bagian 7

66 42 6
                                    

Keesokan setelah kerja tepatnya di jam istirahat siang aku meminta izin untuk pulang lebih awal. Aku ingin mengantar buku harian milik bunga ini, raka dan tio pernah berkata kalau bunga satu kampus dengan mereka, aku ingin pergi ke kampus mereka untuk mengantar buku harian bunga. Jarak yang di tempuh cukup jauh untuk pergi ke sana, tak ingin lama dan takutnya ke duluan bunga pulang aku bergegas pergi kesana dan ku harap motor butut ini bisa di ajak kompromi untuk hari ini.

Sudah cukup lama berjalan akhirnya aku sampai juga di kampus mereka, sebelum masuk ku lihat ada pos satpam di dekat parkiran dan di situ juga terlihat mobil bunga yang sedang terpakir.

"Selamat siang, anda mau kemana dan ada keperluan apa?" Tanya pak satpam, dan aku mengambil buku dan pulpen yang ada di tas sebagai alat bantu ku berkomunikasi.

"Mau ketemu bunga, salah satu mahasiswi sini pak," tulisku.

"Ada kerpeluan apa?" tanya satpam.

"Ingin mengantarkan buku pak!" tulisku lagi.

"Maaf, yang bukan mahasiswa universitas ini dilarang masuk, lebih baik kamu menghubungi teman mu itu agar dia yang menjemput ke sini," jelas pak satpam.

Bagaimana aku bisa menghubungi bunga sedangkan nomor ponsel nya saja aku tak punya. Dan aku menghubungi raka lewat sms ponsel untuk meminta bantuannya. Tak lama ku menghubungi raka terlihat bunga yang sedang berjalan ke mobilnya dengan seseorang, aku melembaikan tangan dan memanggil nya namun ia tak mendengar. Dan sekali lagi aku meminta izin untuk masuk dengan pak satpam, sambil menunjuk ke arah bunga agar pak satpam tahu kalau itu orang yang ku cari, dan pak satpam mengizinkan ku masuk, aku pun langsung menghampiri bunga.

"Dawa ngapain kamu ke sini?" sapa bunga.

"Aku ingin mengantar buku ini, kemarin jatuh di kebun teh!" Ucapku dengan bahasa  isyarat, sambil memperlihatkan bukunya.

"Buku ku, syukurlah, aku sudah capek mencarinya, terimakasih ya," jelas bunga.

Belum sempat ku membalas ucapan terima kasih itu, obrolan kami langsung terpotong oleh suara batuk teman bunga, yang seolah suara batuk yang di buat-buat.

"Uhukk, siapa dia bunga?" Tanya teman bunga.

"Oh iya, kenalin ini dawa teman ku, dan dawa kenalin ini rendy,"  terang bunga.

Memang tak salah yang di katakan bunga di buku harian nya itu, memang layak rasanya mereka berpasangan, jika ku lihat saat rendy dan bunga berdiri dengan posisi berdampingan sangat cocok di pandang oleh mata.

Aku langsung mengulurkan tangan untuk mengajak rendy berjabat tangan sebagai tanda salam perkenalan.

Saat ia menjabat tangan ku dengan lantang dia ucapkan, "salam kenal ya, aku calon tunangan bunga."
Aku hanya mengangguk dan tersenyum untuk membalas ucapannya itu, dan bunga hanya terdiam.

"Hari ini aku ingin pulang dengan mu ya!" ucap rendy kepada bunga.

"Emangnya mobil mu kenapa?" tanya bunga.

"Tidak ada, aku hanya ingin pulang dengan mu hari ini!" jelas rendy.

Rendy mengajak bunga untuk pulang bersama dan itu adalah sebuah kemauan yang harus di turuti oleh bunga.

Saat mereka berdua meninggalkan ku, aku hanya diam berdiri sambil tersenyum mengiringi kerpergian mereka, bunga hanya menoleh di balik kaca jendela mobil melihatku.

Meskipun begitu namun jujur saja, tak ada rasa benci yang hadir di hati walau hanya sebesar sebutir debu, bodoh rasanya jika aku membenci takdir yang membuat bunga bahagia.

Tak lama mereka pergi kedua sahabatku datang menemui ku.

"Kenapa ke sini dawa?" sapa raka yang menghampiri ku.

"Gapapa, aku hanya rindu kalian!" candaku.

"Idihh, bilang aja kamu mau ketemu bunga!" ujar tio dengan malas.

"Hahaha baguslah kalau gitu, aku akan mentraktir kalian, ya anggap saja membalas rindu dari dawa," celetuk raka dengan bercanda.

"Yang benar raka?" ucap tio dengan kaget.

"Iya aku serius, tapi uangnya aku pinjam dulu ya dawa sama kamu!" Kata raka sambil melirik ku.

"Kalian lah sahabat terbaik ku," sambung raka dengan nada seperti nyanyian.

Memang begitulah mereka berdua yang sering seenaknya saja mengambil keputusan tanpa menanyakan persetujuan dari pihak yang bersangkutan.

Tanpa menunggu lama lagi kami langsung pergi ke tempat makan yang di mana itu adalah tempat langganan kami sejak masih sma. Namanya warteg bu mirna, selain harga yang terjangkau dan rasa masakannya seperti koki bintang lima, itu lah alasan kenapa kami bisa berlangganan cukup lama. Dan lokasinya juga tak jauh dari kampus, dengan berkompoi kami bertiga pergi dengan sepeda motor masing-masing.

Namun sayang saat kami tiba bukan sambutan hangat yang kami dapat, melainkan teriakan bu mirna yang menyambut kehadiran kami.

"Rakaaa tiooo, bayar hutang kalian!!!" teriak bude mirna.

"Iya bude nanti kami bayar," ucap mereka berdua dengan memelas.

"Hutang kalian berdua sudah numpuk sejak kalian sekolah dulu!" cetus  bude  mirna.

"Tapi kan kami cicil terus bude, uang jajan kami sekarang di batasi orang tua kami," ujar tio.

"Iya yang penting kan kami enggak lupa sama hutang kami, lagian kali ini kami bayar kok cash, dawa yang traktir kami," jelas raka.

"Oh ada nak dawa, maaf bude enggak lihat kalau ada nak dawa, ya sudah kalian masuk lah!" kata bude mirna.

Aku hanya bisa pasrah dan menahan malu karena di lihat banyak orang. Entah berapa jumlah hutang mereka sampai bude mirna marah segitunya.

Setelah selesai menikmati kelezatan masakan bude mirna dan aku rasa mereka juga sudah kekenyangan.

Aku meminta izin untuk pulang duluan karena hari sudah mulai sore tak mau pulang kemalaman.

*
*
*

Di perjalanan pulang aku merasa ada yang aneh dengan mobil yang berada di belakang ku, dari tadi mobil itu terus membuntuti, seperti sedang di ikuti namun aku berpikir positif mungkin arah yang kami tujuh sama.

Namun saat keramaian sudah terlewati tepatnya di jalan yang sangat sepi tiba-tiba mobil itu mendahului ku dengan seketika ia menghadang jalan ku.

Kemudian ada beberapa orang menggunakan topeng yang keluar dari mobil, aku sudah paham dengan apa yang akan ku hadapi, namun sayang saat aku menyadari itu aku terlambat untuk melarikan diri.

"Jangan kabur kamu anjing!!!" teriak mereka.

Aku terlambat untuk kabur, dan mendarat lah sebuah pukulan keras dengan kayu di kepala, yang membuat ku terjatuh dari motor saat aku ingin mencoba melarikan diri.

Saat menrima pukulan keras di kepala, membuat helm ku terlepas dari kepala dan menimbul luka di kepala.

Aku di injak di pukul di terjang dengan keras dan mata ku terasa perih karena darah yang bercucuran mengalir dari pelipis mata, mereka terus menghajar dan memukul ku tanpa ampun.

Tak berdaya ku menghadapinya, jangankan untuk menghadapi mereka semua, untuk meminta pertolongan saja aku sudah tak mampu.

Aku hanya bisa meminta ampun kepada mereka untuk mengakhiri kesakitan ini, namun tak ada ampun untuk ku dan mereka hanya tertawa saat mendengar bahasa yang tak jelas yang keluar dari mulut si bisu ini, aku hanya bisa pasrah sampai mereka puas.

Tak sanggup lagi ku berdiri, aku hanya terbaring dengan berlumuran darah, amat sakit ku rasa, membuat air mata tumpah tak dapat menahannya.

Lalu ada salah satu dari mereka yang datang menghampiri dan menarik kerah baju yang membuat ku kembali berdiri dari aspal tempat aku terbaring. Kemudian, dengan kejam ia kembali memukul wajah ku tanpa henti, membuat darah mengalir tanpa henti di wajah, membuat mata tak bisa terbuka.

Dengan kesadaran ku yang hampir hilang ia berbisik di telingaku, "jangan dekati bunga lagi!!"

Dan kemudian hantaman keras datang dari belakang sampai-sampai membuatku terbatuk darah, dan perlahan kesadaran ku menghilang...
.
.
.

Bersambung...

Catatan DawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang