Akankah...(part 1)

446 45 22
                                    



Kinn melemparkan tubuhnya di sofa ruang tamu. Membiarkan kepalanya tergulai lemah di kepala sofa. Jemarinya menekan pangkal hidungnya,berharap rasa pening serta rasa lelah dikedua matanya berkurang. Disaat ia mengistirahatkan tubuhnya dari lelahnya bekerja seharian,ponsel yang berada dalam tas kerjanya bergetar hebat,menandakan ada sebuah panggilan masuk. Dengan gerakan lambat,Kinn bangkit dari posisi berbaringnya dan mulai merogoh tasnya untuk menemukan ponselnya.

ID : Headmaster

"Kepala sekolah?" gumamnya sebelum menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan tersebut.

Kinn mengucapkan salam sebagai bentuk hormat,dan yang terjadi selanjutnya adalah percakapan mengenai bahwa ia mulai minggu depan diminta untuk mengajar kelas dua belas. Dikarenakan guru yang mengampu mereka tengah cuti pasca melahirkan. Setelah mendapat persetujuan dari Kinn,panggilan itu terputus.

Setelah memastikan panggilan itu benar-benar telah mati,Kinn menghela nafas kasar. Sebenarnya ia ingin menolaknya,namun memikirkan nasib anak kelas dua belas yang kurang dari enam bulan lagi akan melaksanakan ujian akhir,ia merasa tidak tega. Lagipula kepala sekolah sudah mengatakan padanya bahwa ia selama tiga bulan ini cukup fokus saja pada materi kelas dua belas,sedangkan untuk separo dari kelas sepuluh yang tadinya ia bimbing akan dialihkan untuk guru yang lain.

"Haah sepertinya aku harus membeli suplemen tambahan" ucapnya sebelum jatuh dalam mimpi.

Pagi ini adalah hari pertama ia mengajar kelas dua belas. Ia mematut diri di cermin besar di kamarnya,memastikan bahwa tidak ada yang salah dengan penampilannya. Ia selalu melakukannya –memastikan ia 'sempurna' – sejak awal ia mulai mengajar. Ia menjadi seorang guru di sebuah sekolah menengah atas yang elit. Dimana biaya masuk kesana mampu untuk membeli sebuah sepeda motor bagus keluaran paling terbaru,dan biaya bulanan yang hampir mencapai harga motor bekas.

Dikelilingi oleh para kaum 'borjuis' membuatnya harus membuktikan bahwa ia memang pantas memberi pengajaran kepada anak-anak mereka,baik dari penampilan maupun kualitas. Meskipun mereka anak-anak dari kalangan atas,namun tidak seperti di kebanyakan drama maupun cerita novel,yang tingkah mereka begitu menjengkelkan,congkak dan semaunya sendiri. Hampir semua murid-muridnya bertingkah sopan selayaknya orang yang berpendidikan. Yahh meskipun ada satu atau dua yang berperilaku sebagai pemeran antagonis di drama,namun itu tidak pernah membuat Kinn kesulitan.

Hanya ada satu hal yang membuatnya selama menjadi pengajar disana merasa kesulitan.

"Mr.Kinn !" seru seseorang.

Inilah kesulitan yang sangat sulit ia atasi.

"Senang bisa kembali dibimbing oleh Mr.Kinn."

Seruan itu berasal dari seorang muridnya yang bernama Porsche Pachara Kittisawat. Pemuda kelewat ceria yang terkadang bertingkah sembrono. Mengapa Porsche membuatnya kesulitan? Apakah pemuda itu tipikal remaja berdarah panas yang sering membuat ulah dan menjadi langganan di ruang konseling? Atau pemuda urakan yang tak pernah memetingkan nilai dan berbuat semaunya?

Tidak,meski sering bertingkah sembrono tapi Porsche adalah pemuda yang tahu batasan,ia tidak pernah sekalipun masuk ke ruang konseling karena kenakalannya. Bahkan ia selalu menjadi juara tiga besar paralel disetiap angkatannya.

Lalu apa yang membuat Kinn kesulitan terhadapnya?

"Hmm,berapa jam pelajaran matematika dalam satu minggu dikelasku?" Iris Porsche menatap keatas berusaha mengingat serta menghitung. "Ah! Ada delapan jam mata pelajaran matematika dikelasku selama satu minggu,jadi aku akan puas melihat anda." Ujarnya dengan riang,namun keceriaan itu hanya sekejab,karena tak lama ekspresinya berubah sendu. "Tidak! Seharusnya aku melihat anda selama dua puluh empat jam selama satu minggu,baru itu memuaskan." Dan cengiran jahil miliknya menjadi akhir dari kalimat godaannya.

KinnPorscheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang