"Kinan, aku enggak jalan sama cewek lain."
Kinan yang sedang menyisir rambutnya menatap Gilang di cermin. Kemudian mengangguk. "Iya, Mas."
"Tapi kenapa kamu diam?" Gilang mendekat dan menyentuh bahunya. "Kamu kepikiran yang semalam ya? Atau tadi pas belanja kamu juga dengar?"
Mau tidak mau, Kinan mengangguk. "Ada yang bilang kalau kamu bahkan ciuman sama orang itu."
"Ya Allah, Kin, itu enggak benar. Dia Aris, dia laki-laki. Bahkan aku cuma tepuk bahunya sebelum dia pergi."
"Ternyata selain Bu Ayu, ada orang lain yang lihat juga. Katanya sewaktu boncengan, dia peluk kamu dari belakang."
Gilang meraih tangan perempuan itu, menggenggamnya erat. "Itu semua fitnah. Tolong percaya."
"Aku percaya kamu, Mas. Tapi aku kepikiran sama omongan orang-orang di luar sana, aku enggak nyangka kalau sampai separah itu."
Terdengar ketukan pintu, segera Gilang keluar kamar dan membukanya. Budhe Laras yang terlihat gusar. "Kapan temanmu datang? Beritanya makin aneh-aneh, Gil."
"Budhe Ratri tadi juga ke sini, katanya dia sebelumnya udah tanya ke Pakdhe Agus. Dia tahu siapa yang nyebarin berita itu dan nambah-nambahi."
"Siapa? Sana, kamu temui orang itu. Bareng teman kamu yang namanya Aris sama Adam. Biar mereka yang bantu jelasin. Pakdhe ada di rumah, Ratri diajak sekalian. Biar Budhe sama Kinan di rumah."
"Aku ganti celana dulu."
Budhe Laras mengangguk. "Budhe juga udah bilang ke Adit, kalau mau bawa ini ke meja hijau. Pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong ini, Gil, bahkan mereka bawa-bawa orang tua dan eyang kamu. Budhe enggak terima!" serunya dengan air mata menitik.
"Kinan ada di kamar, sejak pulang belanja di warung dia diam terus. Mari, Budhe," ajak Gilang.
Di dalam kamar, Kinan masih diam, menatap sisir di tangannya dengan pikiran carut-marut. Dia percaya Gilang. Tapi benar-benar tidak menyangka dengan omongan orang-orang. Gilang orang baik, sejak mereka tinggal di sini banyak membawa perubahan di sekitar. Karang taruna sekarang sudah aktif, remaja masjid yang kegiatannya monoton sudah semakin bervariasi. Bahkan Gilang yang bantu mencarikan dana untuk kegiatan TPA.
"Kinan, ini Budhe Laras."
Buru-buru Kinan mengusap air matanya, menaburkan sedikit bedak di wajah dan mengoleskan liptint. Setelahnya baru keluar. Dia tersenyum lebar pada Budhe Laras yang membawa mangkuk. "Budhe bawain kamu rendang, suka?"
"Suka, pedas enggak, Budhe?"
"Em ... lumayan, kamu enggak suka pedas?"
"Suka kok. Mas Gilang udah pergi, Budhe?"
Budhe Laras mengangguk. "Udah dari tadi. Temannya juga udah datang. Cowok, Kin, tapi kulitnya putih bersih. Dia bawa sesuatu buat kamu, katanya bakpia. Udah Budhe bawa ke belakang."
"Perasaanku tadi biasa aja, sekarang enggak tahu kenapa kayak ada yang ganjal. Kita nyusul mereka, ya?"
"Enggak usah, di rumah aja. Tunggu mereka pulang," tolak Budhe. Menyimpan mangkuknya di meja terdekat.
"Tapi aku enggak tenang, kita nyusul mereka aja. Toh cuma di sebrang jalan."
Budhe Laras kemudian mengangguk, keduanya lalu berjalan ke rumah tetangga depan rumah yang terlihat ramai. Kinan tidak menyangka, bergosipan di desa akan seheboh ini.
Sesampainya di sana, ternyata ada banyak orang. Pak RT juga ada di sana. Para orang tua dan pelaku penyebar hoax terlihat bersitegang, teman Gilang bahkan mengulangi ceritanya terus-menerus. Juga memperlihatkan chatnya dengan Gilang malam itu. Melihat Kinan datang, Gilang kemudian mendekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Album Foto
Romance#4 Kinan menemukan sebuah album foto, berisi dokumentasi dari setiap momen yang tak akan pernah dia dan suami lupakan dalam hidup. Ada yang tak terlihat di lembaran foto berikutnya, ada juga yang terus ada sampai lembaran foto yang terakhir. Foto it...