0-8

137 7 0
                                    

Masih baik hatiiii

Baca, yuk! Double update lagi, hi-hi
.
.
.
.

Bulan Ramadhan sudah tiba dan tahun ini adalah yang paling spesial. Ramadhan pertama bagi pasangan Kinan dan Gilang. Keduanya terlihat antusias menyambut bulan penuh berkah ini. Si laki-laki sibuk menempelkan jadwal kultum dan di perempuan sibuk menempelkan jadwal pesanan.

Si laki-laki terlihat tidak suka melihat jadwal istrinya yang jauh lebih padat ketimbang dirinya. "Ini kamu buat kue sendirian, Kin?"

Kinan melarikan matanya kesana-kemari, tidak berani bertemu pandang dengan suaminya.

"Ini ada banyak, bahkan setiap hari. Kalau perutnya sakit kayak yang waktu itu, gimana?" Gilang mendekat dan menyentuh kedua bahu perempuan itu. Tinggi mereka sama, sehingga mudah untuk saling bertatapan.

"Pasti sebulan ini pengeluaran kita makin banyak, Mas. Belum lagi biaya mudik ...."

"Aku tahu, tapi kan enggak harus sebanyak ini. Kita memang udah sepakat, kalau uangmu yang dipakai buat makan dan kebutuhan sehari-hari lain. Lalu uangku dipakai buat kebutuhan listrik, air dan ditabung. Tapi enggak kayak gini. Terlalu memforsir diri."

Bukannya mendengarkan dengan saksama, Kinan malah menitikkan air matanya. Kenapa suaminya lembut sekali? Kan hatinya jadi mudah tersentuh. Kinan menyusut hidungnya dan mengangguk. "Nanti aku cari orang buat bantuin."

"Kinan, aku paham kalau ini hobi kamu. Aku seneng banget, kamu bisa bantuin aku mencukupi kebutuhan sehari-hari kita. Meskipun ini baru mulai jalan pelan-pelan, tapi ada aja rejeki yang datang enggak diduga. Jangan lupa istirahat, Kin. Kalau kamu kenapa-kenapa, pasti adek juga, kan? Yang rasain sakit perutnya memang kamu, tapi yang sedih ada banyak orang. Jangan terima pesanan kue lagi, ya? Udah cukup, segini aja."

Kinan mengangguk dan mengusap air matanya. "Kamu ngomongnya pintar banget, Mas, aku sampai nangis."

"Loh, aku enggak marahin kamu. Kenapa malah jadi nangis? Aku ada salah ngomong ya?" Gilang mengusap dagunya, sepertinya tadi dia tidak bicara kasar.

"Kamu baik banget. Makasih udah izinin aku bantu cari rejeki. Nanti aku tolak pesanan yang masuk dan bakalan cari orang buat bantu."

Gilang mengusap punggung perempuan itu dan menciptakan jarak. "Udah malam, kamu istirahat sana. Besok hari pertama puasa. Kamu mau puasa gak?" Tatapan Gilang beralih pada perut perempuan itu.

"Enggak tahu ...."

Perut Kinan masih rata. Kemarin sepulang belanja di warung, perempuan itu menekuk wajahnya. Saat ditanya, malah semakin kesal.

"Itu tadi ibu-ibu di warung pada komentar. Katanya perutku masih kecil. Ya kan aku hamil empat bulan, wajar kalau masih kecil perutnya. Dikiranya orang hamil langsung segede perutnya badut apa."

Siangnya misuh-misuh tapi malamnya Kinan malah overthinking. Dia memonopoli laptop suaminya untuk mencari berbagai artikel di internet. Bahkan setelah Mama memberi penjelasan, Kinan masih belum puas. Dia sampai menghubungi Diana, masih saja tidak tenang.

Akhirnya Gilang mendekat pada perempuan itu, menyentil keningnya. "Enggak usah kayak gitu mukanya, kayak orang penting lagi mikirin hutang negara. Kan tadi kamu bilang sendiri, perut masih kecil itu wajar. Soalnya baru hamil empat bulan. Kan dia juga baru dikasih ruh sama Allah. Masih pelan-pelan berkembangnya. Enggak mungkin juga dalam semalam perutmu buncit segede semangka. Malah seram. Mau besok pagi perutnya gede, iya?"

Tapi meskipun lembut, Gilang kadang omongannya nyelekit. Jika saja itu temannya, pasti sudah Kinan tabok mulutnya atau dia diamkan berhari-hari. Sayangnya mereka bukan sekedar teman.

Album FotoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang