0-9

143 7 1
                                    

Lama tak berjumpa ....

Apa kabarnya nih?

.
.
.
.

Setelah kejadian ditipu itu, Kinan semakin waspada. Nomor bisnis yang biasa digunakan, kini dipegang oleh Gilang dan dia yang menjadi admin. Dia juga tidak akan menerima pesanan jika uang muka kurang dari setengahnya.

Seminggu menjelang lebaran, Kinan tutup. Selain karena akan mudik, juga karena sakit. Badannya panas dan sama sekali tidak bisa bangun dari kasur. Gilang tidak marah, tapi justru malah tetap baik. Ah, justru itu yang membuat Kinan takut.

"Bubu ...."

Sekarang hampir setiap malam, Kinan mendengar suara itu. Saat membuka mata, pasti Gilang sudah tidur, bahkan ngiler. Di rumah juga hanya ada mereka berdua, tidak mungkin itu suara dari tetangga.

"Aku sebenarnya punya keinginan mudik naik sepeda motor."

Kinan yang sedang memakai sepatunya sontak menoleh. "Kalau gitu, ayo kita naik sepeda motor. Barang bawaan kita juga cuma sedikit."

"Enggak bisa, ada adek."

"Lebaran tahun depan?"

"Ada adek, masih bayi."

"Depannya lagi?"

"Tetap ada adek."

Kinan mendecakkan lidah, memakai sepatunya dengan cepat dan mengambil koper. Rencananya mereka akan pulang lebaran ke lima. Karena di sini juga akan ada acara keluarga besar Mama.

Gilang masih santai, memasukkan beberapa barang ke dalam tasnya dan menatap Kinan. "Ada yang belum masuk tas?"

"Em ... enggak deh kayaknya. Berangkat, yuk."

Gilang mengulurkan tangannya, langsung diraih oleh Kinan. Tak lupa senyuman lebar oleh perempuan itu. Tapi sayangnya bukan itu maksud Gilang. "Kunci rumahnya, Kinan."

"Oh?!" Dengan wajah menahan kesal, Kinan memberikan kunci rumah. Dia melangkah menuju taksi online yang sudah menunggu. Gilang tidak bisa diajak bermanis-manis ria seperti yang ada di Wattpad.

Mereka akan menggunakan kereta, tidak mungkin jika menggunakan bus, karena pasti Kinan akan mabuk perjalanan. Jika menggunakan pesawat, uangnya lebih baik ditabung. Dulu saat datang ke Jogja, mereka juga menggunakan kereta.

"Mas, kenapa dulu kamu mau dijodohin sama aku?" Kinan mengunyah keripiknya dengan santai, seolah lupa jika suaminya berniat akan tetap puasa.

"Kamu sendiri, kenapa mau? Bukannya kamu udah pernah tanya, ya?"

"Lupa. Em ... kalau kita enggak dijodohin, kamu bakalan sama Nabilla?"

Gilang membenarkan posisi duduknya, Kinan benar-benar menyebalkan. Tidak paham jika suaminya sejak tadi terkantuk-kantuk. "Belum tahu."

"Masa bertahun-tahun dekat enggak ada rasa tertarik?"

"Pernah. Soalnya kita sama-sama anak broken home."

"He?" Kinan memukulkan tangannya di paha Gilang. "Kamu belum cerita loh ...."

Gilang berdecak, untung saja ini kelas eksekutif. "Aku ngantuk, tidur dulu, ya?"

Kinan hanya bergumam, dia kembali melempar pandangan ke luar jendela. Pemandangannya sangat menarik di mata. Perempuan itu menjilat jari-jarinya dan bersendawa.

"Enggak sopan. Cantik kayak tuan putri masa sendawanya keras banget?" tegur Gilang. Dia meraih tangan Kinan dan mengusapkan tisu.

"Kelepasan, Mas. Soalnya di rumah biasanya malu-malu kucing. Kentut aja ditahan-tahan, nunggu kamu pergi dulu."

Gilang terkekeh samar, dia membuka botol jus dan memberikannya pada Kinan. "Tomat sama brokoli."

"Haish! Resiko jadi istrinya Gilang, sayuran mentah disuruh makan," gerutu Kinan. Tapi dia tetap meminumnya.

"Udah kenyang? Sekarang tidur, sini." Gilang menepuk-nepuk bahunya.

"Nanti." Kinan membuka kembali tasnya, mengeluarkan toples berisi keripik buah dan membukanya. Gilang menghela napas. "Kalau jajannya udah habis, kamu petok-petok kayak ayam betina baru bertelur."

"Kamu mau?"

Gilang melipat tangannya di depan dada dan meluruskan kaki, dia menghela napas. "Waktu aku umur sepuluh tahun, orang tuaku cerai, Kin."

Sontak Kinan menoleh, dia menyimpan kembali toplesnya dan meraih tisu. "Mama dan ... Papa?"

"Ya."

Kinan memiringkan tubuhnya, dia melihat jelas sorot mata Gilang yang penuh luka. "Papa selingkuh dan malam itu papasan sama Kakak. Kakak jalan bareng Bang Aka, enggak sengaja ketemu Papa lagi bareng selingkuhannya. Chaos. Orang rumah bubar. Papa kabur ke toko, Rangga ke rumah Kakek, Kakak kabur ke rumah Bang Aka, Mama pulang ke Jogja, dan aku ... sendirian di rumah.

"Malam itu hujan deras, Om Fian hujan-hujanan nyamperin aku di rumah. Dia bawa aku ke kontrakan dia. Aku dua hari enggak makan, Kin, karena aku enggak punya uang dan di rumah enggak ada apapun yang bisa dimakan. Akhirnya aku tinggal di tempat Om Fian. Dia yang antar jemput aku sekolah, temani aku belajar, dan ajak aku jalan-jalan setiap sore. Supaya aku enggak sedih. Padahal waktu itu dia enggak punya uang. Uang gaji dia dipakai buat bayar hutang almarhumah Ibunya.

"Om Fian marah. Karena Mama ataupun Papa sama sekali enggak peduli sama anaknya, terutama aku. Akhirnya aku dibawa ke Purwokerto. Om Fian berhenti kerja dan aku dibawa kabur. Dia enggak peduli Papa atau Mama bakalan marah, karena saat itu mereka egois. Aku sakit dan masuk rumah sakit, mereka sama sekali enggak nanyain kabarku, padahal udah dikasih tahu. Aku ... kecewa, Kin.

"Awal-awal tinggal di tempat baru, aku kaget, Kin. Aku harus jalan kaki kemanapun karena enggak punya kendaraan, rumah bocor, dan aku harus bantu di sawah. Tapi lama-kelamaan, aku menikmati. Sampai akhirnya Mama menikah lagi, kami sebut suaminya 'Ayah'. Dia orangnya baik, sering nemuin aku, meskipun aku enggak banyak omong. Begitu juga Papa, dia sering datang, meskipun aku nolak atau cuekin dia.

"Percuma mereka datang dan meminta maaf, Kin. Aku udah terlanjur sakit. Maaf mereka enggak bakalan ngehapus semuanya. Makanya aku lebih suka pulang ke Om Fian, daripada ke orang tua kandungku. Ini ... sebenarnya lebaran pertama aku bareng keluarga, Kin, sejak Mama dan Papa pisah."

Kinan menyusut hidungnya, dia lemah. Bahkan dia sama sekali tidak menyangka jika ini adalah lebaran pertama setelah dua belas tahun berlalu. Pantas saja Gilang tidak terlalu antusias dengan rencana mudik ini.

"Kamu terpaksa ya?" tanya Kinan.

Gilang menggeleng dan mengendikkan bahu. "Sekali-kali, apa salahnya?"

"Lalu, kenapa sekarang mereka bareng-bareng lagi, Mas?"

"Belum lama kok, Kin. Belum ada setahun. Itu kan terserah mereka mau rujuk atau enggaknya, aku enggak mau kasih pendapat apapun waktu itu. Karena mereka yang bakalan menjalani dan enggak ada pengaruhnya sama hidupku."

Kinan tertegun. "Apa kamu udah maafin mereka, Mas?"

"Aku enggak maafin, tapi aku berusaha ikhlas dan ambil hikmahnya. Kalau mereka ngaku salah, kenapa enggak minta maaf sejak dulu? Kenapa setelah aku dewasa, mereka baru minta maaf? Ah, aku beruntung dirawat Om Fian, dia didik aku dengan baik."

Kinan akhirnya paham, meskipun Rangga dan Gilang adalah kembar seiras, tapi mereka berbeda. Rangga urakan dan Gilang tenang. Gilang hidupnya juga tertata.

"Waktu itu Mama nawarin supaya aku pakai uang tabungan peninggalan almarhum Ayah, buat beli atau bangun rumah. Soalnya selama ini cuma aku yang belum pakai uangnya."

Kinan mengangguk, dia mengusap-usap lengan Gilang dan bersandar di bahunya. "Sekarang kamu punya aku. Kalau ada apa-apa, kita obrolin bareng-bareng, biar lega."

Perlahan kedua mata Kinan terpejam, mungkin jika saat ini sedang tidak duduk di kereta dan berbadan dua, Kinan sepertinya akan jingkrak-jingkrak sampai kakinya kebas.

Kinan, sungguh menanti saat seperti ini. Gilang merasa beruntung memilikinya, semoga saja.

Album FotoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang