mau lamar

5 1 0
                                    

Seperti biasa kami tidak akan melewatkan jam istirahat, semuanya sudah pada berkumpul di kantin dengan berbagai makanan di atas meja hadapan mereka.

Tiba-tiba dia bertanya, "Jay," panggilnya. "BahYen!" ulang dia tepat di telinga kiriku yang dapat dia jangkau.

"Apasi?" jawabku tanpa mengalihkan pandangan di layar yang dimiringkan sedang bermain game.

"Dengerin gue dulu!" katanya tidak mau diabaikan.

"Hm," balasku setelah mematikan game dan menghadap dia yang sedang cemberut dengan mempautkan bibirnya.

"Bokap lo kerja dimana?" Aku yang ditanya begitu diam, terheran dan tidak mau membahas masalah itu.

"Bokap lo kerja dimana?" Dia kekeh menanyakan beliau, padahal masih ada rasa kecewa saat belajar bersama beliau datang dan temannya mengetahui beliau begitu dingin kepada aku.

"Buat apa lo tanya itu?" jawabku dingin.

"Jangan marah dulu lah!" bujuk Avril ketika tahu aku mulai kesal dengan pertanyaannya.

"Buat apa?" Terlihat dia begitu sulit menjawab, aku memicingkan mata tidak suka.

"G-gue cuma mau tahu aja emang gak boleh? Lo aja tahu keluarga gue, masa gue mau tahu bokap lo kerja di mana, udah di marahin."

Aku terdiam mendengarnya, masih curiga apa yang mau dilakukan oleh dia.

"Dia kerja di perusahaannyalah " sahutku agak sewot.

"Gue juga tahu kalau itu. Maksudnya tuh nama kantornya atau nama bokap lo siapa?"

"Kepo kaya Dora."

"Bodo amat." Dia terlihat lebih kesal dari aku, lalu membuang muka tidak mau menatap.

"Haha, Wijaya. Nama sama kantornya itu Wijaya."

Dia tidak menjawab masih diam terlihat marah, aku melihat dia makan tidak bener karena kebanyakan memainkan Handphone sedangkan jam istirahat akan selesai dan mereka akan melanjutkan satu pelajaran ujian lagi.

Aku yang sudah selesai makan, mengambil sendok di tangan dia dan menyendokan nasi goreng ke sendok, lalu mengarahkan sendok itu ke bibir yang sedari tadi komat-kamit membaca yang kupikir seperti biasa membaca novel online.

"Kalau makan tuh gak usah sambil main Handphone!" Aku memperingatkan dia, agar tidak kebiasaan dan mengulang lagi. Dengan santai menyuapi tidak memperdulikan teman-teman dan siswa-siswi lainnya melihat mereka.

..
Belum juga aku bertanya atau memberi sapaan ke sebrang sana yang mengganggu acara tidurnya. Orang itu langsung berucap dengan nada kebingungan dan seperti ketakutan.

Hallo, Jay. Lo di mana? Boleh minta tolong gak?

Rumah. Apa?

Kan tadi gue lagi cari angin, terus gue gak sengaja liat Cafe kue karena gue lagi pengen yaudah langsung masuk pas udah habis beberapa piring kue dan yang bikin sialnya gue gak bawa duit. Mau ke rumah dulu mereka gak izinin. Bantu gue Jay! Masa gue harus di sini terus. Mana di sini ada om-om lagi yang pas gue masuk udah liatin gue dengan tatapan ngeri.

Aku mendengar dengan fokus begitu cerita di sebrang sana dan langsung berkata akan segera meluncur mendengar perkataan terakhir. Seakan rasa kantuk tidak ada, kedua bola mata melotot sempurna.

Oke, gue otw.

Cepet Jay, g-u-e takut. Jay-jay dia sampe—rin g-gue.

Tapi saat mendengarkan Avril bercerita dia ada di caffe yang deket rumahku dan bilang ada om-om yang terus memperhatikannya, aku langsung berdiri.

Berjalan ke luar menuju tempat yang dia katakan dengan tergesa-gesa. Setelah hampir dekat, aku menambahkan kecepatan jalannya. Saat sudah membuka pintu dengan tiba-tiba semua lampu mati. Tidak memedulikan masalah ini karena pikirannya Avril, Avril.

Berjalan menggunakan senter Handphone untuk mencari dia di mana. Saat berjalan, melihat satu ruangan yang terlihat menyala dan suara gaduh tanpa berpikir lagi segera melangkahkan kaki ke sana apalagi mendengar suara familiar 'jangan mendekat,' dua kata itu mengacu aku segera sampai di sana.

Cepat-cepat ke ruangan itu kemudian langsung saja mendorong pintu itu dengan kencang, saat pintu terbuka. Aku terkejut akan ucapan dia dan sahabat baru yang beberapa bulan ini sudah menemani harinya.

"HAPPY BIRTHDAY!"

Rasa panik yang datang beberapa detik lalu hilang dengan bergantian rasa senang. Tidak percaya di tahun ini akan merayakan ulang tahun apalagi orang baru, mereka, sahabat baruku.

Dia memberitahukan agar sahabatnya ikut membalas perbuatanku. Dia menyimpan kue di meja dan mencolek crim kue untuk di coret ke mukaku.

Kami saling mencoret sampai wajah mereka hampir tertutup crim kue. Saat kami asyik bergurau. Tiba-tiba suara seseorang menghentikan kami semua. Orang itu masih diam di pintu dan kami hanya memperhatikan seorang paruh baya, aku terkejut akan kedatangan beliau yang sangat tidak terduga akan kedatangannya.

Beberapa menit hening, tidak ada suara. Sampai beliau itu berjalan menghampiri kami ah tidak, lebih tepatnya aku, tidak peduli dengan keadaan aku yang penuh crim di wajah maupun bajunya. Beliau langsung menubrukkan tubuh.

Sepertinya tidak ada niatan untuk melepaskan pelukan yang sudah lama tidak dirasakan, sudah lama tidak di peluk lagi. Pelukan yang dirindukan dan selalu sama seperti waktu kecil, masih nyaman, hangat. Aku masih merasakan itu.

"Iya Jay maafin. Jay juga seneng akhirnya Papah mau ke sini untuk menyelesaikan masalah itu dan masih ingat hari Jay. Ouh ya? Papah tahu dari mana kita rayain di sini?" Wijaya hanya menganggukkan kepalanya.

"Avril." Setelah ucapan itu tidak ada suara lagi. Aku masih memeluk beliau karena rasa rindu itu belum pergi. Beberapa menit berlalu, Teman-temannya seakan paham dan  tidak ada yang mau mengganggu moment ini karena tahu aku butuh waktu untuk melepas rindu.

Dia mencegah aku yang akan meniup lilin di kue yang baru itu. "Etts, wish dulu," Menurut sebelum meniup lilin mendekatkan wajahnya tepat di telinga dia. "Jangan tinggalin gue dan gue akan selalu di samping lo!" ujarku lalu segera meniup lilin dengan melambaikan tanganya agar padam. Tidak memedulikan dia yang terdiam karena perkataanku.

Setelah tiup lilin, aku membagikan kue kemudian kamu berbincang duduk santai-santai.

"Lo tahu dari mana gue ulang tahun?" pertanyaan itu lolos dari mulut sang tuan acara.

"Gak sengaja liat Intagram lo," jawab dia malas, dia tidak mau membahas itu jadi aku tidak memperpanjang.

"Lo kemarin sama siapa?" Dia yang ditanya begitu heran. "Kemarin?" beonya tidak mengerti.

Aku menganggukkan kepalanya. "Lo naik motor sama cowok," Memperjelas maksudnya.

"Yang mana? Perasaan gue kemarin gak kemana-mana apalagi sama cowok."

Aku mendengus. "Pas sore, lo naik motor gede buanget. Sama cowok yang pake Hoodie biru, lo pake baju blazer coklat. Kalian keliatan bahagia. Lo jadian sama tuh cowok? Siapa namanya? Beraninya nikung gue. Padahal gantengan gue sama dia juga." Aku menjelaskan ciri-cirinya. "kitinyi gik miu picirin," lanjutku dengan perkataan yang dimenye-menyekan. Kesal tentu saja.

"Lo cemburu, lagi?" bukannya menjawab dia malah memberi pertanyaan dengan menahan tawa. "Dia tuh adik gue," jelas dia menahan tawa melihat ekspresiku yang cemberut.

"Ayo ke rumah lo buat lamar lo! Mumpung Papah ada,"

"Buju gile, Om anak om mau lamar anak orang inih."

Journey Love Jay Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang