22. Mas

25.4K 1.7K 25
                                    

Mungkin ini yang orang-orang bilang di sosmed, hadir di pernikahan orang tua sendiri. Begini ya ternyata rasanya.

Setidaknya Shana sudah cukup bahagia dengan melihat senyum yang tidak pernah luntur dari wajah Ibunya. Dia juga ingin berbahagia untuk Ibunya. Toh Haji Iswan sudah berjanji, bahwa pria itu tidak akan membawa Ibunya pergi.

"Senyum Septian!" Shana mencubit-cubit lengan adiknya yang masih saja cemberut pada sesi foto. Shana mungkin telah berdamai dengan keadaan, tapi Septian masih saja melengos apabila Haji Iswan mendekat. "Septian!" Tegur Shana sekali lagi, yang terdengar justru gelak tawa dari seseorang di sebelah Septian.

Seno ikut hadir, menemani Shana dari gelap gulita tadi. Pria itu mengenakan kemeja berwarna senada dengan kebaya yang ia gunakan. Tampan. Satu kata yang mewakili betapa mempesonanya Seno hari ini.

Ada cerita menggelikan tapi juga menyedihkan kemarin-kemarin, saat Seno terlihat ragu-ragu muncul di rumah Shana yang hari itu sudah ramai dikunjungi keluarga besarnya. Seno bahkan berucap akan mengantarkan Shana lalu langsung pulang tanpa mampir seperti biasanya.

"Rumah kamu ramai."

"Iya ada bukde pakde saya semuanya datang. Masuk yuk? Kenalan sama mereka."

Seno menggeleng, tapi tidak mengucap apapun.

"Kenapa? Tumben?"

Shana bisa melihat raut tidak percaya diri dari wajah kekasihnya, hingga dia mengapit pipi Seno dengan kedua tangan. "Saya kan mau kenalin pacar saya ke saudara-saudara. Tuh lihat tuh pada kepo lihat mobil berhenti di depan." Tunjuk Shana pada wajah-wajah kepo yang melihat dari balik jendela. "Turun ya?"

"Saya minder." Baru sekali ini Shana mendengar nada tidak percaya diri Seno.

"Ah minder kenapa?"

"Umur saya kebanyakan. Kaya nggak pantes pacaran sama abege kaya kamu."

Shana terkekeh, tapi kembali mengelus pipi Seno yang semakint tersipu malu. Pria ini wajahnya saja garang, tapi mudah sekali dibuat tersipu.

"Siapa ngomong gitu? Masih ganteng banget gini kok."

Shana tidak bohong mengatakan Seno ganteng, bahkan setelah seharian bekerja. Rambut kusut serta kemeja batik yang sudah tidak selicin pagi tadi menambah karisma pria itu.

"Jangan gitu, saya malu."

Lihat, pria itu malah menundukkan wajahnya. Enggan terjebak dengan tatapan Shana yang membuat lemah imannya yang sudah tipis.

"Hahahaha udah ayuk, sebelum orang-orang itu nyamperin kita karena dikira berbuat aneh-aneh di mobil."

Dengan sedikit paksaan itu akhirnya Seno turun, pria itu tampak ragu-ragu menyalami satu demi satu sanak saudara Shana. Shana bahkan harus senantiasa berada di dekat Seno. Tiap kali Shana menjauh sedikit, maka bajunya akan langsung ditarik oleh pria itu.

"Ini ini Mas Seno yang cucunya Pak Jatmika?"

Langkah Seno mematung bersamaan dengan salamnya pada seorang pria berusia 60 tahunan yang tadi memperkenalkan diri bernama Rudi-Pakde Shana.

"Mmm-maaf?"

"Mas Seno yang dulu sering dibawa Pak Jatmika ke kebun teh?" Ulang Pakde Rudi.

Seno masih mematung, sulit percaya ada orang yang mengenal dirinya serta sang kakek yang sudah lama tiada. Anehnya lagi orang itu yang tadi memperkenalkan diri sebagai kakak lelaki satu-satunya Ibu Shana.

ADVOKASI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang