bagian 4

77 45 4
                                    

Sejak hari itu tiada kabar dari bunga, rindu hati melara rasa cemas di hati terbesit rasa takut meliputi hati. Baru beberapa hari tiada kabar namun akal dan hati sudah terlampau jauh berpikir yang tidak-tidak. Dan hari-hari pun ku jalanin seperti biasanya tak ada tawa dan tak ada senyuman, hanya sedikit semangat yang selalu menemani ku.

Aku pernah berucap, "secuilpun aku tak berharap memilikinya."
Namun munafik rasanya, jika aku yang tiada kabarnya saja sudah seperti ini, membuat aku seperti orang yang kehilangan pujaan hati.

Dan aku coba menenangkan hati dan pikiran bahwa semua akan baik-baik saja, dan ku coba melawan hati untuk tidak menghadirkan rasa cinta untuk memiliki bunga, karena memilikinya adalah sesuatu yang tidak mungkin, karena ini bukan lah kisah dongeng-dongeng cinta.

Tak riang ku menari dengan kostum badut kelinci ku ini dan tak dapat ku hibur anak-anak yang datang ke taman bermain ini. Atasanku yang mengelola taman ini, datang dan menegur ku dari belakang beliua menepuk bahu ku dan berkata, "dawa kamu sakit?"

Aku hanya melambaikan tangan sebagai isyarat, aku tak kenapa-kenapa dan atasanku itu menyuruh untuk istirahat sebentar, aku menuruti perintahnya, tak enak juga di pandang kalau aku berkerja seperti ini, hanya banyak diamnya.

Di saat tengah merenung dan duduk sendiri di taman sambil meminum air mineral, tiba-tiba ada seseorang yang datang menutup mata ku dari belakang, ia menutupi mata ku dengan kedua tangan.

"bunga." Pikirku dalam hati.
Rasa senang mulai hadir, namun sayang beribu sayang, saat aku membuka kedua mata, tenyata itu hanya tio dan raka yang mengerjai.

"Kenapa? galau kamu dawa?" Kata tio dan raka, sembari meraka duduk di samping ku.

"Tidak," jawab yang menggeleng kan kepala.

"Oh iya, pacar mu itu satu kampus dengan kami berdua!" seru raka.

"Dia pindahan dari luar kota," sambung tio.

"Bunga?" tanyaku dengan bahasa isyarat.

"Iya dan aku lihat tadi dia sedang berduaan sama cowok," ujar raka.

"Mungkin itu pacarnya yang asli!" ejek tio.

"kami berdua mau ngomong ini sebagai sahabat mu dawa. Kami harap kamu tak usah lagi mendekati bunga!!" ucap raka dengan serius.

"Iya jangan mencari masalah sama orang yang bersama bunga itu, orangnya nekat dan berbahaya, kami takut kamu nanti kenapa-kenapa," sambung tio yang tak kalah serius.

"Memangnya kenapa?" Ucapku dengan bahasa isyarat.

"Sudah turuti saja, apa yang kami bilang!!" pinta raka.

Tak ingin membuat kedua sahabatku khawatir aku berjanji kepada mereka berdua bahwa aku akan berusaha untuk  menjauhi bunga.

Dan aku juga menjelaskan ke mereka berdua bawa aku dan bunga tak ada hubungan apa-apa. Aku baru mengenalnya dan itu pun tidak sengaja.

Memang sedikit sakit mengetahui kenyataan itu namun aku tetap bersyukur, kerena telah mengetahui keadaan bunga yang baik-baik saja, setelah mendengar penjelasan dari ke dua sahabatku.

Sudah cukup lama kami duduk bertiga, aku berpamitan untuk melanjutkan perkerjaan. Aku tak mau ambil pusing tentang hal itu, dan aku tak mau gara-gara terlalu memikirkan nya membuat perkerjaan ku berantakan dan terbengkalai.

Meski terasa hilang harap, rasa sakit hati melanda namun aku harus tetap bersemangat bekerja dan aku harus menari dengan riang untuk menghibur anak-anak yang berkunjung di taman ini.

Tak terasa senja mulai menghampiri dan terangnya siang telah di telan oleh kegelapan malam, rasa letih mulai terasa mengisyaratkan waktunya rehat telah tiba dari hari yang begitu melelahkan. waktunya taman tutup, dan aku segera bersiap-siap untuk pulang ke rumah.

Catatan DawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang