past in 1817

97 8 0
                                    

Suara tembakan dengan nyaringnya masih selalu terdengar selama Janu hidup, bahkan saat Janu baru di lahirkan. Ia tinggal di gubuk sederhana yang di buat dengan bambu seadanya. Gubuk itu seperti akan roboh, apalagi sekarang sedang ada angin kencang yang makin memperburuk suasana di sore hari ini.

Para Tentara Belanda lagi-lagi, akan merampas harta para pribumi yang sudah sekarat ini, bahkan untuk bernafas saja, rasanya mereka sudah tidak mampu. Karena terjerat oleh kejamnya pemerintahan kolonial Belanda.

Remaja berumur 17 tahun yang berada di dalam rumahnya itu meringkuk ketakutan. Setelah melakukan kerja paksa seharian di ladang, ia di suruh untuk segera pulang ke dalam gubuk sederhana ini oleh ayahnya.

Tubuh janu semakin bergetar hebat, kala mendengar teriakan ayahnya yang di tembak oleh Tentara Kolonial Belanda.

Janu tidak boleh selalu lemah seperti ini, begitu tekadnya, kala mendengar teriakan ayahnya yang menyuruh Janu untuk di dalam rumah. Janu berjalan menuju dekat pintu gubuk nya, dan mengintip keadaan di luar, ayahnya sudah meninggal dengan peluru yang melubangi dada sang Ayah

Janu ingin menangis. Apa yang sebenarnya di inginkan para petinggi Belanda ini dari rakyat miskin sepertinya?. Apa kurang cukup mereka sudah di siksa setiap hari untuk menanam rempah-rempah yang hasilnya selalu di berikan kepada Belanda, dan bahkan mereka tidak di berikan makan ataupun uang sepeserpun. Hingga para pekerja itu mati dengan sendirinya.

Janu menatap neneknya yang terbaring di atas jerami, menyaksikan detik detik kematian neneknya yang kian melemah. Janu muak dengan kehidupanya.

Mentalnya seperti di hancurkan setiap hari, dengan siksaan pemerintah Belanda. Menyuruhnya dengan paksa, bahkan tidak jarang Janu akan di siksa jika melakukan kesalahan.

Kegiatan mengintip di balik celah bambu gubuknya itu terhenti, kala ia melihat tentara belanda akan menghampiri gubuknya yang rapuh ini.

Tentara Belanda dengan tidak berkemanusian menendang pintu itu, yang langsung rapuh.

Janu muak menatap wajah para pendosa di negerinya.

"Kami tidak memiliki harta apapun" Ucapnya dengan nada yang mencekam.

Sangking muaknya dengan para pendosa ini, Janu mengangkat wajahnya tinggi-tinggi.

"Turunkan wajahmu itu" Seru salah satu tentara Belanda yang menodongkan pistolnya ke kepala Janu.

Janu berdecih.

"Kau tidak sopan ya?" Salah satu laki-laki berambut pirang itu menghampiri Janu dan memukulnya.

"Apakah ini nenekmu?" Tanyanya, saat melihat nenek Janu yang berada pada detik-detik kematianya.

"Tapi seperti nya dia sudah mati" Ucap Tentara itu. Lalu menembakan tembakanya ke arah Nenek Janu yang sudah lemah tidak berdaya.

Janu menatap tentara itu dengan tatapan yang sangat menguarkan kebencianya.

Janu menyerang tentara yang ada di hadapanya, ia menendang perut orang Belanda itu, dan mengambil pistolnya yang terjatuh seiring dengan para tentara Belanda yang mulai mengayunkan pistolnya.

Janu akan menarik pelatuknya.

"Jika kau melakukan ini, kau akan di penjara bodoh" Ucap salah satu tentara yang mulai akan mengepung Janu.

"Tidak, jika aku mampu bersembunyi" Jeno berucap sambil menyesuaikan bidikanya

Hingga—

"Dor"





"SATRIA!"

Janu mematung. Ia mendengar suara Abimanyu yang berteriak bagaikan bom yang meledak di kepalanya.

Para tentara gila itu mampu menghindar. Dan Janu menembak Satria, yang akan menghampiri Janu, Satria tergeletak dengan luka tembak di dadanya, darah mulai membanjiri tanah di depan rumah Janu.

Janu yang mulai tidak terkendali itu, malah menembaki tiga tentara yang mengepung dia.
Dalam sekejap, ketiga tentara itu langsung tumbang dengan darah yang membanjiri tanah di gubuk rumahnya.

Janu membanting tembakan itu, lalu berlari menghampiri Satria dan Abimanyu, Abimanyu menangis sambil memeluk tubuh satria.

Janu menutup mulutnya tidak percaya. Ia menyaksikan tubuh sahabatnya itu berdarah seperti itu karena ulahnya.

"Bim, aku tidak sengaja. Sungguh" Janu menjelaskan ke arah Abimanyu yang masih mengangis dengan tubuh Satria yang ada di dekapanya.

"Aku tau!, tapi kau terlalu gegabah. Kau bisa di siksa oleh pemerintah Belanda, Janu" Abimanyu menatap Janu yang terus mengeluarkan air mata.

Abimanyu mengisyaratkan Janu untuk segera pergi dari sana. Jika tidak, Janu bisa mati di tempat itu.

"Pergilah, dan bersembunyi"

"Tapi bagaimana dengan Satria!"

"Biar aku yang mengurusnya, bodoh! Dia sudah mati" Abimanyu berteriak di depan wajah Janu.

Wajahnya sudah merah padam. Dia menarik nafas dalam-dalam. "Pergilah" Perintahnya ke arah Janu untuk terakhir kali.

•••

"Apa? Satria terbunuh!?"

Raden yang sedang duduk di kursi halaman belakang keraton itu pun langsung bangun dari kursinya, hatinya seperti tersambar petir.

Yagala yang merupakan asisten kepercayaan Raden itupun membawakan kabar berita sore ini.

Raden merupakan anak dari keturunan Keraton. Hidupnya tentu lebih baik di bandingkan anak-anak yang lain

"Siapa yang membunuhnya?" Tanya Raden sudah dengan tangan yang terkepal. Bagaimana bisa, Satria sahabat terbaiknya terbunuh begitu saja.

Raden sedang memperjuangan kehidupan empat temanya yang lain, untuk menjadi lebih layak.

Tetapi kenapa Satria bisa terbunuh seperti itu!

"Menurut kesaksian warga pribumi, Satria di bunuh oleh Janu" Raden semakin di buat marah kala mendengar yang membunuh Satria adalah Janu—sahabatnya sendiri.

"Tapi tunggu Raden" Yagala mencekal tangan Raden yang akan memerintahkan para bawahan keraton untuk segera membawa Janu ke hadapanya.

"Janu membunuh Satria dengan tidak sengaja. Ia di siksa oleh tentara Belanda, lalu merampas  tembakan para kolonial, dan sayangnya tembakan itu tidak tepat sasaran, dan malah mengenai Satria yang saat itu akan menghampiri Janu" Jelas Yagala, tetapi tetap saja penjelasan dari Yagala, tidak di hiraukan oleh Raden.

Raden menganggap tindakan Janu itu sangat gegabah, selain membahayakan orang lain, itu juga akan membahayakan dirinya sendiri. Maka hal itu tidak bisa di maafkan oleh Raden, apapun alasanya.

[1]Diaries ; Jeno Lee (✔️) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang