0-5

180 7 2
                                    

Berjumpa kembali

.
.
.
.

Sekitar pukul sepuluh, Kinan baru bisa turun dari kasur. Saat ditinggal ke pasar tadi, kepala Kinan terasa berputar. Ditambah lagi dengan mual yang terus datang, padahal perutnya sudah kosong. Akhirnya perempuan itu memilih untuk bersembunyi di balik selimut. Dan ternyata ampuh untuk meredakan mual dan pening di kepala.

Lebih dulu perempuan itu membasuh wajahnya, sebelum menyusul ke ruang tengah. Sepertinya ada tamu, karena ada tiga suara berbeda yang dia dengar.

Ah, ternyata bukan tamu. Melainkan Papa mertuanya. Dan tiga orang itu sedang meributkan rumah.

"Nurut ya, sama Mama. Kalian tetap tinggal di sini."

"Aku enggak enak sama kakak, Ma. Rumah ini hak dia." Suara Gilang terdengar putus asa.

"Kalau begitu, berarti kamu dan Kinan tinggal di rumah yang dibeli pakai uang Ayah."

"Ma, aku enggak mau!"

Kinan menghentikan langkah saat mendengar suara suaminya semakin tinggi, keningnya berkerut. Bisa-bisanya laki-laki itu bicara keras dengan Mama.

"Cuma ada dua pilihan, Gilang. Kamu tetap tinggal di rumah ini atau beli rumah pakai uang Ayahmu?"

"Enggak bisa gitu ...."

"Kenapa enggak bisa? Rumah ini memang hak Kakak, tapi sampai sekarang masih milik Mama. Berarti kamu enggak perlu sungkan sama Kakak, karena Mama udah kasih izin. Bahkan Kakak enggak masalah kalau rumah ini ditempati. Lalu pilihan kedua, Ayah sudah menyiapkan masa depan kamu. Saudara kamu yang lain juga mendapat tabungan dengan jumlah yang sama. Tabungan Kakak sudah dipakai buat bantu Papamu biayai kuliahnya, begitu juga dengan Rangga. Kamu sendiri? Sampai sekarang belum dipakai uangnya. Tolong, pakai uang itu, jangan buat Ayah kecewa."

"Tabungannya buat Nova aja kalau gitu—"

"Enggak bisa. Nova udah dapat jatah sendiri dan uangnya untuk berobat. Sekarang Mama cuma pegang uang kamu. Dipakai buat beli rumah, ya?"

"Pa ...."

"Nurut ya, Lang? Tinggal di sini aja, uang dari Ayah masukin ke tabungan kalian. Katanya Kinan mau buka toko kue? Nah, pakai uang itu buat modal. Kalau kamu enggak mau dua pilihan itu, apa kamu mau tinggal di samping rumah? Kita tetanggaan di Depok."

Kinan melihat suaminya menggeleng tanpa ragu, tanda bahwa laki-laki itu tidak setuju dengan ucapan Papa.

"Aku enggak mau kalau tinggal di dekat Papa, aku kepingin mandiri. Aku ngomong dulu sama Kinan, baiknya gimana. Uang dari Ayah dipegang Mama?"

Mama mengangguk. "Jumlahnya —"

"Aku enggak mau dengar nominalnya, malah enggak bisa mikir nanti. Keputusannya paling lambat tiga hari lagi. Titip Kinan ya, Pa, Ma, aku mau pergi dulu. Takziah di tempat temanku, pulangnya sebelum Maghrib."

"Iya, nanti dibilangin. Oh, iya, Mama mau titip, nanti chat aja ya."

"Belinya kalau aku udah pulang aja, Ma. HP mau aku bawa ke tempat servis."

Langsung saja Papa bersuara, "Beli lagi dong, Lang. Di tempat Aka ada banyak keluaran terbaru. Minta dikirimin satu, pasti langsung dituruti."

"Enggak deh, Pa, ini aja," tolak Gilang. Dia mengambil helm dan melangkah keluar setelah mencium tangan kedua orang tuanya.

Kinan memilih untuk pergi ke dapur, menghilangkan dahaga. Usai minum, perempuan itu membuka tudung saji, menemukan sepiring bomboloni dan langsung melahapnya.

"Kin, Masmu pergi takziah ke tempat temannya," ucap Mama yang baru saja bergabung.

Kinan mengangguk pelan, mulutnya penuh dengan bomboloni isi cokelat yang lumer di mulut.

Album FotoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang