0-4

180 10 0
                                    

Alhamdulillah, draft masih selamat. Tadi itu Wattpad ngambek. Tapi sekarang udah bisa kok, mungkin karena aku panik, jadinya loading lama.

Selamat membaca

.
.
.
.
.

Kinan masih duduk di ruang makan, padahal Gilang sudah pulang sejak sejam yang lalu. Biasanya setelah suaminya pulang, Kinan langsung masuk ke kamar. Sudah satu bulan terakhir Gilang sering pulang petang, bahkan kadang sampai malam. Kinan pernah sampai overthinking karena sampai tengah malam suaminya tak kunjung pulang atau memberi kabar dan berita tentang klitih sedang santer-santernya.

Kinan menunggu di teras dan menangis, hingga akhirnya Gilang pulang dan giliran laki-laki itu yang panik. "Aku tadi diajak ke tempat kemahnya anak-anak, tadi siang juga udah telepon kamu."

Usai kejadian itu, Gilang memutuskan untuk tinggal di kos atas usul Kinan. "Enggak apa-apa kalau nantinya pengeluaran kita jadi lebih besar, karena kamu harus bayar kos dan biaya sehari-hari kamu di sana. Itu justru pilihan terbaik bagiku, Mas. Daripada kamu bolak-balik setiap harinya, satu jam lebih, belum kalau macet, hujan atau ada perbaikan jalan. Kamu ngekos aja, enggak apa-apa aku di rumah sendirian. Kan tetangga kanan-kiri Budhe kamu semua."

Setelah mempertimbangkan beberapa waktu, Gilang menyetujuinya. Dengan catatan Kinan jika akan keluar rumah harus meminta izin padanya, kecuali saat darurat. Suami Kinan itu juga akan pulang setiap Sabtu siang dan berangkat Senin pagi.

"Mama mana, Kin?"

Kinan menyandarkan punggung di kursi dan kembali menekan perutnya. "Aku minta dia supaya langsung istirahat. Dua hari ini sibuk rewang di tempatnya Budhe Laras, hari ini baru pulang isya."

"Itu perutmu kenapa?" Gilang mendekat dan menarik kursi, dia duduki dan menghadap Kinan. "Sakit?"

"Iya. Perutku enggak tahu kenapa sejak sore tadi kram, rasanya kayak keras banget."

"Susah buang air besar?" Tangan Gilang terulur untuk masuk ke dalam baju Kinan dan menyentuh perutnya. "Kenapa enggak tanya Mama?"

"Kasihan Mama, capek banget. Setelah mandi langsung tidur."

"Kok bisa ya, Kin? Kita ke dokter, takutnya kenapa-kenapa. Selain sakit perut, ngerasain apalagi?"

"Mual, tapi kadang. Aku kira karena di tempat rewang banyak orang dan wanginya macam-macam. Tapi tadi sore makin mual, sekarang enggak."

Gilang mengangguk, dia mengambil kunci sepeda motor motor dan masuk kamar. Mengambilkan cardigan dan kerudung untuk Kinan. "Ayo, dokter yang di dekat pasar jam segini masih praktik. Kalaupun udah tutup, kita ke bidan yang ada di dekat rel kereta. Rumah sakit atau puskesmas kejauhan."

Selesai bersiap, segera Kinan mengikuti suaminya yang sudah keluar lebih dulu. Perempuan itu berharap, semoga dirinya baik-baik saja.

Semoga.

Sepulang dari tempat dokter, Kinan langsung masuk kamar. Masih memakai kerudung dan cardigan tadi, Kinan duduk di kasur. Memeluk kedua lututnya dengan pandangan kosong. Selama perjalanan pulang tadi dia juga hanya diam.

Gilang menyusul ke kamar setelah mengunci pintu dan memastikan semua pintu dan jendela terkunci, juga mematikan beberapa lampu. Laki-laki itu melangkah mendekati Kinan, duduk di hadapannya. "Kenapa?"

"Aku kaget," aku Kinan pelan.

"Sama, aku juga. Apa ... waktu di rumah Papa kita terlalu sering ya?" Gilang terkekeh saat menyadari ucapannya barusan.

Laki-laki itu kemudian menghela napas. "Sama, Kin, aku sebenarnya juga kaget. Banget malahan."

Kinan hanya diam, masih betah memeluk lututnya dan entah menatap apa. Gilang menarik perempuan itu dalam pelukan, mengusap-usap punggungnya. "Kin, kamu enggak sendirian di sini. Ada aku, ada Mama, ada Papa, ada kakak juga, yang temani kamu. Kita jalani ini bareng-bareng ya?"

Album FotoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang