0-17

308 15 3
                                    

Ya ampun, udah berdebu cerita ini

.
.
.

Sepulang dari sekolah, Gilang meletakkan tasnya di kursi teras. Lalu kembali melajukan sepeda motornya guna menjemput ndoro ayu yang sedang senang-senangnya main ke tempat temannya. Rutinitas Gilang setiap pulang bekerja sebulan terakhir, maka dia akan menjemput Kinan yang sebelumnya sudah meminta izin untuk pergi main.

Entah apa yang dua perempuan itu lakukan setiap harinya. Kinan sama sekali tidak bosan untuk datang, kecuali hari Minggu. Kinan tidak akan pergi kemana-mana, sibuk mengacak-acak kasur.

Gilang menatap istrinya yang sedang duduk di teras rumah orang, terlihat sedang mengupas bumbu, lalu temannya memarut kelapa. Tunggu, ada satu laki-laki asing di sana. Duduk diantara dua perempuan itu dan sesekali mencolek teman Kinan.

"Kin," panggil Gilang. Melepas helmnya dan berjalan mendekat.

"Eh? Kok udah pulang, Mas? Biasanya sampai rumah jam setengah lima." Kinan menyimpan pisaunya dan meraih tangan Gilang untuk dicium.

"Pulang cepat, kan ini Jum'at." Gilang menatap laki-laki itu. Tubuhnya tinggi, tegap dan berisi, lalu wajahnya juga terawat. Wangi juga.

"Mas, ini pacarnya Karisha," ucap Kinan. Menunjuk laki-laki di sampingnya dengan pisau yang ujungnya lancip. Seketika laki-laki itu berpindah duduk menjadi di belakang teman Kinan, Karisha.

"Enggak sopan, Kin," tegur Gilang, menurunkan pisau tadi. Dia kemudian menatap laki-laki yang tadi diacungi pisau, mengulurkan tangannya. "Gilang."

"Galih. Benar ternyata kata Karisha kemarin, suaminya Kinan imut-imut."

Reflek Gilang menyentuh pipinya. Imut ya? Masa? Tapi kok Rangga malah amit-amit?

"Umur berapa kamu? Kayak anak kuliahan lagi magang di sekolah. Lucu, deh, terus nanti cinlok sama muridnya. Terus kawin—nikah maksudnya," ucap Galih. Menopang dagunya dan menatap Gilang.

"Dua puluh tiga."

Tiba-tiba Galih memukul Karisha. "Ya ampun, masih bocah ternyata."

"Tapi dia keren, masih muda tapi udah siap jadi suami. Bertanggung jawab pastinya. Enggak kayak kamu, udah tua tapi enggak nikah-nikah. Kawin terus maunya."

Galih berdecak dan kembali menatap Gilang. "Nikah enggak segampang itu, kan, Gil?"

Gilang mengangguk. "Ada banyak yang harus disiapkan, Mas. Karena ini bukan sekedar pacaran atau hubungan sementara."

"Keren, keren. Kapan-kapan bisa kita ngobrol, kalau aku lagi pulang juga sih. Pengin belajar banyak sama kamu."

"Boleh."

"Kamu guru apa, Gil? Karisha dulunya juga guru, tapi udah pensiun, udah tua soalnya."

"Akuntansi, Mas."

"Wah. Kalau ini beneran satu frekuensi kita, Gil. Kebetulan aku lulusan sekolah akuntansi, kerja di bagian keuangan juga. Bisa lah, sharing banyak hal."

Gilang mengangguk. Dia kemudian menatap Kinan. "Kamu mau pulang kapan?"

"Sekarang aja." Pelan-pelan Kinan berdiri dibantu Gilang, justru dia sendiri yang takutnya perutnya copot dan jatuh. Berlebihan memang, karena itu tidak mungkin terjadi.

Malamnya Kinan duduk manis di kasur, dengan punggung bersandar pada dinding. Perutnya yang besar dijadikannya meja untuk menyangga ponsel. Sudah dua jam Kinan larut dalam deretan huruf, sedangkan Gilang sejak tadi sudah masuk ke dalam selimut.

Album FotoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang