dia hoki juga

6 3 0
                                    

Aku menatap dia dengan pandangan melamun sampai tidak sadar dia berlari ke arahku yang saking senangnya, memeluk erat secara sepihak. Bahkan ledekan teman-teman menyadarkan aku dari lamunan.

Aku spontan menatap satu per satu para kaum hawa yang meledek dia, mendengarnya aku marah akan cibiran itu. Tidak sengaja netralku dan si ketua bertumburukan. Dia mentapku tajam tapi terlihat jelas kalau si ketua kecewa. Persis yang aku alamin saat dia peluk si ketua di taman minggu lalu.

Lalu, dia pun melepaskan pelukan sepihak itu karena aku ragu akan membalasnya yang nanti dia bisa saja meledekku balik karena mencuri kesempatan. Padahalkan ya, ini kesempatan emas. Kapan lagi dia akan memelukku? Tapi ya sudahlah, bukan takdir hari ini kami saling berpelukan.

Dia terlihat gugup karena kepergok memelukku di tempat umum, "Emm, i-itu refleks. Gak sengaja," sahut dia memberitahukan teman lainnya yang penasaran akan dia yang memelukku senang. Terlihat dia juga salah tingkah dengan mengusap lehernya kaku.

"Kamu kenapa peluk-pelukan Avril?" tanya pak Gunawan dingin. Suaranya membuatku terdiam, takut di salahkan tapi kalau dia yang disalahkan sendiri kasihan. Aku berpikir harus membela bagaimana nantinya.

Dia menyahut membuatku menatap interaksi dia dan pak guru yang bersembrangan tapi saling menjawab dengan nada naik satu oktaf agar terdengar.

"Sudah bisa?" Tidak lagi membahas masalah pelukan tetapi nada ketus itu masih ada mempertanyakan apa yang seharusnya dia pelajari tadi. Aku melihat pak guru itu menatap aku tidak suka akan kejadian barusan. Aku tidak merespon karena beliau tidak menunjukkan terang-terangan. Jadi aku memilih dibiarkan saja.

"Udah Pak," jawab dia mantap. Aku senang dia bisa menjawab dan percaya diri.

"Yaudah sini praktekkan!" suruhnya dengan tatapan tajam yang masih terlihat. Jelas aku mengetahuinya sebab aku lelaki yang bisa membedakan dengan logika. Ya, kalau kupikir beliau bisa aja ada rasa dengan dia. Aku jadi waspada. Takut akan hal itu bisa terjadi dan bisa saja ada hal nekat yang beliau bisa lakukan pada dia.

Aku kembali memfokuskan diri menatap dia langsung berjalan maju mendekati ring yang dekat Pak Gunawan, di sebrang untuk menunjukan bahwa dia sudah bisa melakukan shooting.

Setelah dia membuat posisi yang nyaman, sesuai arahan ku tadi. Dia mendorong bola basket itu ke atas agar bisa mencapai ring yang ada di depannya.

Dung

Lalu, bola itu masuk, dia langsung menghadap ke arah Pak Gunawan dengan senyum yang sangat manis karena berhasil memasukkan shooting. Aku tidak bisa berkata-kata melihat senyuman itu. Bahkan yang lainnya tidak beda jauh terkejut akan senyuman pertama dia yang diumbar.

Bisik-bisik yang mengatakan Avril manis dan cantik membuatku terbakar cemburu. Rasa itu kembali hadir.

"Tuh Pak saya udah bisa!" kata dia dengan nada bangga. Raut wajahnya kembali datar setelah melihat tatapan dari teman adam. Bahkan kaum hawa terdiam begitu pun sahabatnya sendiri.

"Yaudah kamu belajar lagi sama Jay, biar kamu gak cuma tahu cara memasukan bola saja ke ring," sewotnya. Terlihat beliau sangat kesal.

"Saya sih yes." Tanpa di duga, dia merespon santai yang membuatku hampir terjatuh, tercengang. Dramatis memang tapi kenyataanya ini sangat di luar nalar.

Jam pelajaran olahraga selesai, aku mengistirahatkan diri dengan meminum air dan menenangkan sebelum menganti baju.

Sebenernya aku bisa menganti baju di kelas tapi diurungkan karena di dalam kelas hanya ada kaum hawa, apalagi kaum hawa di dalam itu pada heboh.

Aku hanya malas saat nantinya akan membuka bajunya malah diteriaki. Sudah bisa diprediksi, bukan aku yang kepedean abis, tapi memang cewek kelas aku tuh lebih agresif. Kek ibaratnya gak punya malulah.

Sebelum aku masuk ke dalam toilet khusus kaumku aku mendengar perseturuan dari dalam toilet yang sedang membicarakan aku. Karena penasaran, tanpa pikir panjang berjalan ke arah suara itu dan melihat dia sedang berbicara dengan gadis aneh.

“Apa-apaan lo, sok deket sama Jay?” seru gadis aneh itu menantang dia. Aku berniat menghentikan tapi mendengar balasannya aku terpaku. Memilih untuk menonton ingin tahu apa reaksinya karena ini membahas dirinya sendiri.

“Kalau dia yang deketin gue gimana?”

"Gila, dia hoki juga. Mana jujur tapi emang gadis aneh itu bakal percaya?" aku bergumam dengan tatapan fokus pada mereka.

“Urusannya sama lo apa? Lo pikir gue gak berani sama lo? Gue diem gak bales omongan lo karena gue gak mau ribut tapi kalau lo ngelunjak dan mau ribut, ya ayo! Gue jabanin." tantang dia. Aku tersenyum mendengarnya.

Mungkinkah? Dia juga punya rasa yang sama sepertinya. Meski aku berusaha menjauh apalagi melupakan rasa ini tetap saja tidak bisa. Aku jadi semakin semangat untuk mendekatinya dan meraih cinta dia.

Aku terkejut akan aksi saling menjabak rambut satu sama lain, mereka saling menarik rambut tidak ada yang mau mengalah.

Tidak ada tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat aku menghela napas pelan kemudian berjalan masuk untuk memisahkan mereka yang tidak mau mengalah.

“Siapa yang menang?” tanya dengan suara rendah yang berhasil menghentikan mereka tanpa harus memisahkan dengan drama menarik mereka menjauh.

“Emm, Jay ini gak seperti yang kamu liat, dia duluan yang narik rambut aku jadi aku balas,” kata gadis aneh itu dengan suara gugup. Membalikkan fakta seakan aku tidak tahu. Aku tersenyum sinis mendengarnya.

“Siapa yang duluan?” tanyaku kembali dengan pandangan yang mengarah pada dia.

“Dia duluan. Gue mau ke kelas juga udah ganti baju malah di halanggin, emang gak jelas ni orang,” Dia menjawab dengan nada bersungut-sungut aku sedikit senang dia jujur dan suara terdengar manja di telingaku.

Uhhh, gemesnya batinku ingin bersuara.

Gadis aneh itu tidak terima masih saja mengelak. Aku bertanya kepada gadis aneh itu dengan suara dingin dan mengintimidasi. Ternyata dia keras kepala juga tidak mau mengakui kesalahannya.

"Jadi siapa yang bilang, jangan deket-deket sama Jay kalau masih deketin Jay lo akan mengalami akibatnya?" Aku mengulang perkataan gadis aneh itu yang mengancam dia.

“Em, iya aku yang duluan. Tapi aku punya alasan kenapa melakukan ini semua.” akhirnya gadis aneh itu berkata jujur. Setelah ku desak agar bisa mengakui kesalahannya. Mungkin takut akan aku yang terus mengintimidasi.

Journey Love Jay Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang