tersenyum karena dia

10 5 0
                                    

Seperti yang sudah disepakati, menuju tujuan, dia ikut denganku menggunakan kuda besi, tidak lama perjalanan dia memulai perbincangan menayakan akan membeli hewan apa. Tetapi aku tidak menjawab dan fokus berkendara.

Membonceng dia, ada rasa tersendiri. Dia yang kukagumi dan kini berubah menjadi crushku. Jelas aku berdebar bisa berdekatan dengan dia. Tapi aku tidak bisa mengekspresikan rasa senang makannya aku diam saja dan selalu calem agar tidak membuatnya ilfil.

Ucapan terima kasih, tertelan dan hanya niat saja. Aku sendiri bingung ingin berkata jujur bagaimana. Dia juga tidak akan tahu ini jadi kubiarkan berlalu saja dan memulai kedekatan dari awal.

Ouh ya, sejak dia menyuruhku tetap satu meja aku sudah tidak canggung lagi hanya saja memang tidak bisa berinteraksi lebih. Dia juga mulai menunjukan rasa santai akan kehadiranku yang sering bertemu. Seakan permasalah yang mengatakan dia tidak suka satu bangku denganku itu tidak ada.

Tidak terasa kami telah sampai di tujuan, aku mengajaknya masuk untuk mencari hewan. Namun, aku tidak sadar dia melamun atau apa karena dia berseru memanggil menyuruh menunggu. Yaudahlah, aku berjalan pelan melihat dia memang masih berdiri di tempat parkir.

Tidak membutuhkan waktu lama, kami menemukan hewan kelinci bertubuh gemuk dan berwarna putih yang akan menjadi bahan praktek. Sebenarnya ini keterlaluan, namun apa boleh buat. Bu guru memberi arahan untuk memiliki hewan untuk praktek dan harus berbeda dengan yang lain.

Saatnya membayar, kami berjalan ke arah kasir tetapi tidak kusangka dia ribet dan kekanak-kanakan. Kami di sana berdebat siapa yang akan membayarnya. Entah apa dipikiran kami sampai kami ditegur oleh penjaga kasir dan mengatakan untuk pembayaran di bagi dua saja.

Kami setuju, lalu mulai melakukan transaksi tersebut. Kenapa pula dari salah satu kami tidak ada yang berpikir sama dengan penjaga kasir? Aku terkekeh heran. Aku sendiri tidak menampik kalau kami bisa berdebat juga hanya karena hal kecil.

Keluar dari toko menuju parkiran motor dengan aku yang membawa box kurung kelinci. Seketika aku menghentikan langkah saat merasa ada yang kurang, padahal beberapa menit lalu masih mendengar suara gadis yang mengoceh namun sekarang tidak ada. Netralku menatap sekeliling untuk mengetahui di mana keberadaan dia.

"Mana lagi tuh anak?"

Mataku berhenti bergerak, menatap fokus pada gadis yang sedang berdiri di luar toko kucing, kelihatan dari matanya yang sedang berbinar. Setelah diliat dengan teliti ternyata orang yang sedang dia cari. Aku berjalan menghampiri gadis itu dengan rasa lega dan helaan berat.

"Padahal dia udah besar tapi kenapa gak ngomong malah pergi gitu aja? Kalau aku tinggal nanti ilang lagi. Untung sadar lebih dulu," gerutuku yang hanya bisa ku dengar. Tidak berani juga berkata secara langsung kepada.

"Beli sana!" suruhku karena dia seperti ingin membeli tapi entah kenapa malah diam saja hanya melihat.

"Eh Mamah eh Mamah."

Mendengar dia berkata begitu aku tidak bisa menahan senyumku lagi, ada-ada saja kelakuan anehnya. Namun dia tidak merespons dan kembali asyik menatap ke arah kucing dengan perasaan senang.

Beberapa menit kemudian dia menatap kucing dia baru membalas perkataanku tanpa menatapku. "Gak bawa uang lagi."

"Gue beliin." Aku membalas cepat.

"Eh jangan. Gue gak mau ya, punya hutang sama lo dan lagian gue takut sama kucing," Dia menolak tawaranku untuk membelikan kucing yang sedari tadi dia lihat.

"Bayarnya kalau udah punya uang juga gapapa," jawabku acuh. "Apa lo takut kucing? Lo sama kucing gede mana? Dan kenapa takut kucing tapi terus diliatin kucingnya?" Lanjutku dengan pertanyaan beruntun.

"Takut sama suka beda yah! Emang kalau kita takut gak boleh suka? gak kan?" ujar dia, membela dirinya karena perkataanku.

Aku baru tahu, ada orang seperti dia. Tapi kelakuannya yang begini dan terus terang tidak membuatku melunturkan rasa suka, anehnya.

Aku menghela napas lebih dulu, lalu bertanya memastikan. "So, mau gak?"

"Lo takut kenapa sih?" Heran, dia takut tapi tetep masih suka.

"Digigit," cicitnya pelan.

"Kita rawat bareng-bareng tapi kucingnya tinggal di rumah lo." putusku, karena aku tahu dia sangat menginginkan kucing itu.

Tanpa kata lagi, aku menarik tangan dia untuk masuk ke dalam dan berjaga lagi agar tidak menghilangkan. Protes yang akan dilontarkan ku abaikan dan tetap pada rencana awal.

..
"Makasih ya udah anterin gue sampe rumah dan makasih juga buat kucingnya."

"Cepet masuk! Gue mau pulang." Bukannya menjawab aku malah melontarkan perintah.

"Sama-sama kek, pokoknya sekali lagi makasih dan uangnya segera gue ganti." Dia berucap kembali tidak mendengarkan perintahku dengan bibir yang sedikit maju--cemberut karena aku tak sedikit pun merespon ucapannya.

Karena hari mulai semakin malam, aku tidak menjawab. Gengsi sih sebenernya dan memilih melajukan kuda besi meninggal kediaman dia tanpa kata. Hanya suara klakson kuberikan agar dia segera masuk ke rumah.

"Dadahhh, hati-hati di jalan."

Aku yang melajukan kendaraan dengan pelan dan masih berada tidak jauh di kediaman, bisa mendengar dia menyuruhku untuk berhati-hati.

Aku melirik ke arah kaca sepion motor yang belum jauh untuk melihat dia yang mengucapkan perpisahan dan masih setia menunggu pergi.

Lagi, senyuman tipis itu terbentuk di bibirku. Sekarang bukan senyuman tipis melainkan seyuman manis. Senyumku tidak luntur ketika mengingat wajah dia yang g cemberut karena aku 'tak merespon, sepanjang jalan terseyum meski terhalang helm sehingga tidak akan ada yang tahu aku saat ini sedang bahagia.

Aku menghentikan kuda besi dan melihat dari kejauhan bahwa dia sudah menutup gerbang rumah dan masuk ke dalam. Setelah memastikan dia aman sampai rumah, dengan hati senang aku kembali melajukan kuda besi sembari kecepatan cepat untuk mengungkapkan rasa senang.

Journey Love Jay Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang