0-11

157 8 2
                                    

Batu hari Kamis, tapi udah kepingin update. Enggak jadi besok, sekarang aja. He-he.
.
.
.
.

Kinan duduk seorang diri di teras, sesekali menyesap teh hangat yang gelasnya sedang dia genggam. Sudah hampir satu jam dia duduk di teras. Gilang belum pulang dan azan Isya sudah berkumandang sejak tadi sekali. Tadi sore laki-laki itu pamit pergi ke konter milik Aka, tapi tak pulang-pulang.

Kembali Kinan menyesap tehnya, tangannya bergerak untuk mengusap perut. Pasti anaknya juga gelisah karena tak kunjung mendengar suara sang ayah. Saat akan berdiri, Kinan mengurungkan niatnya saat melihat sebuah mobil memasuki halaman dan langsung masuk ke garasi.

Setelah acara hari itu, Gilang menjaga jarak dengan Mama dan Papa. Mereka ada di satu rumah yang sama, tapi Gilang jarang terdengar suaranya. Bertegur sapa saat berpapasan saja tidak.

"Kok di luar?"

Bukan Gilang yang bertanya, tapi Rangga. Laki-laki itu kemudian memberikan sebuah bungkusan yang wanginya enak. Kinan menebak jika itu adalah ayam bakar. "Ini, buat anaknya Papi."

Gilang mendesis. "Papi? What, Papi? Sok keren banget dipanggil Papi sama anak orang."

Kinan menerima bungkusan tadi dan mengucapkan terima kasih. Setelah itu mengajak suaminya masuk. "Kayaknya enak, deh. Makan bareng, yuk, Mas."

"Gue ikut, dong. Sekali-kali, adek makan bareng Papi-nya," ucap Rangga tiba-tiba. Dia tersenyum lebar dan memperlihatkan bungkusan lain di tangannya.

"Kamu itu uwa," protes Gilang. Menghentikan langkah dan melipat tangannya di depan dada. "Atau mau dipanggil Pakdhe?"

"Hey, gue itu Papi. Meskipun dia anak lo, tapi kan kita kembar. Udah jadi bestie sejak jaman embrio. Jadi, anak lo adalah anak gue. Meskipun prosesnya cuma lo yang terlibat. Begitu juga sebaliknya, anak gue nantinya juga anak lo," jelas Rangga.

"Pakdhe." Setelah itu Gilang menarik Kinan agar mengikutinya ke kamar.

"Enggak bisa gitu, Lang!"

Sesampainya di kamar, Gilang langsung bersih-bersih, setelah itu menggelar sajadah. Menunggu Kinan yang sedang wudhu.

Usai salat berjamaah, keduanya berbaring di atas sajadah. Saling menatap tanpa berucap.

Tangan Gilang terulur untuk mengusap pipi Kinan, kemudian menyusuri wajahnya dengan jari telunjuk. "Aku udah ada omongan sama Kakak. Kita tempati rumah itu, sampai adek lahir. Setelahnya, kita cari rumah yang enggak jauh dari sekolah."

"Aku ngikut aja, mau diajak kemana."

"Kalau kamu diberi dua pilihan, kira-kira lebih milih dijodohin sama Rangga atau aku?"

Alis Kinan bertaut. "Ya udah pasti pilih kamu, dong. Kamu enggak banyak tingkah, enggak ribet. Ya ... meskipun kadang harus aku duluan yang ngajak kamu ngobrol. Ingat, gak? Aku sampai ngajak kamu ngobrol tentang ulat sayur yang aku temuin di sawi, ingat?"

Gilang terkekeh. "Yang katanya ulat itu tulang punggung keluarga, terus istrinya jadi janda, anaknya jadi yatim. Bisa-bisanya ...."

Saat jari Gilang menyusuri bibirnya, oleh Kinan langsung digigit. "Aku tuh lapar banget, tapi suaminya enggak pulang-pulang, kasihan, kan?"

"Suaminya kemana, Bu?" gurau Gilang. Suara tawanya semakin keras.

"Enggak tahu, kayaknya lagi cari keluarga ulat sayur yang kehilangan suaminya. Ayo, ih, kita makan." Kinan bangkit dan melepas mukenanya.

Keduanya kemudian berjalan beriringan menuju ruang makan. Orang rumah yang lain sudah makan tadi, tapi Kinan ingin menunggu suaminya. Eh, yang ditunggu ternyata sudah makan. Ah, sudahlah. Kadang realita kehidupan memang tak sesuai ekspektasi.

Album FotoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang