapan menjijikkan.”
Kata dia dengan menirukan setiap perkataan dan gerakan yang disebutkan tadi lakukan ke gadis yang aku tidak tahu siapa. Dia pura-pura melepaskan jaket yang dia kenakan dan mengikat di pinggangku, padahal itu gerakan angin karena dia 'tak memakai jaket apapun.
“Gue kan meleleh,” serunya heboh.
“Gue pernahkan lakuin itu? Kok lo gak teriak-teriak, mana udah dua kali deh kayanya," kataku dengan polos. Saat mengerti maksud dari yang dia beri contoh.
“Cie salting,” godaku saat 'tak sengaja melihat kedua pipi yang sedikit chubby itu merah merona. Wajah dia memang putih dan mulus sehingga merah sedikit akan terlihat sangat jelas.
“Ouh ya? kenapa Adara panggil lo pake sebutan Zia?” Aku mengalihkan topik karena tahu Avril malu dengan topik tadi. Secepat itu aku berubah melihat dia enggan membahasnya. Bukan apa-apa dia terlihat malu sekali jadi aku abaikan asal aku sendiri tahu bagaimana perasaan dia.
“Darakan ponakan gue, jadi panggilan ya Bibi.” Tidak paham akan hubungan Bibi dengan Zia aku menatapnya bingung. “Zia tuh kalau di Italia artinya bibi, karena gue gak mau kelihatan tua jadi gue suruh aja bocah itu panggil Zia," jelas Avril.
“Kak, Zia.” Panggil bocah kecil itu menghampiri kami. “Ieu, kumaha cara maenkeun nana?”
“Ini tuh gini mainnya.” Beritahuku saat Adara memberikan Handphone kepada dia tapi aku rebut, sempat kulihat dia mendelik tapi kuabaikan.
Tidak peduli dia kesal denganku, aku mengendong Adara dengan sebelah tangan sambil berkata. “Udah mirip Sugar Daddy belum?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey Love Jay
Short StoryPOV 1 dari Cool vs Cold Apa salah diusia remaja ini membutuhkan kasih sayang dari orang tua? Setelah kepergian sang ibu tercinta aku kembali kehilangan sosok pria nan kukagumi. Seakan kehadiranku tidak ada, dalam satu hari aku mendapatkan hari terbu...