Ego 13. Budi

11 3 1
                                    

Alter ego ketiga belas yang ditemui di tubuh Kastaman bernama Budi, ia adalah seorang remaja berusia sembilan belas tahun

-ooo-

Banten, 31 Mei 1999
Kediaman rumah Pak Heru di Serang

Sejak pertama ayah menjadi tukang kebun di satu rumah orang kaya di Serang, ayah sudah dikontrak untuk waktu yang sangat lama. Majikan ayah yang bernama Pak Heru pun menyuruh ayah untuk ikut tinggal di rumahnya agar ayah tidak perlu mengontrak lagi. Ayah membawa Budi sang anak untuk ikut bersamanya. Sedangkan sang ibu sudah lama sekali meninggal.

Setelah lulus Sekolah Menengah Atas, harapan budi untuk melanjutkan sekolah jelas pupus. Ia tidak bisa melakukannya karena sang ayah tidak mampu lagi untuk membayar biaya pendidikan anaknya. Maka itu, Budi bersikeras untuk membantu ayahnya saja bekerja.

Budi tidak hanya tinggal diam di dalam rumah tanpa melakukan apa-apa. Ia diutus oleh Pak Heru untuk menjadi sopir pribadi dari anak-anaknya. Pak Heru memiliki tiga orang anak. Dua di antaranya sedang bersekolah menengah, dan satu lagi masih bayi diurus oleh baby sitter-nya.

Budi tidak merasa keberatan terkait hal itu sehingga dirinya melakukan pekerjaannya dengan nyaman. Lagi pula Pak Heru dan keluarganya tidak banyak menuntut. Bahkan Budi, ayah, serta pegawai rumah tangga lainnya dianggap sebagai bagian dari keluarga Pak Heru juga.

Titik favorite Budi di rumah tersebut adalah pohon besar yang terletak di kebun belakang. Pohon tersebut tak ayal menjadi tempat merenung Budi sebagai remaja yang masih mencari jati diri. Ketika dirinya tidak disibukkan dengan pekerjaan, Budi pasti akan berada di atas pohon tersebut untuk merenung.

Pagi itu jadwal Budi libur. Ia duduk melamun di atas pohon menghadap matahari terbit dari timur. Lelaki yang sedang bergulat dengan pikirannya itu tersadarkan setelah namanya dipanggil beberapa kali dari bawah sana.

Seorang gadis yang memanggil Budi dari bawah adalah anak dari Pak Heru. Ia bernama Laila, masih merupakan gadis Sekolah Menengah Atas yang sebenarnya Budi sudah sadari kalau ada yang beda dengan gadis itu. Budi hanya melemparkan senyuman pada Laila yang masih mendongak ke atas.

"Mas Bud, aku mau naik juga, boleh?" teriaknya.

"Jangan, Lai. Nanti kamu jatuh, batang pohon ini agak licin." Budi bersiap untuk turun karena melihat Laila membawa secarik kertas berwarna merah muda di tangannya.

"Ih, kenapa turun? Aku kan mau ikut naik. Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu, Mas." Laila terlihat cemberut saat mendapati Budi berhasil turun dan kini berdiri tepat di hadapannya.

"Ada apa? Kamu butuh sesuatu? Biar aku antar." Budi sebagai sopir pribadi Laila sudah menjadi risikonya untuk mengantarkan gadis tersebut ke mana pun.

"Eh, bukan ... sebenarnya—."

Tanpa diduga, Laila berjinjit dan mencium bibir Budi kemudian ia berlari masuk ke dalam rumah. Lelaki naif tersebut hanya melongo atas kejadian tersebut.

Malamnya, sebelum Budi tidur ia sempat mengecek ponselnya. Mendapati beberapa pesan dari Laila. Sesuai dugaan, sebenarnya Laila menaruh hati pada Budi. Ia ingin mengutarakan rasa sukanya pada lelaki anak tukang kebun tersebut lewat secarik kertas yang ia genggam tadi. Namun, tidak sempat ia berikan.

Budi membalasnya seperti biasa, ia tidak ingin menyakiti perasaan Laila. Karena mau bagaimana pun hubungan Budi dan Laila saat ini hanya sebatas majikan dan sopir saja. Budi tidak ingin pekerjaannya yang sudah ia tekuni lama ini menjadi hancur karena ia membalas cinta Laila. Budi memberikan pengertian pada Laila dan menyuruh gadis itu untuk fokus pada pendidikannya terlebih dahulu dibanding mengurusi masalah percintaan.

Setelah sekiranya Laila paham dengan situasi dan kondisi saat ini, Laila bilang pada Budi bahwa dirinya akan menunggu jawaban penerimaan dari Budi sampai waktu yang tidak ditentukan. Perkara cinta monyet seperti ini, sudah pernah Budi rasakan. Jadi ia tidak bisa benar-benar mengiyakan atau menolak Laila, ini hanya perasaan remaja yang penasaran.

Waku menunjukkan pukul sebelas malam, Budi berniat untuk tidur. Esok akan menjadi hari yang berat karena dirinya harus bisa menahan mukanya untuk tidak terlihat canggung di hadapan Laila. Namun, belum siap Budi menarik selimut, satu hembusan angin menerpa muka budi dengan sangat kencang. Bahkan rasanya seperti ditampar.

Budi mengedarkan pandangan untuk mencari sumber angin tersebut. Berjaga-jaga jika jendela kamarnya belum ditutup, tetapi setelah mengamati sekitar ternyata semuanya aman, jendela pun sudah ditutup. Merasa hanya halusinasi karena sudah teramat mengantuk, Budi pun tidak menghiraukannya.

Baru saja Budi memejamkan matanya, ia merasakan ada yang menggerayangi kakinya. Semacam sentuhan-sentuhan lembut tangan yang mulai naik hingga ke atas pahanya. Budi yang terkejut akan hal itu pun langsung menyingkapkan selimutnya. Ia mengira ada hewan apa yang sedang menjalar di kakinya.

Namun, sialnya ia tidak mendapatkan hewan apa pun di sana. Lagi-lagi Budi menganggap itu hanya halusinasinya saja. Ia kembali menarik selimutnya dan merubah posisi tidur menjadi menyamping.

Saat ia menoleh ke arah samping bantal, betapa terkejutnya ia melihat seorang gadis dengan muka hancur yang sudah berair tepat dihadapan dirinya. Mereka saling bertatap mata. Tubuh Budi seolah tidak bisa digerakkan, bahkan memejamkan mata saja ia tidak bisa. Budi membeku. Satu hal yang membuat Budi tersadar adalah aroma dari sosok tersebut sama persis dengan aroma lumut licin di pohon besar belakang rumah Pak Heru.

"Kau sudah menjadi milikku!"

[END] Kastaman: The Untold StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang