0-14

131 8 0
                                    

Pelan-pelan Mbak Kinan

.
.
.

Kinan bersenandung kecil sembari memindahkan bakso ke dalam mangkuk, kemudian membawa tiga mangkuk itu ke meja makan. Gilang sudah duduk manis di sana, dengan rambut yang masih terlihat basah. Tiga untuk berdua, karena Kinan merasa kurang jika hanya semangkuk, tapi jika dua mangkuk pasti tidak akan habis.

"Mas, tadi siang geger geden."

Gilang yang baru saja mencicipi kuah bakso langsung mendongak. Dia menghela napas. "Mau ngajak aku gosip, Kin?"

Seperti biasa, Kinan akan memukul tangan suaminya. Tapi kali ini dengan sendok. "Kamu harus tahu."

"Apa?" Gilang memasukkan bulatan bakso ke mulutnya, mengunyah dengan malas. Apa Kinan tidak punya topik obrolan lain?

"Tadi kan aku pulang dari posyandu bumil. Sama," Kinan menyebut nama orang yang tadi bersamanya sembari membuka jari. "Budhe Laras, kan dia kader. Bu Dila sama Mba Putri, kan dia bumil juga. Terus sama Mbah Jum, mertuanya Mba Putri yang mau main, akhirnya ikut pulang bareng."

"Mbah Jum yang mana?" sela Gilang.

"Mbah Jum yang jualan sembako, kan biasanya kita beli beras di sana, Mas Gilang."

"Namanya Mbah Jumi."

Kinan mengibaskan tangannya dan menyuap bakso. "Kan kita berlima jalan kaki, akhirnya lewat kebun. Yang sana itu," tunjuk Kinan ke Utara.

Gilang mengangguk, itu adalah jalan setapak dan nanti akan tiba di samping rumah. "Terus? Ketemu ular? Biawak? Kadal?"

"Bukan. Tapi aku sama yang lain dengar suara dari rumah Bu Elis."

Gilang kembali mengangguk. Rumahnya dan Bu Elis dipisahkan oleh kebun singkong milik perempuan itu dan kebun pohon cokelat milik Budhe Laras.

"Eh, kamu tahu Fendi, Mas? Yang masih SMA itu."

Masih mengangguk sembari makan.

"Rumahnya itu kosong, ibunya lagi pergi. Nah, dia bawa pacarnya ke rumah. Kamu tahu, kita dengar apa?"

Kali ini Gilang menggeleng, mulutnya masih penuh.

"Suara cewek minta ampun, sambil ... kayak nangis gitu, agak teriak. Kita akhirnya agak belok ke sana, kirain ada apa. Eh, ternyata."

"Apa?" Raut wajah Kinan benar-benar membuat Gilang tertarik dengan setiap ceritanya, meskipun kadang malah merembet ke gosip.

"Itu suara cewek tiba-tiba berubah, jadi desah gitu. Ternyata mereka lagi ituan. Si cewek suaranya heboh banget lagi, keenakan," ucap Kinan. Mengacungkan garpunya tinggi-tinggi.

Kali ini Gilang tersedak, buru-buru dia minum. Wajahnya sampai merah. "Kinan!"

"Aku langsung ditarik sama Budhe Laras, malu dong dengarnya. Pas aku udah belok ke halaman, tiba-tiba dengar suara panci dipukul sapu. Mereka berdua tadi digrebek. Tahu yang grebek siapa? Bu Elis, Mbah Jum dan beberapa warga lain. Heboh tadi."

"Te—"

"Aku lihat ceweknya tadi, sama Mbah Jum dibawa ke teras kita. Enggak lama setelah itu, dia dibawa pergi, diantar pulang. Anaknya cantik, montok—"

Lagi-lagi Gilang tersedak. "Udah ceritanya."

"Belum sampai ending, Mas. Ini baru puncak cerita," protes Kinan.

"Aku enggak mau dengar lagi. Kamu ngomongnya blak-blakan banget." Gilang mengangkat kedua tangannya. Dia kenyang karena minum air terlalu banyak, bukan karena makan malamnya.

Album FotoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang