bagian 13

38 21 8
                                    

Aku bagai sepucuk bunga melati yang tumbuh di tengah padang pasir yang tandus, yang mengharap setetes air jatuh dari langit untuk memberi kehidupan di kegersangan yang tandus, berharap sebuah keajaiban turun dari langit.
Kau perumpamaan dari keajaiban itu dan aku hanya melati layu yang malang.
Dan pada malam ini, aku memastikan keajaiban itu telah sirna, saat aku melihatmu sudah berteman dengan yang lain. Tapi di balik dari itu semua ada hikmah yang harus ku petik, engkau berbahgia dan itu sudah cukup menenangkan rasa di hati...

*
*
*

Bunga menoleh kearah rendy yang sedang  membawakannya air, lalu rendy mengajak bunga meninggalkan tempat di mana bunga memperhatikanku. Rendy memegang tangan bunga mengajak bunga pergi. Bunga berlalu sembari memandangi keberadaan ku sampai dengan ia telah membelakangiku dan tak menoleh kembali.

Wahana bianglala terus berputar sampai tiba waktu bermain abis. Tak ada gairah lagi ku bermain wahana di pasar malam. Aku memutuskan untuk pulang saja, karena tak ada hal yang menarik lagi di di sini, dan aku kembali lagi ke tempat pakiran motor.

Hal menjengkelkan kembali ku alami, seperti sudah menjadi penyakitnya motor vespa ku sangat sulit untuk di hidupkan, puas ku engkol sampai mengeluarkan keringat namun tetap saja tidak nyala, saat aku lagi sibuk mengengkol motor terdengar suara sapaan yang tak asing lagi di telinga.

"Hai, lagi apa kamu?" Sapa bunga, aku terperanajak kaget saat bunga menyapa dengan tiba-tiba.

"Motor ku mogok lagi," ucapku dengan bahasa isyarat sambil menunjuk motor.

"Perlu bantuan?" Tanya bunga, aku melambai-lambaikan tangan menjawab pertanyaan bunga, sebuah isyarat untuk menolak tawarannya.

"Kamu ini selalu saja seperti ini," ucap bunga.
Aku hanya tersenyum tak enak sambil menggaruk kepala yang tidak gatal, lalu bunga mengambil sapu tangan dari tasnya, tanpa kata bunga mengelap keringat di wajah ku dengan tiba-tiba, aku hanya terdiam terpanah melihat perlakuan yang ia berikan.

"Lagian kenapa kamu ke sini sendirian?" Tanya bunga lagi, namun aku hanya diam tak menjawab.

"Lain kali ajak aku, jangan pergi sendiri kayak gini!" Ucap bunga sembari mengelap keringat di wajah ku, aku teringat tentang permintaan mamanya bunga. Tak mau rendy melihat hal ini, aku langsung menggenggam tangan bunga untuk meghentikan perlakuan lembut itu.

"Kenapa?" Tanya bunga. Aku hanya menggelengkan kepala sebagai isyarat agar bunga berhenti melakukan itu.

Aku melepaskan genggaman tangan ku, dan bunga hanya diam yang penuh makna tergambar di wajah. Tak lama dari itu datang lah mobil mewah menghampiri kami berdua.

"Sayang yuk kita pulang!" panggil rendy dari dalam mobil . Tanpa kata bunga langsung masuk ke dalam mobil.

Bunga telah pergi bersama rendy dengan mobil miliknya, tinggallah aku sekarang di sini bersama motor butut ini.

Ingin segera rasanya cepat sampai di rumah, agar bisa tidur untuk sejenak melupakan dunia yang melelahkan. Sudah cukup puas berusaha akhirnya motorku menyala, masih jauh perjalanan untuk sampai ke rumah nasib sial kembali menimpa. Bulan bintang lenyap di telan kegelapan langit, rintik hujan perlahan turun membuat ku untuk mengurungkan niat agar lekas sampai ke rumah.

Aku singgah di salah satu halte untuk berteduh dari hujan. Tua muda dan bermacam rupa orang yang berteduh dari hujan di tiap pinggir jalan.

Aku memperahatikan sekitar, terlihat lesu di wajah orang-orang di balik rintik hujan, aku berpikir sambil melihat wajah orang-orang yang menunggu hujan reda. Mungkin bukan hanya aku yang mendapatkan nasib sial dan mungkin saja di dunia ini masih ada yang mempunyai masalah yang jauh lebih berat dari apa yang sedang ku jalani saat ini.

"Bang mau beli kue?" Sapa anak kecil cowok yang tiba-tiba menghampiri saat aku tengah termenung memandangi rintik hujan.

Aku mengangguk mengisyaratkan setujuh untuk membeli kue nya, meski aku masih kenyang tapi aku harab dengan membeli kue nya  bisa sedikit membantu anak kecil itu.

"Kelebihan uangnya bang Enggak punya kembalian saya!" Ucap anak itu kebingungan.

Aku kembali mengisyaratkan untuk dia tak usaha mengebalikan uang itu, tampak jelas tersirat bahagia di wajah saat anak itu mengetahui aku memberi sedikit jumlah uang untuknya.

"Terimakasih banyak bang" ucap ia sumringah, dan ku balas senyum.

Aku mengambil buku dan pulpen di tas, untuk menulis, sebagai alat bantu berbicara kepada anak itu.

"Sudah malam kenapa masih jualan?" Tulisku.

Anak itu hanya memperhatikan tulisan ku, dan dengan senyum tipis ia berkata dengan malu-malu, "Maaf bang saya belum lancar membaca, baru bisa mengeja sedikit."

Aku lalu memberikan buku itu kepada anak itu agar dia bisa mengeja bacaan dari tulisan ku. Anak itu mengambil buku itu dan mengamati mengeja setiap baris yang ku tulis, dengan jari telunjuk yang menunjuk  ke tiap kata dari tulisan di buku.

"Ohh... abang nanya kenapa saya belum pulang?" Tanya anak itu, yang ku balas anggukan.

"Kue dagangan ku masih banyak bang!" Kata anak itu.

"Hmm... abang enggak bisa berbicara ya?" Sambung tanya anak itu, dan aku hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaannya.

"Nama kamu siapa dek?" tulisku lagi dan di eja kembali oleh anak itu.

"Nama saya aji raihan biasa di panggil aji bang, nama abang sendiri siapa?" Jawab anak itu dan di tanya kembali olehnya.

"Aji ya? Nama yang bagus, kalau namaku dawa saputra sering di panggil dawa!" tulisku.

"Nama abang juga bagus," ucapnya dengan sumringah.

"Emang kami sekarang kelas berapa?" Tulisku bertanya.

"Udah enggak sekolah saya bang!!" Jawab aji.

"Kenapa?" tulisku.

"Aku ingin bantu ibu aja, kasian ibu susah payah mencari uang untuk menyekolahkan ku," jelas aji dengan wajah yang sendu.

"Terus ayah kamu kerja apa sekarang?" Tulisku.

"Ayahku sudah meninggal karena sakit bang," jawab aji dengan nada yang lirih, aku hanya terdiam melihatnya, begitu pilu perjalanan hidup yang ia tempuh.

"Maaf," tulisku meminta maaf.

Aji hanya menoleh melihatku dengan senyuman ia berkata, "enggak apa-apa bang."

Kami berdua duduk di halte untuk berteduh dari hujan, sambil bercerita menunggu hujan reda. Aku harus belajar banyak tentang rasa syukur dalam kehidupan. Di malam itu seorang anak kecil yang menjual kue mengajarkan ku tentang rasa bersyukur, memanglah betul apa yang di katakan oleh pepatah, jangan melihat ke atas tapi lihatlah kebawah.

Aku yang selalu mengeluh tentang kehidupan menjadi malu ketika melihat seorang anak kecil yang tegar menjalani kehidupannya.

Hujan di malam itu mempertemukanku dengan anak kecil penjual kue, aku harus bersyukur karena di pertemukan dengannya karena ia telah menyadarkanku kalau lah masalah yang sedang kualami saat ini hanyalah sebesar butir debu.

Ia mengajarkanku masih banyak orang di luar sana yang memiliki kesusahan yang jauh lebih besar.

Di balik hujan yang ku anggap adalah kesialan yang menimpah, ternyata ada sebuah hikmah yang ku dapat dari hujan itu.

*
*
*

Aku bersyukur terhadap hujan malam itu, hujan mempertemukan ku dengan anak kecil penjual kue. Hujan di malam itu seolah memberi tahuku kalaulah bukan hanya hati ku saja yang sedang menangis, hujan memperlihatkanku wajah-wajah lesu tiap orang yang berteduh di pinggir jalan, hujan seolah mengatakan bukan aku sendiri di dunia ini yang memiliki masalah.

Hujan reda hujan telah berhenti, wajah murung orang-orang telah berubah menjadi ceria, tampak jelas dengan tawa senyum bahagia orang-orang menyambut redanya hujan. Hujan seperti mengajarkanku, tak selamanya manusia bersedih dan tak selamanya manusia bisa bahagia, hidup bisa di ibaratkan seperti cuaca, kadang cerah kadang mendung.

.
.
.
.

Bersambung...

Catatan DawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang