11. Aneh

26K 2.3K 160
                                    

Semenjak hari itu, rumah Shana sudah seperti tempat penampungan sementara Bhakti Aryaseno. Shana sampai bosan melihat wajah Seno setiap hari. Sudah terjebak di ruangan pria itu saat jam makan siang, kini bertambah dengan keberadaan Seno di rumahnya setiap sore.

Herannya, Ibunya Shana menyambut baik keberadaan pria itu. Pun begitu Septian yang kini semakin akrab dengan Seno. Hanya Shana yang masih berdecak-decak kesal setiap menemukan keberadaan sepatu milik Seno di depan rumahnya.

Bagaimana jika teman-temannya di kampus tahu kalau dosen paling galak sefakultas itu ada di rumahnya ya? Malah sekarang sedang asik bermain PS dengan Septian.

Biar Shana runut apa yang dilakukan Seno di rumahnya. Pria itu akan tiba di rumah Shana sekitar pukul 4 sore, yang pertama dicarinya adalah Septian. Jika Septian tidak ada, maka Seno akan tidur di ruang televisi seolah ini adalah rumahnya sendiri. Jika Septian ada maka keduanya akan bermain PS hingga maghrib. Tunggu, Seno tidak akan pulang secepat itu. Dia kini selalu membawa pakaian ganti untuk mandi di rumah Shana. Setelah mandi, layaknya anggota keluarga beneran, Seno akan ikut makan malam semeja dengan Shana, Septian, dan Rini. Seno biasanya baru akan pulang di jam 9 atau 10 malam. Mungkin jika bisa menginap, dia akan menginap saja. Lama-kelamaan sepertinya Seno akan tinggal di rumah kecil ini.

"Assalamualaikum!" Lihat orang yang baru dibicarakan sudah tiba, Seno tidak perlu lagi menunggu orang membukakannya pintu, dia akan langsung masuk dengan sendirinya. "Hai." Sapanya pada Shana yang sedang menonton televisi.

"Bukannya Septian udah ngasih tahu Pak Seno kalau dia hari ini ada turnamen futsal sama teman-temannya?"

Seno tidak dulu menjawab, dia duduk terlebih dahulu di sofa sebelah Shana. Bertumpang kaki layaknya ini rumahnya.

"Udah ngomong, saya kesini cuma mau numpang tidur kok."

"Emangnya kalau mau tidur nggak bisa di rumah aja?" Kesal Shana. Malah menurutnya akan lebih nyaman tidur di rumah pria itu ketimbang di rumahnya yang sama sekali tidak ada pendingin ruangan. Hanya kipas angin yang membantu menghalau gerahnya hari.

"Bisa," jawabnya tapi sudah lebih dulu merebahkan tubuh di atas karpet. "Volume tv nya kecilin dong, saya mau tidur." Ucapnya santai.

Jadi disini siapa pemilik rumah ini sebenarnya?

Shana tidak menuruti ucapan pria itu, malah dengan sengaja menaikkan volume tv nya.

"Kamu nonton tv kaya orang tunarungu." Decaknya lalu mengambil bantal di sofa untuk menutupi kepala.

Biarin, rumah-rumahnya kok dosennya itu yang protes. Suruh siapa dia tidur di dekat orang yang menonton televisi!

"Suka sate nggak?"

Shana memegang dadanya kaget saat Seno tiba-tiba berbalik dan bicara. Ia kira pria itu sudah tertidur karena sejak tadi tidak bersuara lagi.

"Ngagetin!"

Seno malah terkekeh, mengubah posisi tidurnya menjadi duduk bersandar pada sofa.

"Kirain udah tidur." Shana tidak bohong soal keterkejutannya. Tadi ia terlalu fokus pada tayangan di depan, tidak sadar kalau Seno sudah membalikkan tubunnya.

"Mau sate nggak?" Tanyanya lagi.

"Nggak jadi tidur?" Bukannya menjawab, Shana malah balas bertanya.

"Kamu berisik, mana bisa tidur saya. Ayo cari sate." Tanpa mendengar persetujuan Shana, Seno sudah lebih dahulu berdiri mencari keberadaan kunci mobilnya.

"Nyari sate dimana Pak?"

Seno menaikkan bahunya, "nggak tahu, yang orang sini 'kan kamu."

Baik, sabar Shana. Semakin lama mengenal Seno, Shana jadi mengetahui sisi pria itu yang sering random. Suka tiba-tiba ingin makan ini, ingin makan itu. Pernah beberapa hari lalu, Seno datang ke rumahnya membawa seplastik rambut nenek yang entah dibelinya dimana. Dia menawari  Shana dan Septian yang sudah jelas menolak karena tidak menyukai makanan yang terlalu manis itu. Pada akhirnya, Seno pun hanya memakan sebiji dari rambut nenek itu. Sisanya kemana? Pria itu meminta Shana membagikannya pada anak-anak kecil di sekitaran rumah Shana.

ADVOKASI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang