bagian 10

59 37 5
                                    

Kehangantan keluarga yang begitu kental ku rasa, saat ayah tio dan raka datang menjenguk ku, ayah raka bercerita tentang betapa nakal nya mereka berempat dahulu.

Berempat ayahku, ayah tio, ayah raka dan oom atau atasan ku di tempat ku berkerja itu, dia adalah sahabat baik ayahku, om anton namanya.
Bahkan sekarang ayah raka bilang betapa khawatir nya dia saat melihat ku waktu koma kemarin dan dia rela membagi waktu nya untuk mengurus kasus ku ini. Mungkin juga di dengan kasus raka dan tio, dan bukan tanpa alasan juga, aku di rumah sakit ini mendapat fasilitas yang mewah, itu karena ketiga sahabat ayah ku yang membiayai semuanya.

Ayah raka juga bercerita kalau dahulu waktu lagi mudah kira-kira usia mereka seusia ku sekarang, mereka pernah menghajar orang sampai babak belur karena orang itu sudah mengganggu ayah tio. Dan sebab itulah mereka pernah di usir dari rumah masing-masing dan menginap di rumah pohon milik ayah ku dan sekarang menjadi milikku.

Meski aku tak memiliki hubungan darah dengan mereka namun aku merasa mereka adalah keluarga yang paling berharga yang ku miliki di dunia ini.

"Heii dawa, ku harap kau akan mentraktir kami setelah ini!!" Teriak tio yang masuk ke ruang ku dengan ranjang di dorong oleh ayahnya.

"Diam bodoh, nanti kita di tegur suster lagi!" Tegur raka dengan keaadaan ranjang nya di dorong juga oleh ibunya.

"Itu mulut, ibu tidak pernah ngajar kamu ngomong kasar gitu raka!" Tegur ibu raka.

"Maaf buu!," jawab raka dengan malas.

Aku hanya tersenyum dengan ekpersi wajah yang yang tak enak saat membalas sapaan dari mereka.
Raka dan tio di berada di posisi di samping ku, aku di tengah di antara meraka berdua, sakit rasanya gendang telingaku saat mendengar ocehan dari ibu raka dan tio.

"Ni bocah-bocah tak henti-henti bikin orang tua cemas dengan kelakuannya," ujar ibu raka.

"Sudah lah bu biarkan mereka istirahat," balas ayah raka.

Namun saat ku kira akan ada perdebatan di antara ayah raka dan ibunya. Seketika semua terdiam akan kehadiran bunga dan ririn yang tiba-tiba membuka pintu, sempat sejenak keheningan terjadi sampai ayah raka bersuara.

"Yuk kita para orang tua keluar, ini urusan anak mudah," imbuh ayah raka.

"Namun sebelum itu, saya ingin mengutara sesuatu ke anak gadis ini. Tak ada asap tak ada api, dan tak ada masalah jika tak ada sebab? Renungkan ini baik-baik!" Ucap ayah tio.

"Dan hukuman akan tetap berlaku kepada mereka yang bersalah!" Ucap bunga dengan tegas kepada semua orang tua yang hendak keluar.

Tampak jelas di mimik wajah bunga yang tergambar dengan penuh kemarahan, aku sedikit tak mengarti tentang apa yang mereka berbicarakan tapi aku tahu pasti itu, ini pasti tentang permasalahan yang menimpa raka dan tio.

Para orang tua sudah keluar dari ruangan, dan sejenak keheningan terjadi lagi, sampai terdengar helahan nafas bunga dan lalu ia berkata.

"Aku takkan memaafkan kalian berdua dan tak ada kata damai, proses hukum akan tetap berjalan, camkan itu!" Kata bunga sambil menunjuk raka dan tio.

"Bunga sabar bunga tante aja setujuh dengan perdamaian ini," ucap ririn yang coba menenangkan.

"Andai kamu tahu, sebusuk apa orang yang sedang kamu bela!" Cetus tio.

"Tio diam kamu!" Bentak raka.

Aku sangat takut kalau raka dan tio memberi tau, tentang alasan mereka yang menyerang rendy, aku sangat khawatir kalau hal itu akan bocor.

"Ku mohon jangan ada permusuhan di antara kalian, kalian sahabat yang berarti bagiku ku mohon jangan bertengkar lagi!" Pintaku dengan bahasa isyarat sembari memohon kepada mereka.

"Andai saja mereka berdua sebaik dirimu dawa, pasti mereka tak akan tega melakukan itu kepada rendy!" Ucap bunga.

"Jujur saja, aku kasian melihat dirimu, saking kasihan nya, aku memilih untuk diam saja, biarkan waktu yang menjawab tentang siapa salah siapa benar," kata raka.

"Sungguh wanita bodoh sudah tampak jelas di depan matanya ada seorang yang berjiwa besar melindunginya, namun tak mampu melihatnya," sambung tio.

"Sudah cukup, kalian semua diam!" Pungkas ririn dengan tiba-tiba.

Bunga tersentak kaget mendengar ucapan mereka, terlihat dari wajah bunga dengan penuh rasa kebingungan tentang hal apa yang telah terdengar di telinga.

Saat mendengar kata-kata mereka bunga berlalu pergi, sembari memandangi diriku ia berlalu pergi meninggalkan tempat kami, dengan rasa penuh tanda tanya di hati dia pergi meninggalkan ruangan.

Sendu ku melihat kepergian bunga, aku tahu hatinya sedang gelisah, wanita mana yang terima jika seseorang yang dia sayang di lukai. Ingin rasanya menenangkan hatinya, namun sayang aku hanya bisa diam dan melihat langkah demi langkah ke pergiannya aku tak mampu menenangkan hatinya.

*
*
*
*

Rintik demi rintik hujan turun, aku duduk di dekat kaca jendela sembari memandangi gerimis di luar, gerimis yang mengundang seolah-olah mengambarkan isi hati ni.
Seminggu telah berlalu dari hari itu, lama tak ada kabar dari bunga, mungkin ini yang terbaik karena tak pantas jika aku terlalu dekat dengan seorang yang telah di miliki, meski tak ada niat apa-apa di hati kecuali ingin berteman saja, ku rasa juga itu tak pantas.

Dan menurut ku wajar saja rendy marah kepada ku, wajar dia cemburu dan mungkin jika aku berada di posisinya pasti akan cemburu juga, meski apa yang dia lakukan kepada ku itu agak berlebihan.

Saat aku di sibuki, asik berbicara dengan diri sendiri di dalam hati, terdengar suara dering ponsel ku yang berada di meja, ada nomor yang tak di kenal menelpon.

"Halo ini aku bunga," ucap seseorang di telepon. Aku sedikit kebingungan untuk menjawab sedangkan aku tak bisa berbicara.

"Kenapa kamu diam?" tanyanya.

"Oh iya aku lupa," ucap bunga sembari tertawa.

Tak lama bunga menutup telepon, dan timbullah notif pesan sms di ponsel ku.

"Hai apa kabar? Maaf kemarin aku tak pernah lagi menjenguk mu di rumah sakit," tulis bunga di pesan sms.

"Alhamdulillah baik, iya gapapa," balas ku.

"Kamu satu kamar sama mereka berdua, aku malas melihat mereka, mangkanya aku tak menjenguk mu lagi, itu karena ada mereka berdua," jelas bunga.

"Sudahlah, mereka tak sejahat yang kamu kira, ini semua hanya kesalahanpaham aja kok," terangku

"Bela aja mereka terus!" tulis bunga.

"Oh iya kamu dapat nomor dari siapa?" Tanyaku untuk mengahalikan pembicaraan.

"Dari ririn, aku meminta tolong dia untuk mencari nomor mu, mungkin dia dapat dari raka atau tio," balas bunga.

Di hari itu kami saling membalas pesan sms, ingin rasanya untuk menjauhinya dan tak membalas pesan darinya tapi entah mengapa hati terasa enggan untuk mengabaikan setiap pesan dari bunga.

Aku juga sudah menyuruh bunga untuk tidak terlalu dekat dengan lelaki lain termasuk aku, karena tak elok di pandang, wanita yang sudah di miliki, dekat dengan lelaki lain. Tapi bunga bilang tak masalah kalau hanya teman biasa dan masih berhubungan sewajarnya, bunga juga sudah bilang ke rendy kalau kami berdua hanya sebatas teman dan rendy tak ada masalah kata bunga. Andai bunga tahu kalau gara-gara rendy lah aku masuk rumah sakit.

Ingin rasanya menjauhi bunga agar masalah seperti ini tak terulang lagi dan aku tak mau menganggu hubungan orang lain, aku tak ingin mengusik ketenangan orang dan tak mau lagi hal seperti sebelumnya terjadi lagi. Tapi entah mengapa setiap kali aku ingin mencoba menjauh dari bunga, hati ini seperti menolak, seolah-olah tak ingin menjauh dari sisisnya.

.
.
.
.

Bersambung....





Catatan DawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang