bagian 8

63 41 3
                                    

Ku buka mata ku dengan perlahan-lahan, sabur pandangan ku untuk melihat dan indra pendengaran mulai menangkap suara yang sangat asing di telinga.

"Titt, titt, titt, titt." Bunyi suara yang mengiringi saat aku mencoba membuka mata. Hilang pandangan buram di mata, pandangan ku pas menghadap ke arah dinding, terlihat jam di dinding menunjukkan pukul 12:27 waktu malam. Aku lalu menolekan pandangan ku ke kiri dan ke kanan, terlihat nenek yang sedang mengerjakan sholat malam.

Aku juga melihat alat monitor yang terus berbunyi mengiringi ke sadaran ku. Baru lah aku teringat setelah melihat monitor itu, tentang kejadian yang baru saja menimpa ku. Suara monitor di ruangan icu terus berbunyi, kecil suaranya terasa besar dengan ruangan icu yang sunyi sepi senyap ini.

Aku terus memperhatikan nenek yang lagi sholat, entah apa yang sedang beliau do'akan di dalam hatinya, tapi yang pasti itu pasti do'a yang terbaik untuk ku yang nenek panjatkan kepada yang esa. Aku tahu karena nenek pernah bilang kalau aku lah semangat hidupnya sekarang dan namaku takkan pernah tinggal di saat beliau sedang berdo'a kepada yang maha kuasa.

Air mata ku mengalir dengan sendirinya ketika melihat pahlawan dalam hidupku yang di mana kulitnya semakin keriput di makan masa, ingin rasanya memeluk dan meminta maaf karena selalu menjadi beban baginya.

Ingin ku menghapus air mata ini, tak ingin beliau melihat ku menangis bersedih hati, namun tangan terasa sangat berat untuk di gerakan, tak berdaya menggerakan nya.

Setelah sholat malam, pecah tangisan beliau saat melihatku sadar, ia langsung memeluk ku seketika setelah selesai mengerjakan sholat, tak dapat lagi ku membendung air mata ini.

"Syukurlah lah kamu telah sadar dari koma mu." Tutur nenek dengan lirih dan ia langsung menghapus air mata ku.

Hangat sentuh belaiannya membuat jiwa menjadi tenteram, rasa takut pergi menjauh dalam pikiran setelah merasa kehangatan dari lembut belaiannya.

Beliau bercerita kepada ku tentang betapa khawatirnya dia dengan kondisi ku yang tergeletak terbaring sakit selama empat hari tak sadarkan diri. Dengan genggaman tangan yang erat di tangan beliua bercerita betapa hancur jiwanya ketika melihat pelita hati yang selalu dibanggakan sedang terbaring sakit menahan luka.

Ingin rasanya berucap kebeliau kalau aku baik-baik saja untuk memenangkan hati yang risau itu tapi apalah daya, aku tak sanggup berucap dan hanya bisa terdiam mendengar rintihan hatinya.

Nenek juga bercerita kepadaku bahwa raka dan tio lah yang menemukan diriku yang tergeletak terbaring berlumuran darah di pinggir jalan.

Mereka berdua tak henti-hentinya menangis saat itu, mereka menyesal karena tak ikut pulang bersama ku waktu itu. Mereka juga tiap hari menjenguk ku, dan nenek bilang juga kalau bunga dan temannya juga terus menjenguk ku di rumah sakit, sampai-sampai mereka ingin menginap di rumah sakit untuk menemaniku.

Nenek terus bercerita menemani ku sepanjang malam, sampai-sampai mendengar suaranya yang sedang bercerita seperti suara nyanyian pengantar tidur dan perlahan demi perlahan membuat mata menajdi sayu dan membuatku kembali tertidur...

*
*
*

"Kau ni bodoh atau apa!!" ucap raka.

"Dia kan sudah empat hari tak sadarkan diri," balas tio.

"Abis uang jajan ku dengan sia-sia buat patungan!" ujar raka.

"Tega kamu, sama sahabat kita saja yang sedang sakit kamu perhitungan juga raka, memang durhaka kau raka!" celetuk tio.

"Kau bodoh!! Sudah tau dia lagi sakit kenapa kau belikan nasi padang sama gorengan ada teh es nya lagi," cetus raka yang geram.

"Ya kan biar dia kenyang," jawab tio.

"Kebodohan mu memang sudah melewati batas nalar manusia," kata raka dengan malas.

Perdebatan mereka berdua membuatku terbangun dari tidur, mereka terus berdebat tanpa mereka sadari aku telah menyaksikan perdebatan mereka dari tadi.

"Eh dawa sudah bangun," ucap raka.

"Kamu mau makan nasi padang dawa?" Kata tio.

"Lebih baik kau diam bodoh!!" bentak raka.

"Kamu masih ingat dawa sama orang yang telah membuat mu begini, ini sangat sulit untuk di maafkan," sambung raka dengan tatapan yang penuh emosi.

Aku hanya menggelengkan kepala sedikit untuk isyarat aku tak mengetahuinya, tapi yang jelas orang itu pernah berkata kepada ku untuk menjauhi bunga.
Aku tak ingin bercerita tentang hal itu kepada siapapun, karena mungkin bila aku bercerita akan ada masalah baru lagi yang akan datang.

"Ceklekk." Suara pintu yang terbuka dan membuat pandangan kami tertuju kearah pintu, terlihat bunga yang tergesa-gesa menghampiri ku.

"Pelan-pelan bunga ini rumah sakit enggak boleh berisik," ucap teman bunga, yang bunga hiraukan begitu saja.

"Syukurlah kamu sudah siuman," ucap bunga yang duduk di sebelahku.
Tak ingin mengganggu raka dan tio keluar dari ruang.

"Ayok tio kita keluar, kita harus gantian menjenguk dawa, sekarang giliran mereka," ajak raka.

"Iya nanti kita di marah suster lagi," balas tio yang ikut pergi keluar.

"Kenapa bisa begini dawa?" Ucap bunga dengan cemas.

Banyak pertanyaan yang tak bisa ku jawab baik itu dari nenek, raka, tio dan bunga. Aku tak bisa menjawab pertanyaan mereka dengan kondisi ku sekarang, aku hanya bisa diam sembari tersenyum tipis untuk mengisyaratkan bahwa aku senang dengan kehadiran mereka.

"Aduh ketinggalan lagi di mobil, aku membawa buah buahan untuk mu, tunggu sebentar ya aku ambilkan." Ucap bunga yang pergi untuk mengambil buah-buahan yang ketinggalan, tinggallah aku berdua bersama teman bunga di ruanganku.

"Hai, senang melihat kondisi mu membaik, aku temannya bunga, mungkin kamu juga pernah melihat ku, oh ya nama ku ririn salam kenal ya," sapa ririn.

"Aku bingung harus mulai berbicara dari mana tapi mungkin ini waktu yang tepat untuk berbicara. Maafkan aku gara-gara aku kamu begini, aku lah yang sering mengadukan ke rendy tentang kedekatan kamu dan bunga. Aku tak tahu kalau rendy akan senekat ini, aku merasa sangat bersalah dan aku juga takut, bunga akan marah besar kepada ku jika dia mengetahui ini semua." Cerita ririn dengan menangis mengeluarkan air mata.

Aku tak terkejut mendengar ceritanya karena sebelum dia bercerita aku sudah mengetahui pelakunya, namun aku akan menolak membicarakan nya, karena aku rasa ini semua adalah ke kesalahpahaman, bagiku wajar saja jika rendy marah kepada ku.

Berat tanganku yang ku rasa saat mencoba menggerakkannya namun ku paksa bergerak. Aku ingin menghapus air mata ririn yang mengalir itu, yang di iringi dengan rasa takut akan ke salahannya.

Ku hapus air matanya dengan lembut dan ku usap kepalanya sambil tersenyum kepada ririn, sebagai tanda semua akan baik-baik saja.

"Hangat sentuhan mu membuat ku merasa aman, sekarang aku mengerti kenapa bunga bisa nyaman dengan dirimu," ucap ririn dengan senyuman.

Ririn pun memegang tanganku dan dia berucap, "terima kasih, kamu memang tak berbicara, namun aku yakin ketika melihat senyum mu, kamu telah memaafkan kesalahan ku dengan ikhlas."

"Braakk." Suara benda jatuh di luar.

"Suara apa itu?" Kata ririn yang langsung mengecek keluar, namun tak ada apapun yang dia temukan.

Tak lama dari itu bunga masuk ke ruang ku, dengan membawa bermacam-macam  buah-buahan.

"Maaf membuat kalian lama menunggu," ucap bunga.

"Iya gapapa santai aja," balas ririn.

"Oh ya tadi aku melihat raka dan tio sepertinya mereka sedang terburu-buru, aku sampai di cuekin sama mereka saat ingin meminta bantuan." Kata bunga sembari meletakan buah-buahan ke meja.

Tubuhku mulai keluar keringat, saat mendengar perkataan bunga, begitu juga dengan ririn tampak jelas raut wajahnya berubah saat mendengar perkataan bunga.

Aku sangat khawatir tentang mereka berdua, sangat bahaya sekali jika mereka mendengar obrolan ku bersama ririn tadi, aku takut mereka melakukan hal-hal yang nekat yang akan membuat bahaya diri mereka sendiri.
.
.
.
.

Bersambung....

Catatan DawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang