Menjadi mahasiswa tingkat akhir artinya trial menjadi pengangguran.
Kehidupan Shana hanya berkutat disitu, pergi bersama Seno ke lahan untuk melihat kondisi tanaman setiap weekend, lalu ke kampus setiap hari hanya untuk menemani Seno makan siang.
Tidak ada kegiatan lain yang lebih menarik. Terutama setelah dirinya resmi demisioner dari advokasi. Setidaknya dalam sehari, Shana bisa menghabiskan waktunya 2-3 jam untum planga plongo. Iya segabut itu.
Ingin membantu Ibunya di catering, tapi Ibunya malah sudah tidak membutuhkan bantuan. Hidupnya semakin terasa membosankan.
Siang ini, seperti rutinitas biasanya, Shana akan mengantar makan siang milik Seno. Tapi sebelum itu dia akan mencetak proposalnya yang sudah direvisi setelah seminar kemarin untuk ditanda tangani oleh pembimbingnya, Bhakti Aryaseno.
"Lah? Ulang tahun hari ini?" Matanya tidak sengaja membaca NIP yang ada dibawah nama Seno di lembar pengesahan proposalnya. "Tujuh belas nol empat, bener hari ini kan?" Shana membuka kalender di ponselnya untuk memastikan. Ternyata benar, hari ini tanggan 4 April.
Apa ia perlu mengucapkan selamat ulang tahun pada dosennya itu? Apa pria berusia 40 tahun masih merayakan ulang tahunnya?
Di sepanjang perjalanannya menuju kampus, entah mengapa Shana terus memikirkan ulang tahun Seno. Hummm mungkin ia akan mengucapkan selamat ulang tahun pada pria itu, hitung-hitung sebagai ucapan terima kasih atas kebaikan Seno belakangan ini. Ya, hitung-hitung balas budi hehehehe.
Tapi tidak mungkin kan dia hanya mengucapkan selamat ulang tahun saja? Sepertinya ia perlu membeli kue, masa bodoh dengan komentar Seno nanti. Mengingat walau sudah bersikap jauh lebih baik, terkadang mulut pria itu masih sering sekali pedas.
Jadi Shana membelokkan motornya ke sebuah toko kue yang kebetulan dilewatinya dalam perjalanan menuju kampus. Matanya meneliti deretan kue yang terpajang, tentu menyesuaikan dengan budget pelajarnya.
"Ini bagus deh." Iya bagus tampilan, dan harganya juga masih masuk di kantongnya. "Mbak mbak saya mau yang ini."
Seorang pramuniaga menghampirinya, membawa kue yang ditunjuk oleh Shana ke meja kasir.
"Ada reques mau ditulis apa di atasnya Mbak?"
"Eh," Shana jadi bingung sendiri. "Buat tulisan selamat ulang tahun gitu aja deh Mbak. Bingung saya."
Pramuniaga itu menurut, menulis sesuai permintaan Shana.
"Mau lilinnya sekalian Mbak?"
Shana menimbang-nimbang, mungkin aneh tapi lucu juga. "Boleh deh Mbak, empat puluh dua ya."
Setelah membayar kuenya, Shana bergegas menuju kampus. Seno sudah memberondongnya dengan pesan-pesan yang menanyakan keberadaan Shana saat ini.
Pak Seno Dosbing:
Dimana kamu?
Saya lapar.
Buruan.Shana mengabaikan pesan itu, dan langsung menuju kampus. Awalnya semua terasa biasa saja, tapi perasaannya menjadi tak karuan saat semakin dekat dengan ruangan Seno. Kira-kira respon pria itu bagaimana ya? Langkahnya semakin kaku hingga tiba di pintu milik Seno.
"Assalamualaikum, Shana Pak."
"Hmm." Sahutan terdengar, artinya ia diizinkan masuk. "Lama amat." Komentar Seno setelah Shana duduk di hadapan pria itu.
Kini, melihat wajah masam Seno, Shana menjadi ragu untuk memberikan kue yang telah dibelinya. Kue itu ia letakkan di bawah agar tidak dilihat Seno. Ia terlebih dahulu mengeluarkan kotak bekal milik Seno, mendorong kotak bekal itu ke depan Seno.
KAMU SEDANG MEMBACA
ADVOKASI
Literatura KobiecaShana begitu ia akrab disapa. Si paling advokasi begitu julukannya. Bagaimana tidak, ini tahun keduanya menjabat sebagai staff bidang Advokasi di Himpunan. Walau hanya seorang staff, kinerja Shana tidak perlu diragukan lagi. Sampai keluar julukan...