0-10

149 7 0
                                    

Sebelum menikah, Kinan pernah diberitahu oleh Om Fian. Laki-laki itu mengatakan jika Gilang lebih suka mengungkapkan semuanya dalam bentuk tulisan. Sejak masuk sekolah dasar, Gilang menulis di buku harian. Bahkan sampai dia dewasa. Bukan buku harian dengan gambar kartun atau dengan garis warna-warni. Tapi hanya di sebuah buku tulis biasa. Gilang jika tidak mau bercerita, berarti lebih suka jika cerita itu disimpan sendiri.

Om Fian juga mengatakan, semua buku-buku itu disimpan dalam kardus. Diplester rapi dan kemungkinan besar dibawa kemanapun Gilang pindah. Tapi Kinan belum pernah menemukan kardus itu.

Lalu saat datang ke wisuda Gilang, Om Fian berkata bahwa dia senang. Senang karena Gilang sekarang lebih suka bercerita pada orang lain, daripada bercerita pada buku tulis. Kinan percaya itu, karena sekarang Gilang sudah tidak sependiam dulu.

Ah, dulu Kinan sempat mengira jika suaminya itu seperti tokoh Wattpad. Kaku, dingin, cuek, irit bicara, minim ekspresi, dan lain-lain. Tapi ternyata bukan, suaminya benar-benar sosok yang pendiam.

"Mas, ini susunya."

Gilang yang sedang memperbaiki roda mobil-mobilan mengerutkan kening dan mendongak. "Aku enggak minta dibuatin susu, Kin."

Kinan menarik kembali segelas susu cokelat hangat di tangannya. "Tadi minta tolong buatin susu, gimana, sih?"

"Susu buat Keanu, bukan buat aku."

"Udah tua masa masih minum susu cokelat, Lang?" ledek Rangga. Dia asyik mengunyah kacang bawang dengan wajah tengilnya. "Kayak Keanu, anak kecil."

Gilang tidak menggubris perkataan saudara kembarnya.

Rumah sedang ramai, teman-teman Papa banyak yang datang. Karena hari ini ada acara makan-makan dan silaturahmi di rumah. Lebaran hari kedua, kata Mama memang sudah direncanakan sejak lama. Kinan sudah berkenalan dengan tamu-tamu itu. Kepalanya pusing karena mencium wangi yang bermacam-macam.

"Gilang, ayo ke depan. Ada teman Papa yang mau ketemu," ajak Mama.

Gilang mengangguk dan melangkah ke ruang tamu, sedangkan Kinan menggandeng tangan Keanu dan Keyna menuju teras belakang. Berkumpul di sana bersama anak-anak yang lain. Ah, senangnya melihat anak-anak polos bermain dengan riang. Manusia kecil tanpa dosa itu begitu menggemaskan di mata Kinan. Ada sekitar delapan anak-anak, masih balita dan ada yang sebesar Nova, sudah SD.

"Mba Kinan kok di sini?" tanya Nova. Dia duduk di samping kakak iparnya yang sedang memangku Keyna.

"Iya, soalnya yang lain lagi sibuk. Mba Kinan enggak boleh bantu."

"Mba Kinan sama Mas Gilang mau punya adek bayi, ya? Masih lama enggak?" tanya Nova. Dia mengusapkan kedua telapak tangan dengan mata berbinar.

"Masih lima bulan lagi lahirnya, sabar, ya?"

"Wah—"

"Bahkan sampai mati pun, aku enggak bakal maafin. Enggak ada yang tahu sakitnya kayak gimana, karena kalian enggak pernah ada di posisi aku!"

"Gilang!"

"Suruh dia pergi atau aku yang pergi dari rumah ini? Mereka sama aja, sama-sama enggak punya harga diri. Aku muak!"

Nova merapatkan tubuhnya. "Mas Gilang marah, Mba," bisiknya. Beberapa anak yang tadinya sedang asyik bermain juga terdiam, ikut menoleh ke arah pintu yang terbuka lebar.

Jantung Kinan berdegup kencang, dia menitipkan Keyna pada adik iparnya dan melangkah masuk. Melalui ekor matanya dia melihat Gilang berjalan cepat menaiki tangga. "Abang," panggilnya pada Aka yang muncul dari ruang tamu.

"Kin, susul suami kamu," perintah Aka.

"Sebenarnya ini ada apa? Enggak mungkin aku nyusulin dia ke kamar, tanpa aku tahu permasalahannya. Kenapa Gilang sampai semarah itu? Ada apa? Gilang belum tentu mau ngomong ke aku," desak Kinan. Cemas dengan keadaan suaminya yang sepertinya jauh dari kata baik-baik saja.

Album FotoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang