45. Menyelesaikan yang lalu

16.5K 1.6K 73
                                    

Seminggu, 2 minggu, 3 minggu, hingga sebulan.

Sempat ada secuil harapan di hati Shana, kalau Seno akan segera datang menemuinya. Meminta maaf atas apa yang telah terjadi, atas kalimat menyakitkan yang pria itu ucapkan. Seno tidak mungkin tidak mengetahui kemana Shana pergi. Tapi sepertinya memang Seno tidak akan pernah datang menemuinya dan Eleona.

Harapan itu sirna sudah, status mereka menggantung tidak jelas. Untuk saat ini, yang Shana inginkan hanya fokus pada dirinya dan Eleona yang kian pintar dan menggemaskan. Bagaimana bisa ada orang yang membenci bayi semenggemaskan ini?

Lihatlah wajahnya yang tidak berdosa sama sekali.

Mereka punya panggilan baru untuk Eleona, atas permintaan ngotot Septian yang terus-terusan memanggil Eleona dengan panggilan 'Nana'. Shana akhirnya mengalah, tapi tidak 100% menyetujui panggilan Nana. Sebagai ganti, kini mereka memanggil Eleona dengan panggilan 'Nona'. Terdengar lebih menggemaskan dan manis.

"Nona! Nona! Lihat nih Paklik bawa apaaaa." Teriakan Septian yang sepertinya masih ada di depan rumah menggema hingga ke dalam kamar Shana.

Nona yang mendengar suara yanh sangat dia hafal langsung teriak kencang. Bisa dibilang, Septian dan Nona adalah dua orang yang tak bisa dipisahkan.

"Nonaaa," sosok yang sejak tadi berteriak-teriak akhirnya muncul di pintu kamar. "Paklik bawa mainan kincring kincring buat Nona!!" Seru Septian riang, mendekati Nona sambil menggoyang-goyangkan mainan di tangannya.

Mendengar suara kincring kincring dari mainan yang dibawa oleh Septian, Nona bergerak heboh seraya memekik. Shana sampai geleng-geleng kepala dibuatnya. Bayi 3 bulan ini entah menuruni siapa karena hobi sekali berteriak.

"Cing kincring kincring Nona cantik, Nona anak pintar cing kincring kincring. Dah mandi belum nih mbul??" Goda Septian menciumi ketiak Nona yang bergerak-gerak kegelian. "Bau acem nih. Belum mandi ya kamu mbul?"

"Mandinya sebentar lagi Paklik, ini Nona lagi mau olahraga dulu." Jawab Shana.

"Haduuu olahraga buat ilangin mbul nya ya? Jangan dong."

Nona semakin memekik kegirangan karena diusili oleh Pakliknya.

"Mbak," Septian tiba-tiba berhenti menggoda Nona. Kini beralih menatap serius Shana. "Aku papasan sama Papanya Nona tadi, pas beli mainan ini di minimarket."

"Hah? Papanya Nona? Nona kan nggak ada Papanya Sep. Gimana sih kamu." Shana terkekeh, kekehan yang terdengar menyakitkan sebenarnya.

"Ah itulah, intinya aku ketemu beliau. Papasan. Kami sama-sama ngefreeze sepersekian detik. Tapi aku terus langsung menghindar dan pergi secepat mungkin. Bukannya geer, aku males kalau orang itu ngajak bicara."

"Ngapain dia ngajak kamu bicara?"

Septian mengedikkan bahunya, "mungkin aja kan? Soalnya aku sempat lihat dia kaya mau buka mulut tapi nggak jadi. Siapa tahu dia menyesal? Dan umm orang itu nggak kelihatan baik-baik aja."

Penampilan Seno cukup membuat Septian pangling dari Seno yang dulu ia kenal. Wajahnya terlihat kusam, belum lagi ditambah bulu kasar yang menghiasi wajah pria itu. Sangat bukan Seno sekali yang biasanya rapih. Kalau diperhatikan, perubahan drastis ada pada proporsi tubuh Seno. Pria itu jauh lebih kurus dari terakhir kali Septian melihatnya.

"Dia kaya orang ngobat." Sambung Septian.

Shana sudah tidak peduli dengan apa yang dilakukan atau yang terjadi pada Seno. Mau pria itu ngobat, mau pria itu mati sekalipun Shana sudah tidak peduli lagi. Seno sudah merusak segalanya. Kepercayaannya, rasa cintanya, rasa pedulinya.

ADVOKASI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang