Awalnya, Shana kira ia akan kesulitan menerima kehadiran sosok baru di keluarganya. Terbiasa hidup hanya bertiga dengan Ibu dan Adiknya, membuat dirinya tumbuh dewasa lebih cepat dari anak-anak seusianya.
Saat pertama kali masuk SMP, Shana pergi sendiri ke sekolah yang dia inginkan. Mendaftarkan dirinya sendiri tanpa ditemani oleh orang tua seperti teman-temannya yang lain. Ibunya saat ini sedang disibukkan dengan pesanan catering.
Ia bahkan sudah terbiasa, menggantikan tugas Ibunya mengambil rapot Septian.
Shana tidak pernah mengatakan dirinya baik-baik saja, karena jauh direlung hatinya pasti ia merindukan kehadiran ayahnya. Terkadang Shana menangis sendirian, kala membayangkan mungkin saja nun jauh disana ayahnya sedang memanjakan anaknya yang lain. Sementara disini, Ibunua tertatih-tatih membesarkan dua orang anaknya.
Entah dia menangis untuk ayahnya, atau malah menangis untuk ibunya.
Shana tidak dapat menahan harunya, dengan sengaja berhenti di depan pintu kamarnya saja saat melihat di meja makan Ibunya tampak sedang mengobrol hangat dengan Haji Iswan.
Shana ikut senang, Ibunya kembali merasakan cinta.
"Ngapain." Septian yang kamarnya tepat di sebelah kamar Shana dengan sengaja menyenggol bahu kakaknya yang senyam-senyum sendiri. Dia menyilangkan kedua telunjuk di dahi, lalu berlalu ke kamar mandi.
Kalau Shana sudah bisa menerima Haji Iswan, Septian masih mengeraskan hatinya. Mulut Shana sudah lelah menasehati adiknya agar tidak ketus-ketus dengan Haji Iswan. Karena bagaimanapun, Haji Iswan adalah ayah mereka juga dan sudah seharusnya dihormati.
"Mbak Shana makan sini nak, Bapak beli nasi kuning ini."
Lihat? Siapa yang bisa membenci pria berhati dan bertutur lembut seperti Haji Iswan? Dasar adiknya saja yang hatinya sudah tertutupi rerumputan!
"Waaah enak tuh, pas banget lagi laper. Septian nggak usah dikasih Pak. Orang galak gitu." Shana dengan sengaja mengeraskan suaranya agar Septian di kamar mandi mendengar suaranya.
Apalagi nasi kuning adalah makanan kesukaan adiknya. Pasti di dalam kamar mandi Septian sedang mendumel. Suruh siapa berlagak tidak menganggap keberadaan Bapak barunya.
Septian padahal sudah kena ceramah 3 sks oleh yang terhormat Bhakti Aryaseno Rakhman Sastrohardjono saat anak itu kabur ke rumah Seno. Tapu sepertinya ceramah yang Seno berikan belum mampuh menembus hati keras milik Septian.
Shana juga sudah lelah mengomeli adiknya. Diberitahu baik-baik melengos, diberitahu agak keras malah berlagak menjadi yang paling disakiti. Shana tidak meminta Septian untuk menganggap Haji Iswan sebagai ayahnya, cukup menghargai posisi Haji Iswan sebagai suami dari Ibu mereka saja. Bukan dengan melengos pergi setiap kali ada keberadaan Haji Iswan.
Shana bahkan pernah mendengar obrolan Haji Iswan dengan Ibunya, pria itu takut keberadaannya di rumah membuat Septian tidak nyaman dan berakhir dengan Septian yang kabur dari rumah. Haji Iswan sudah akan mengalah dengan kembali tinggal di rumah miliknya, dan membiarkan Ibu mereka tinggal di rumah ini. Kala itu Shana langsung muncul dan menyelak pembicaraan.
Gila saja hanya karena Septian, sepasang suami istri baru yang harusnya sedang menikmati rumah tangga mereka malah hidup terpisah.
Bukan selama ini Haji Iswan tidak berusaha mendekati Septian, pria itu selalu berusaha mengajak Septian mengobrol tapi Septian akan langsung memalingkan wajah. Haji Iswan tidak pernah lupa membelikan makanan-makanan kesukaan Shana dan Septian setiap kali pulang. Membelikan berbagai macam barang yang tidak pernah bisa Shana dan Septian beli. Shana sudah bilang, Haji Iswan tidak perlu melakukan itu. Tapi pria paruhbaya itu menjawab,

KAMU SEDANG MEMBACA
ADVOKASI
Literatura FemininaShana begitu ia akrab disapa. Si paling advokasi begitu julukannya. Bagaimana tidak, ini tahun keduanya menjabat sebagai staff bidang Advokasi di Himpunan. Walau hanya seorang staff, kinerja Shana tidak perlu diragukan lagi. Sampai keluar julukan...