0-18

75 7 0
                                    

Ya Allah, aku malah lupain tulisan ini. 😭😭😭
Padahal udah aku tulis sampai tamat, tinggal publish doang.

Maafin aku ya. Kalau kalian lupa sama alurnya, mungkin bisa baca beberapa bab terakhir.

Makasih yang masih setia nungguin aku. 🥹🧡

Jika ada waktu luang dan hati lapang serta pikiran tenang, Kinan membuka buku ceker ayam. Gilang menyimpan kardus berisi buku itu di lemari bawah tangga. Agar Kinan bisa bebas membacanya saat senggang.

Saat membaca buku ceker ayam itu, memang harus saat waktu luang, hati lapang dan pikiran tenang. Karena tulisan Gilang bisa menyebabkan emosi. Bukan isinya, melainkan bentuk hurufnya. Kinan sampai melotot untuk menyambungkan kata demi kata yang berhasil dia baca. Belum lagi itu tulisan lama dan tinta di halaman selanjutnya tembus.

Haduh, Kinan benar-benar harus menjaga kewarasannya. Kasihan anaknya yang ada di perut, ikutan pusing nanti. Menghirup udara dunia saja belum, sudah diajak diskusi mengenai tulisan tangan ayahnya.

Meskipun tulisannya sangat subhanallah, Kinan jadi tahu apa saja yang selama ini Gilang simpan seorang diri.

Tentang tuntutan Mama yang harus selalu dilaksanakan tanpa protesan.

Tentang perceraian kedua orang tuanya.

Tentang kekerasan fisik yang diterima dari selingkuhan Papa.

Tentang hidupnya yang tiba-tiba berubah setelah jauh dari orang tua.

Tentang masa remajanya yang dipenuhi dengan kerja keras.

Tentang masa kuliahnya yang memaksanya untuk berbaur dengan sesama manusia.

Meskipun ada tulisan saat jaman kuliah, tapi bentuk tulisannya sama saja. Tetap jelek. Padahal setahu Kinan, tulisan suaminya itu cantik-cantik dan rapi. Kadang malah estetik. Tidak acakadul seperti ini.

Gilang yang ternyata masih menyimpan dendam pada Mama dan Papa. Mama yang membuat masa kecilnya dipenuhi dengan tuntutan agar sempurna, Papa yang membuat semuanya semakin runyam.

Gilang dulu disetir Mama, bagaimanapun caranya dia harus menjadi dokter. Ayolah, melihat darah haid Kinan saat tembus di seprei saja dia ingin pingsan. Tapi oleh Mama dituntut agar kelak menjadi dokter, spesialis bedah pula. Ya setiap hari harus melihat darah yang luar biasa banyaknya dong.

Lalu kekerasan fisik yang dia alami, dipukul selingkuhan Papanya hingga babak belur. Belum lagi teman-temannya ada yang mengejek, katanya dia anak aneh karena pendiam. Gilang kecil saat itu tahu, jika apa yang dilakukan Papanya adalah perbuatan salah, akhirnya dia mengadu. Dia berharap Papanya akan dinasehati seperti dirinya jika berbuat salah. Ternyata malah dunianya yang ikut jungkir balik.

Kinan juga baru tahu, alasan Gilang semasa sekolah sudah bekerja keras dan hidup sederhana. Itu karena Papa dan Mama selama dua tahunan benar-benar mengabaikannya, sibuk dengan hidup masing-masing. Belum lagi dia harus berobat, dia ingin sembuh dari segala lukanya.

Lalu ayah tiri datang ke hidupnya. Dia baik, tapi Gilang tidak membutuhkan orang itu dalam hidupnya, Mama dan adiknya yang butuh. Jadi, dia biasa-biasa saja. Papa juga sudah kembali sadar, jika punya anak lain yang berada jauh. Lagi-lagi Gilang tidak membutuhkan orang itu, karena sudah ada sosok ayah lain dalam hidupnya, Om Fian.

Darah memang lebih kental daripada air. Tapi bagi Gilang, dalam hidupnya selama ini dia lebih membutuhkan air daripada darah. Air juga yang lebih sering dia temui. Sepuluh tahun dia memang di pelukan Papa, tapi sepuluh tahun berikutnya dia di genggaman Om Fian. Laki-laki itu mendidiknya dengan baik.

Album FotoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang