12. Masalah (lagi)

23.8K 2.1K 61
                                    

Bulan lalu, Shana resmi menyelesaikan tugasnya di bidang Advokasi Himpunan. Kehidupannya kini hanya berkutat di penelitian, skripsi, dan tugas baru sebagai asisten Bhakti Aryaseno. Di kampus rumor soal kedekatan Shana dan dosen paling galak sefakultas itu sudah kian menyebar. Banyak orang-orang yang memuji Shana karena berhasil menjadi pawang bagi Bhakti Aryaseno yang kini sudah tidak banyak berulah lagi. Padahal Shana sama sekali tidak melakukan apapun pada pria itu.

Tapi ketenangan itu seperti mesin waktu. Tahu-tahu prodi kembali diramaikan dengan adu jotos antara Seno dan dosen muda lainnya, Pak Agung. Belum tahu awal mula terjadinya perkelahian antara kedua dosen tersebut. Sejatinya perkelahian terjadi di ruang milik Seno, tapi dengan cepat diketahui banyak orang karena saat itu ruangan dosen ramai oleh antrian Mahasiswa yang ingin bimbingan dengan dosen masing-masing.

Kedua dosen yang terlibat perkelahian itu dipanggil langsung untuk menghadap dekan fakultas pertanian. Sosok Prof Danes yang biasa terlihat santai dan penuh senyum, kini berubah murka. Wajahnya merah, siap melampiaskan emosi pada dua orang dosen yang sudah melakukan tindakan diluar batas seperti itu.

Ini pristiwa memalukan, entah apa sanksi yang pantas untuk kedua dosen tersebut.

***

Seno mengunci rapat mulutnya sejak tadi, Shana yang ada di ruangan pria itu untuk mengantar makan siang pun hanya didiamkan saja.

"Diobatin dulu yuk Pak lukanya?"

Wajah Seno babak belur, bahkan lebih buruk dari rupa lawan kelahinya. Sudut bibit pria itu membiru, begitupun pipinya. Shana hanya bisa menatap miris wajah dosennya itu. Sampai sekarang, ia belum mengetahui penyebab pertengkaran dua dosen itu.

"Pak Seno? Udah mau jam satu, makan dulu ya?" Shana tidak lebihnya  seperti perempuan yang membujuk kekasihnya, tapi kekasihnya masih membisu.

Shana menghela nafas dalam, dia tidak akan sesabar itu tahan didiamkan seperti ini, "ya udah, saya mau pulang aja deh. Mending saya tidur di rumah."

"Jangan." Seno menahan tangan Shana yang baru akan beranjak. "Saya butuh kamu." Ucapnya.

"Please." Mohonnya lirih terlihat putus asa.

Siapapun yang mendengar suara lirih Seno, sudah pasti akan tergerak. Belum pernah Shana melihat Seno yang seputus asa ini. Shana membiarkan tangannya dalam genggaman pria itu, kepala Seno pun sudah bertumpu pada tangan keduanya yang tertaut.

"Saya capek."

Ucapan singkat itu membuat Shana dilanda panik, dia tidak bisa mencegah pikirannya yang berumah menjadi tidak-tidak.

"Pak Seno? Ada apa?"

Seno tidak menjawab, kepalanya masih tertunduk lesu. Shana pun bingung harus melakukan apa.

"Pak Seno?" Shana tahu ini lancang, tapi tahu-tahu tangannya yang bebas sudah bergerak mengelus rambut milik Seno yang masih tertunduk. "Pak Seno bisa cerita sama saya kalau mau."

Perlahan, kepala pria itu terangkat. Matanya merah, tapi tidak ada air mata yang menetes.

"Nggak apa kalau Pak Seno belum mau cerita sekarang." Shana berusaha tersenyum, walau hatinya ikut perih melihat Seno yang seperti ini. Lebih baik dia melihat Seno yang songong seperti biasanya, bukan yang seperti ini.

ADVOKASI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang