Pemuda itu berjalan melewati bangunan yang hancur dengan perasaan aduk. Ia terus menapaki dan melewati bangunan hancur milik Louis Tomlinson ini dengan harap bertemu dengan pemiliknya masih hidup. Ia hampir saja terlihat putus asa setelah mencari hampir setengah jam lamanya sebelum tanpa sengaja, ia mendengar sebuah senjata di tarik sebelum di todongkan ke kepalanya.
Ia terdiam seketika, mengangkat kedua tangannya dengan tanda menyerah sebelum berbalik arah menghadap seorang penodong senjata. Senyum terukir di wajahnya begitu saja saat penglihatannya menangkap seorang pria yang tengah ia cari berada di hadapannya. Wajahnya tampak hancur setengah--mungkin akibat terhimpit bangunan atau terkena sesuatu saat ledakan itu terjadi.
"I'm glad you still here," Ucapnya main-main. "Wajahmu tetap tampan meski hanya separuh saja." Ia menambahkan dan itu berhasil membuat Louis semakin kembali menggertak dengan pistolnya.
"Maafkan aku, aku tidak akan mengungkitnya lagi!" Kata Reece tidak sepenuhnya serius. Ia menyatukan kedua tangannya sambil menatap lelaki itu dengan wajah memelas.
"Ewh, stop it!" Louis menurunkan senjata, menatap pemuda di hadapannya dengan jijik. Ia memijit pelipisnya sebentar, sembari memikirkan konsekuensi apa yang akan ia terima jika melepaskan pemuda itu setidaknya sebentar saja. "Apa yang kau lakukan disini? Menertawakan semua kelakuanmu kepada rumahku yang berharga?"
"Mencarimu, apalagi?" Pemuda itu mengangkat bahu tak acuh, menyembunyikan kedua tangannya ke dalam kantong celana miliknya. "Aku ingin mencacimu, kau tahu?"
Louis tampak marah dengan yang ia ucapkan. Kenapa pemuda ini selalu bermain-main? Pikirnya sembari menodongkan pistol itu kembali kepada sang pemuda di hadapannya. Hal itu berhasil membuat pemuda itu jatuh ke tanah. Dengan sigap, Louis mengunci pergerakan lawan dengan menginjak dada si pemuda pirang ini dengan cukup keras--cukup kuat untuk membuat pemuda ini mendesis kesakitan.
"C'mon! Kau tampak tak bisa bercanda, ya?" Ujarnya. Suaranya terdengar rendah sekarang dan ia dengan mudah menjatuhkan lawan dengan kemampuan seni bela dirinya. Keadaan berbalik. Kali ini ia yang berada di atasnya. Mengunci pergerakan Louis--menekan lututnya ke pada dada pria dewasa itu dengan salah satu kakinya menginjak telapak tangan Louis. Pistol di todongkan kepada Louis dengan gerakan lambat, namun tegas--tepat ke kening pria dewasa tersebut.
"Ini antara aku dan kau, sebuah tawaran kerja sama. Sounds good?" Pemuda itu menatap raut wajah pria di bawahnya, menikmati setiap detik ketakutan dan kesakitan yang di terima sang lawan. "Aku akan membantumu menghancurkan Nicky Byrne." Suaranya jelas terdengar di setiap kata. Bergema langsung hingga berputar ulang di otak Louis seketika.
"Reece Bibby, standing here, planning to trap me with his inspid." Dia tampak tak mempedulikan kesakitan yang ia rasakan saat ini. Memilih menatap dalam keheningan beberapa saat. "Where's Nicky and Calum, huh?"
Reece terkekeh pelan sebelum berdiri dan melepaskan Louis dari kukungan. Tak sia-sia ia pernah mengikuti pelatihan karate dulu--meski hanya beberapa kali sebelum benar-benar bolos untuk berkeliling menikmati pemandangan dan mempelajari setiap detailnya.
"You are quite observant, did you?" Reece memutar-mutar senjata kepunyaan Louis dengan jarinya. "I assure you, no more trap between you and I."
Tampak keheningan beberapa saat. Louis bangkit dari tanah, mendudukkan dirinya disana beberapa saat, sembari menatap pemuda itu nan berdiri di depannya. Ia menatap Reece dengan sangat teliti--mencari celah tentang kebohongannya. "Lalu, imbalan apa yang akan kau terima dengan membantuku?"
Louis paham sudah dengan kerja sama yang selalu di tawarkan. Tidak ada satupun kerja sama tanpa melibatkan keuntungan di kedua belah pihak. Mereka bilang, tak ada di dunia ini yang percuma. Bahkan kau harus membayarnya dengan nyawa sebagai taruhan.
"Kode file." Ujar Reece tegas.
Detik itu juga, Louis tertawa lepas setelah mendengar tuntutan sang pemuda di hadapannya. Tawanya semakin menggelegar setiap detiknya--ia menganggap perkataan Reece adalah konyol. Bahkan, pria itu memegang dadanya, sementara tangan yang lainnya menghapus air yang keluar di sela-sela matanya. Sebut saja ia gila, karena Louis memang demikian.
"You know what? You aren't the first who asked for it." Louis mulai tampak mengontrol diri. Ia menatap Reece dengan tatapan geli. Setumpuk pikiran mengacaukannya, namun ia berusaha mengontrolnya dengan baik. "Bryan McFadden." Ucapnya tiba-tiba.
"Pardon?" Reece menyerngit seketika kala mendengar nama orang mati di sebutkan.
"You hear me, Reece Bibby. Bryan McFadden tau sekali kodenya--" Louis tersenyum miring. "--sayang sekali ia mati, padahal tinggal selangkah lagi untuk mendapatkan file nya."
Dengan santai, ia berjalan mendahului Reece, membuat pemuda itu mau tak mau ikut demi sebuah rahasia yang ingin ia kumpulkan. Sebuah speaker kecil tergantung di balik bajunya, membuat seseorang dari seberang sana mendengar semuanya dan mulai menjalankan misi selanjutnya.
━━━🍂━━━
Ia mengerjapkan matanya berkali-kali, merasakan dingin ruangan di campur satu dengan dingin air es di kakinya. George menatap sekeliling, ingat betul tempat ini adalah kali terakhir sebelum dirinya di pukul. Ia menatap sekeliling, mengibaskan rambutnya yang jatuh ke wajah dan menghalangi penglihatannya dengan cara menggelengkan kepala dan menghembusnya hingga naik ke puncak kepala. Tangannya terikat rantai di kursi, begitupula pergelangan kakinya.
George menghadapinya dengan tampak daripada tiga tahun lalu. Begitu lama bersama Mark dan Liam, dia tahu bagaimana caranya menghadapi masalah tanpa harus pecicilan lagi.
"Mereka mengincar Mark dan menjadikan Liam sebagai umpan, sayangnya mereka menemukanku sebagai santapan." Pikirnya sembari menatap penjaga yang terus mengawasi setiap pergerakannya. "Seharusnya aku tidak mempercayai si Blake itu."
Ia menatap sekitar, memaku pada sebuah lambang segitiga bermata satu terpampang lebar di dinding sebelah kanannya. "The Eye of Providence." Ia berseru dalam hati.
"Illuminaty, eh?" Ia terus memeriksa keadaan sekitar. Mengumpulkan informasi yang menguatkan asumsinya, sekaligus mencari cara untuk keluar. Dan tanpa sepengetahuan kedua penjaga itu, ia menggerakkan kakinya di dalam air--berusaha lepas dari lantai yang mengikat, sekaligus menghangatkan diri dengan gerakan-gerakan kecil yang ia buat.
"Hey, guys!" Panggilnya. Berusaha dengan benar menarik perhatian kedua penjaga agar fokus pada matanya. Bibirnya membiru, hidung dan pipinya memerah. Ia seperti akan terkena demam tinggi jika terus merasakan air es ini. "Where's Blake? Or your boss, hm?" Dia bertanya dengan polosnya.
Tak ada reaksi dari keduanya, dan itu tak membuat George gentar sama sekali untuk bertanya lagi. "Hey, kau seperti orang Spanyol. Aku bisa berbahasa Spanyol, mau dengar?"
Ia memberi jeda sedikit pada kalimatnya. Meski tak ada reaksi yang di berikan, itu sudah cukup membuat pandangan kedua penjaga itu tidak pada kakinya yang kini lepas dari rantai yang mengikat kakinya. Tangannya melanjutkan mengambil jepitan rambut yang terselip di lengan bajunya yang selalu ia bawa kemana-mana. "Well, Misha, tak sia-sia aku membawa jepitanmu kemana-kemana!"
"Ustedes son como un perro que se muerde la cola, idiota!" Setelah mengucapkannya, segera ia menendang baskom es tersebut menghasilkan cipratan yang mengenai wajah kedua penjaga. Tanpa menunda banyak waktu, ia menjadikan rantai itu sebagai senjata begitu pula kursi sebagai tamengnya. Mereka bergulat sangat baik sebelum akhirnya George dengan mudahnya melumpuhkan kedua lawan ke tanah. Kakinya menginjak dada dari salah sati penjaga, mengambil pistol yang ia genggam dan memasukkan kesakunya.
"Benar-benar idiot." Bisiknya sebelum pergi keluar dengan santainya seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐒𝐔𝐏𝐄𝐑 𝐑𝐈𝐎𝐓 「CONTINUED」
Action✧Book 𝟐 of ❝𝐑𝐈𝐎𝐓 𝐒𝐄𝐑𝐈𝐄𝐒❞ 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐌𝐀𝐍𝐀 Calum masih belum memahami masa lalu yang bahkan sudah terungkap. Atau masalah ini hanya jalan buntu yang diperparah dengan dendam dan sakit hati. ©2023 || All Right Reserved