0-16

160 10 1
                                    

Kinan mengikat rambutnya dan mengedarkan pandangan, tidak ada Gilang di kamar. Sekarang juga sudah pukul sebelas siang, dia harus segera mandi. Perlahan Kinan turun dari kasur dan memakai kembali baju terusannya.

Terdengar suara obrolan dari samping rumah, perempuan itu mengintip melalui gorden yang tertutup rapat. Gilang sedang mengobrol, tapi entah dengan siapa. Saat dua orang itu bubar, Kinan segera keluar kamar.

"Darimana, Mas?" tanya Kinan saat Gilang masuk rumah dengan membawa keranjang. Senyuman Kinan semakin lebar saat mengetahui jika suaminya sudah baik-baik saja tiga hari ini. Meskipun kadang Kinan mendapati laki-laki itu sedang melamun, tapi itu tidak seperti yang sebelumnya.

Semoga, setelah ini Gilang baik-baik saja.

Semoga.

"Oh, rumah Pakdhe Agus. Dia minta tolong beliin ikan. Ada pesanan nasi kotak, lauknya ikan bakar."

"Aku ikut boleh?"

"Mandi sana. Perempuan kok malas-malasan, jam sebelas baru bangun." Gilang berkacak pinggang dan melotot galak. Kali ini, wajahnya benar-benar terlihat galak. Kinan menciut ditatap seperti itu.

"I ... ya."

"Gitu aja takut, Kin. Lebay," cibir Gilang. Dia kemudian melangkah ke depan. Kinan menggigit kukunya, apa benar, dia semalas itu di mata suaminya?

Siang yang cukup terik, Gilang awalnya ingin agar mereka mengendarai sepeda motor. Tapi Kinan menolak, dia ingin berjalan kaki di bawah terik matahari. Tapi baru lima meter keluar dari pintu, perempuan itu langsung pulang. Takut meleleh seperti Olaf katanya.

Akhirnya mereka pergi membeli ikan sore hari, setelah matahari tak menyengat seperti tadi. Sesampainya di tujuan, Gilang langsung menemui seorang perempuan yang sedang duduk-duduk di gazebo. Kata Pakdhe Agus, dia yang harus ditemui. Kinan mengekor di belakangnya.

Gilang hanya berbicara sebentar pada perempuan itu, lalu pergi menuju kolam-kolam berada. Meninggalkan Kinan yang diam di tempat, ingin menyusul tapi takut. Takut jatuh ke air karena jalan terlalu kecil.

"Duduk sini, Mba."

"Oh? Iya, iya, ini duduk." Kinan kemudian mendudukkan dirinya di gazebo, sesekali menatap Gilang yang sedang mengobrol.

"Anaknya Pak Agus, Mba?" tanya perempuan itu. "Aku Karisha."

"Bukan, keponakannya. Namaku Kinan, Mba."

"Kalau yang tadi, adikmu, Mba?" tunjuk Karisha pada Gilang dengan dagunya.

Kinan tersenyum, salah tingkah dan menunduk malu-malu. "Suamiku."

"Eh?"

"Muka dia memang imut-imut, kayak anak sekolah."

"Mba, maaf ya. Aku enggak tahu kalau itu suaminya Mba Kinan. Kalian sama-sama tinggi, terus dia kelihatan imut, makanya aku kira ... anu ...."

"Enggak apa-apa, memang lebih tua aku, dua tahun setengah," ucap Kinan seraya mengibaskan tangannya.

Perempuan bernama Karisha itu mengangguk. "Anak pertama, Mba?"

"Iya, jalan enam bulan. Kalau kamu itu tunangannya yang punya kolam ya? Waktu itu aku dengar beritanya, yang geger itu. Kamu jadi korban kekerasan yang dilakuin sama Pak Lurah."

Karisha hanya tersenyum. "Udah putus sih, Mba. Setahun lebih, udah enggak ada ikatan lagi. Dia ... enggak ngasih kepastian kapan mau nikahi aku. Mungkin juga itu tindakan impulsif dari aku, masih labil, makanya ngajak putus dengan gampangnya tanpa pikir panjang. Banyak juga yang tanya ke aku, kapan mau dinikahi, padahal udah lima tahun bareng-bareng."

Album FotoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang